<div style='background-color: none transparent;'></div>

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
HumOr Edisi: 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 Januari - Desember 2018 - Tahun ke VII

Mpok Nur dan Bang Fadil

Sunday, April 5, 2015


Kartun Ifoed

Continue Reading | comments

Selingkuhan Rasa Durian


Kartun M Najib

Continue Reading | comments

Misnurani by GM Sudarta - Kompas



Continue Reading | comments

Garong Terhormat

Kartun Sibarani

Oleh Indra Tranggono


Ada garong konvensional, ada garong inkonvensional. 

Garong konvensional yang ada di tingkat hilir dimaknai perampok, kawanan pencuri/penyamun. Adapun garong inkonvensional identik dengan garong halus yang bekerja secara tersistem dan terkait dengan jabatan serta kekuasaan di level negara.

Garong konvensional identik garong kasar. Perampokan/penjarahan/pembegalan harta benda yang dilakukan berlangsung secara terbuka, bahkan dramatis dan mengandung unsur kekerasan fisik dan pembunuhan. Nyawa dan darah jadi realitas ikutan. Sebelum diadili, garong kasar ini lebih akrab berurusan dengan pihak keamanan level bawah: polsek dan polresta.

Adapun garong inkonvensional jauh lebih terhormat dibandingkan dengan garong konvensional. Kedudukan dan kekuasaan mereka secara struktural dalam sistem atau birokrasi penyelenggaraan negara jadi salah satu penyebabnya, di samping latar belakang mereka: kelas sosial menengah, pendidikan S-1, S-2, S-3, karier politik, akademik, birokratik, dan lainnya. Juga tingkat kedekatannya dengan kekuasaan atau para penguasa politik dan ekonomi. Faktor lainnya, umumnya mereka kaya, punya banyak aset, baik deposito tak terhitung maupun benda-benda lainnya. Kehidupan mereka kental dengan aroma jetset tetapi bisa sangat cair luluh berinteraksi dengan berbagai komunitas.

Etos kriminal mereka tak jauh berbeda dengan etos kaum mafioso. Jika garong konvensional merampok secara terbuka, transparan, dan langsung, bisa dilihat, kaum garong inkonvensional melakukannya secara tertutup, bahkan penuh cita rasa etika dan estetika tinggi. Perampokan dilakukan dengan sopan santun, penuh ”penalaran”, rasionalisasi (pembenaran), sehingga terkesan wajar. Misalnya, dalam merampok APBN atau APBD hingga mencapai triliunan rupiah.

Garong inkonvensional memiliki ”kreativitas” tinggi untuk mengakali sistem. Misalnya, sistem politik anggaran negara untuk rakyat/masyarakat. Mereka menguasai regulasi dari filosofi, penafsiran, pemaknaan, hingga pengoperasiannya yang memungkinkan dana besar bisa dibelokkan dan digenggam, sementara rakyat hanya mendapatkan remah-remahnya.

Dalam soal membuat fiksi, kemampuan mereka mampu ”mengalahkan” penyair, cerpenis, dan novelis papan atas sekalipun. Jika para sastrawan berprinsip ”berbohong” dalam penciptaan demi kebenaran, mereka justru bicara ”kebenaran” demi kebohongan. Tak ada kebenaran otentik bagi mereka. ”Kebenaran” bagi mereka sejatinya tak lebih dari ”pembenaran” yang melabrak nilai, moral, norma, dan hukum dan menyembah kepentingan secara sepihak, subyektif.

Imajinasi mereka pun sangat liar. Mereka mampu mengubah hal-hal fiksional jadi ”realitas”. Mereka bisa membuat praktik lelang proyek sandiwara, membuat perseroan, CV, dan lembaga bisnis palsu, atau membuat proyek-proyek fiktif, ”rakyat” fiktif, dan lainnya.

Pencinta koruptor
Jangan mengira garong inkonvensional ini dikutuk. Mereka justru ”dihormati”, baik secara sosial maupun yuridis. Di masyarakat mereka bisa ”membeli” citra sebagai ”orang terhormat” dengan banyak bederma. Di tingkat elite, mereka punya banyak pendukung dari politisi, konglomerat, birokrat, sampai penegak hukum. Maka, jangan heran jika remisi terhadap koruptor sangat progresif dan tinggi.

Para pencinta koruptor mendadak lupa atas kebengisan para garong inkonvensional yang tidak hanya membuat negara pailit dan tak berdaya, juga membunuh rakyat melalui perampokan hak- hak sipil warga. Para pencinta koruptor yang pintar mengakali pasal-pasal hukum pidana berdalih koruptor pun punya hak asasi manusia dan tidak boleh didiskriminasi. Kenapa justru kepada kaum garong inkonvensional toleransi mereka sangat tinggi, sementara kepada rakyat yang jadi korban justru tidak dibela?

HAM atau hak-hak sipil, hak politik, semestinya hanya milik masyarakat yang memiliki tingkat keadaban dan peradaban tinggi, bukan masyarakat garong yang anti keadaban dan peradaban. Hukum formal sering beku, gagap, dan gugup sehingga tidak memiliki kemampuan serta keberanian menerapkan hukuman berbasis keadilan dan rasa keadilan publik. Inilah kehebatan kaum garong inkonvensional yang mampu menciptakan sistem yang nyaman bagi mereka.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi akhirnya hanya jadi dongeng ninabobo, yang tampaknya menenteramkan, tetapi membuka mara bahaya bagi rakyat. Ironisnya, ini terjadi di dalam praktik rezim yang semula berniat mulia memberantas korupsi. Adakah kaum garong inkonvensional jadi prioritas?

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Garong Terhormat".
 
Continue Reading | comments

Disuruh Lari Kaki Diikat by Non-O







Continue Reading | comments

Penegakan Hukum by GM Sudarta - Kompas



Continue Reading | comments

Haiyaaa...Mubes Pakarti di Solo

Kartun Sibarani
Oleh Darminto M Sudarmo

Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti) telah melaksanakan Mubes (musyawarah bersama) hari Sabtu dan Minggu (28-29 Maret 2015) bertempat di Taman Budaya Jawa Tengah. Target utama gawe tersebut adalah  memilih pengurus baru periode 2014-2019. Periode ini memasuki usia 25 tahun organisasi para kartunis tersebut. Sebuah usia yang cukup memadai untