<div style='background-color: none transparent;'></div>

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
HumOr Edisi: 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 Januari - Desember 2018 - Tahun ke VII

Pamer - Pamor - Rumor

Friday, August 29, 2014


Kartun Jitet Koestana - Kompas

Continue Reading | comments

Wowo Legowo

Oleh Gus Sulis

Belakangan ini sering kita membaca istilah legawa. Kata ini biasanya disandingkan dgn kata lilo=rela/lkhlas. Mk jgn berharap mendapatkan legawa bila belum menemukan keikhlasan sebelumnya. Keiikhlasan adalah sikap batin yg dgn sukarela mempersembahkan suatu perjuangan dan pengorbanan kpd suatu tujuan.

Yang menarik disini adl mengapa seseorg tdk bisa ikhlas krn biasanya merasa blm tuntas perjuangannya sampai pd tujuan yg dicita citakannya. Itu yg pertama. Tdk sampainya suatu perjuangan dikarenakan, pd batas finish suatu yg mjd tujuannya dia tdk mendptkan realita seperti apa yg diangankannya dlm idealismenya.

Yg mjd pertanyaan, idealisme macam apa yg ditujunya tersebut ? Shg realistiskah utk bs terwujud.?

Di Negeri Merdeka ini, kita semua bebas bercita cita, berkehendak dan memperjuangkannya. Tp dlam hidup bermasyarakat dan bernegara, kebebasan kita tentu dibatasi oleh berbagsi aturan hidup dikaitkan dgn hak dan kebebasan hidup org lain. Dari sinilah berikutnya mencul aturan yg disepakati masyarakat yg berikutnya kita mengenal dgn hukum dlm berbagai btknya.

Ketika dihadapkan pada kenyataan hukum, byk tafsir dimunculkan, termasuk implementasi hukum agama yg berasal dr Tuhan sekalipun. Pd akhirnya manusialah subyek sekaligus obyek hukum itu sendiri. Yg mana setiap manusia dgn akal budinya melahirkan beragam persepsi dlm mensikapi suatu keadaan

Dari berjuta tafsir dan penilain yg muncul, dlm hidup bermasyarakat kita butuh tafsir tunggal yg mawadahi beragam tafsir yg ada. Dan wewenang tafsir itu dipegang oleh pejabat institusi yg telah diakui dan diterima semua pihak. Dr kerjanya masyarakat menerima itu sbg keputusan tafsir yg sah.

Disini kepastian hukum sangat dibutuhkan dan berguna utk menjaga agar setiap tujuan, cita cita dan kehendak setiap warga negara ada finish yg pasti dan jelas bagi semua pihak. Dan keputusannya dianggap sbg fakta realita yg harus diterima.

Ketika seseorg atau sekelompok org tdk terima dan menolak keputusan hukum yg sdh final dan mengikat. Ini jelas sbg tindak melawan hukum. Oleh karenanya bg yg bercita cita utk rakyat bangsa dan negara, tentu tidak akan melawan keputusan ini, krn bs dikatakan melawan rakyat bangsa dan negaranya sendiri, mengingat keputusan itu berasal dr institusi hukum negara yg notabene milik rakyat. Dan ini jg berarti melawan cita cita dan tujuan yg sdh diperjuangkannya sendiri.

Disini menerima dlm arti formal blm tentu identik dgn legowo. Krn bbrp keputusan hukum blm tentu sesuai dgn kehendak dan tujuannya. Sdg seseorg br bs legawa yg sesungguhnya bila semua kehendak dan tujuannya tercapai. Sdg hukum harus mengakomondir tujuan dan kehendak org lain sesama warga negara, yg belum tentu sama dgn tujuannya. Mk berharap legowo dr keputusan pengadilan bg yg kalah adl suatu yg mustahil. Ini fakta.

Disinilah berikutnya, stlh tahap keadilan dilewati, yg ternyata mmg tdk akan memuaskan semua pihak, dibutuhkan sikap kebijaksanaan semua pihak. Sikap bijaksana ini diharapkan mampu melahirkan legawa dr semua yg sama sama bercita cita dan bertujuan terbaik bagi rakyat bangsa dan negara. Shg bs duduk bersama memajukan dan mencapai cita cita bersama.

Dlm tataran praktisnya mencapai cita cita bersama bkn berarti hrs berada dikubu yg sama. Mengingat masing masing punya cara jalan dan strategi yg berbeda. Jadi kubu no 1 legowo menerima keputusan KPU yang memenangkan pasangan capres no 2. Sebaliknya kubu no 2 jg hrs legowo bila kubu no 1 berada diposisi penyeimbang setiap kibijakan pemetintahannya.

Beragam perbedaan bila sama dlm satu tujuan, tentu bs saling melengkapi, menguati,mengkoreksi, mengevaluasi. Dari sinilah akhirnya akan teruji dlm perbedaan itu, mana yg sungguh sungguh utk rakyat mana yg tdk. Bila benar benar utk rakyat tentu kedua pihak tdk akan mengorbankan rakyat dlm mencapai tujuan dgn jln yg berbeda itu. Bahkan perbedaan jln bs dipandang sbg kekayaan dan alternatif cara utk mengadapi berbagai kemungkinan perubahan dlm hidup berbangsa dan bernegara.

Yg jadi pertanyaan, sdh LILO atau ikhlas blm dgn kedudukan dan kenyataan atas keputusan hukum ini ?. Artinya kubu no 1. Ikhlas blm dgn capres no 2 duduk dipemerintahan dan dirinya sbg penyeimbang diluar pemerintahan. Sebaliknya kubu no 2 ikhlas blm bila jlnnya pemerintahan akan diimbangi oleh kubu no 1.

Keikhlasan bagi kubu no 1 disini dlm konteks melepaskan dan berbagi kesempatan dgn sesama anak bangsa utk memimpin pemerintahan. Sdgn dirinya berperan diluar pemerintahan. Klo blm ikhlas ini yg perlu dipertanyakan? Yg dicari kedudukan pemerintahan atau cita cita utk rakyat. Krn kedudukan di pemerintahan hnylah salah satu jln bkn satu satunya jln utk mewujudkan cita cita demi rakyat.

Demikian ikhlas bagi kubu no 2 adalah memberikan ruang waktu dan kesempatan dgn sungguh sungguh kepada pihak no 1 sehingga kubu tsb bs berperan optimal utk memberi masukan, evaluasi, koreksi, peringatan, dan pencegahan utk kepentingan rakyat.

Bila belum ikhlas jgn hrp keduanya legawa berjuang utk rakyat. Krn bs jadi mereka hny memperjuangan kepentingan pribadi dan golongannya saja yaitu merebut kursi kekuasaan utk kepentingan kelimpok dan golongannya.

Legawa adalah sikap yg bijaksana. Yang terlahir stlh menemukan keadilan dan ikhlas berkorban demi tegaknya keadilan tersebut.

Kalu tujuannya hny kursi Presiden tentu sulit menemukan keikhlasan di pengadilan MK. Tp kalau benar utk rakyat tentu lbh mudah menemukan keikhlasan, bahkan rela berkorban demi tegaknya keadilan yg telah diputuskan lwt pengadilan Mk. Kalo benar utk rakyat berarti ikut berjuang dan berkiorban demi kedaulatan hukum negara, dan tdk masalah hrs berjuang lwt jalan pemerintahan maupun diluar pemerintahan.

Continue Reading | comments

Damai tapi Gersang


Kartun GM Sudarta - Kompas

Continue Reading | comments

Waspada ISIS

Kartun GM Sudarta - Kompas

Continue Reading | comments

Yah Mau Bayar Pajak Aja Susah

Kartun Jitet Koestana - Kompas

Continue Reading | comments

Catatan Agustusan

Oleh Prie GS
Hampir setiap tgl 16 Agustus malam, entah kebetulan entah tidak, aku hampir selalu melayani undangan para bupati untuk bicara di pendapa kabupaten. Tahun ini giliran Purbalingga. Saya bahkan merasa tidak hafal nama Pak Bupati, tetapi begitu kami ketemu, ternyata kami pernah bertemu di pesawat. Beliau adalah mantan petinnggi sebuah bank tempat aku juga pernah bicara di kalangan mereka. Yang kuinngat, tiga tahun lalu aku berada di Kabupaten Blora. Pak bupati waktu itu membuka pidatonya dengan menegaskan Bahwa Blora adalah kabupaten termiskin di Jawa Tengah. ''Tetapi jangan takut, kalau hanya untuk memberi transport Mas Prie pulang, kami masih sanggup,'' kata Pak Bupati.

Sudah tentu, semua yang hadir tertawa. Saya juga. Tetapi dalam hati saya sebetulnya berimpresi secara sunguh-sungguh atas pembukaan itu. Sepanjang perjalanan, tidak cuma ke Blora, aku selalu tergerus oleh rumah-rumah miskin di pinggir jalan. Kadang-kdang ada ayam dan kambing kurus di depan rumah, kadang-kadang kulihat orang tua yang duduk murung di teras rumah mereka yang muram.

Perjalananku ke wilayah kabupaten, yang paling mengasyikkan adalah menatap rumah-rumah miskin di pinggir jalan itu. Asyik? tentu tidak. Asyik dalm arti, itulah melulu yang menjdi konsentrasiku. Pertama, karena potret kemiskinan negeriku maish tercermin lewat pemandangan ini. Kedua, aku sendiri mengalami kemiskinan semacam itu. Aku pernah ke Kabuoaten Paser Penajam, Grogot Kalimatan Selatan.

Melewati desa-desa terpencil dengan rumah sendirian di pinggir hutan, sungguh mendatangkan bermacam-macam perasaan. Seandainya anak dan istriku yang tinggal di rumah terasing itu, sementara aku harus senantiasa bepergian mencari nafkah. Jika pikiran kudramatisir seperti itu, berpenderanlah wajah anak-anak dan istriku. Sering aku diam-diam menahan haru dan mencoba untuk tidak menangis. Aku tidak tahu apakah kedatanganku di aneka pendapa kabupaten itu ada gunanya. Tetapi pesan yang kutangkap dengan jelas di hati ialah, betapa luas ini negara dan betapa kita banyak tugas!

Continue Reading | comments

Cantelan Peristiwa

Kartun GM Sudarta - Kompas

Kartun Djoko Susilo - Suara Merdeka

Continue Reading | comments

Komedi Cuci Tangan 2 (6) Jonggrang Estate

Friday, August 8, 2014

Jonggrang yang ini bukan di Tangkuban Perahu
Continue Reading | comments

Quo Vadis Kemanusiaan?


Kartun Jitet Koestana - Kompas

Continue Reading | comments

Tanda-tanda Ujung Zaman Bakal Tiba?


Kartun Non-O

Continue Reading | comments

Menunggu Hasil Putusan MK


Kartun GM Sudarta - Kompas

Continue Reading | comments

Santai Sejenak


Kartun Non-O

Continue Reading | comments

The Politics of Kissing Hands

Oleh Emha Ainun Nadjib

SEORANG sahabat sekaligus saudara kita dari Bogor, yang tulus hatinya dan tegak pikirannya, yang bersahaja hidupnya maupun sangat serius hajinya — sejak beberapa bulan yang lalu menuntut saya agar menuliskan lewat sebuah rubrik suatu masalah yang ia sodorkan kepada saya melalui surat. Masalah yang baginya amat sangat penting, dan alhamdulillah bagi saya juga amat sangat penting.

Lebih alhamdulillah lagi karena Rasulullah Muhammad saw, juga sangat concern terhadap soal ini, terbukti lewat banyaknya sabda beliau yang khusus mempermasalahkannya. Juga bagi Allah swt sendiri — sepengetahuan saya — soal ini juga termasuk tema primer dan prinsipil yang harus diurus oleh hamba-hambaNya secara murni dan konsekuen.

Mustahil kalau bagi Allah masalah ini tergolong sekunder. Hal mengenai siapa yang dihormati dan siapa yang menghormati, telah ia informasikan acuan dasar akhlaq atau moralitasnya. Allah tidak memerintahkan agar seorang bapak atau ibu merunduk di depan anak-anaknya, melainkan anak-anak yang dengan prinsip birrul walidain wajib menghormati bapak-ibu mereka.

Bukan karena iseng-iseng saja Allah menciptakan adegan di mana ia memerintahkan para malaikat agar bersujud kepada Adam. Episode ini tidak bisa diubah misalnya dengan meletakkan iblis sebagai aktor yang disembah sementara Adam mensujudinya. Menurut salah satu logika tafsir, begitu satu malaikat menolak menyembah Adam, turun derajat atau kualitas malaikat itu — dari “cahaya” menjadi “api”. Ilmu bahasa Alquran kemudian juga berkembang mengacu pada kasus ini, di mana nur (cahaya) selalu dipakai untuk menggambarkan kemuliaan di akhirat, sementara nar (api, neraka) digunakan sebagai simbul dari kehinaan dan kesengsaraan.

Padahal nur dan nar berasal dari komposisi huruf dan rumpun kosakata yang sama.

Iblis ogah menyembah Adam karena alasan feodalisme dan alasan penolakan terhadap regenerasi. Alasan feodalnya, atau bahasa simbolisasi Qur’aniyahnya bernama takabur (gemedhe, sok lebih hebat), karena Iblis merasa dirinya terbuat dari material atau dzat yang lebih tinggi, halus, kualitatif, dan lebih mulia dibanding Adam yang hanya sedikit lebih tinggi dibanding keramik yang sama-sama terbuat dari tanah liat. Padahal Allah sudah menetapkan bahwa Adam itu ahsanu taqwin (sebaik-baik ciptaan), karena manusia dianugerahi “cakrawala” (kemungkinan), sementara malaikat atau iblis hanya memiliki “tembok statis” (kepastian) untuk baik atau kepastian untuk buruk. Manusia yang mengolah dirinya dalam kebenaran akan berkualitas mengungguli malaikat, sementara manusia yang memperosokkan diri dalam kesesatan akan berderajat lebih rendah dibanding iblis dan setan.

Sedangkan alasan “penolakan terhadap sunnah regenerasi” — maksudnya adalah ketidaksediaan iblis untuk menerima kepemimpinan manusia atas alam semesta. Bagi iblis manusia itu “anak kemarin sore” kok mau sok memimpin.

Emangnya dia sudah pernah ikut penataran P-4 atau memiliki sertifikat Pekan Kepemimpinan HMI atau PMII! Kok berani-beraninya menjadi khalifah! Apakah manusia sudah punya pengalaman dan jam kerja kepemimpinan, sehingga berani sombong mencalonkan diri atau tenang-tenang saja ketika diputuskan oleh Allah untuk menjadi pemimpin?

Demikianlah, karena hakekat eksistensi manusia adalah “pengembaraan ke cakrawala kemungkinan” — maka ia bisa tiba pada ruang, waktu dan posisi untuk berhak dihormati atau justru wajib menghormati.

Para nabi, rasul, dan auliya’ sukses memposisikan diri untuk dihormati oleh para malaikat, ditemani oleh makhluk-mahkluk rohaniah itu ke manapun mereka pergi.

Sementara banyak manusia lain, misalnya Gendheng Pamungkas, sengaja atau tak sengaja melakukan mengembaraan untuk memposisikan diri agar justru menghormati iblis. Bahkan kita semua ini sesungguhnya diam-diam memiliki dimensi-dimensi nilai empirik yang membuat kita layak menghormati iblis — berkat suksesnya rekruitmen dan mobilisasi mereka atas kita-kita yang hina ini.

Kaum ulama juga terdiri atas manusia-manusia biasa yang menempuh cakrawala. Mereka bisa tiba di suatu maqam tinggi, suatu istiqamah, suatu tempat berdiri nilai — yang membuat mereka dihormati oleh ummatnya, dihormati oleh umara, didatangi oleh pejabat gubernur, menteri, dan presiden. Namun bisa juga kaum ulama tiba pada suatu derajat yang tidak mengandung kualitas istiqamah apa-apa, tidak memiliki cahaya kemuliaan sebagai golongan yang ‘alim — sehingga justru mereka dalam tatanan struktural keduniaan justru berderajat untuk selalu sowan kepada umara.

Lebih mengasyikkan lagi kerena sangat banyak ulama, keulamaan, dan kelembagaan ulama yang legitimasinya berasal dari umara. Derajat mereka sangat rendah, dan tak berkurang kerendahannya meskipun ditutup-tutupi dengan seribu retorika dunia modern mengenai partnership antara ulama-umara atau dengan dalih-dalih dan alibi-alibi apapun.

Ulama-ulama jenis ini keadaannya sangat mengenaskan hati. Mereka selalu mengikatkan tangannya pada borgol kekuasaan. Membungkukkan punggungnya di hadapan penguasa dunia, bahkan tidak berkeberatan sama sekali untuk mencium punggung tangan sang penguasa. Di zaman terang dahulu kala terdapat banyak cerita mengenai ‘kesombongan’ ulama yang tak mau dipanggil penguasa, karena derajat ulama bukanlah ditimbali atau didhawuhi oleh penguasa, melainkan dihormati dan dibutuhkan oleh penguasa. Di zaman bebendhu sekarang ini, banyak ulama bukan saja akan sangat senang kalau dipanggil menghadap ke istana penguasa, tapi bahkan selalu mencari jalan, lobi dan channel bagaimana bisa menghadap penguasa.

Sowan ulama kepada umara adalah sebuah mainstream bahasa kolaborasi terhadap kekuasaan. Sowan adalah pernyataan kesetiaan politik ulama kepada umara. Ulama yang membungkuk dan mencium tangan penguasa adalah simbolisasi dari tidak hidupnya etos zuhud di kalangan ulama.

Sowan mencerminkan ketergantungan kaum ulama kepada kekuasaan, keamanan politik praktis, dan mungkin juga jatah-jatah ekonomi — meskipun sekedar arisan naik haji atau dibikinkan satu unit gedung pesantren.

Yang paling salah dari episode-episode sejarah semacam ini adalah Anda-anda yang pusing kepala gara-gara tetap saja meyakini bahwa mereka adalah ulama.

Continue Reading | comments

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger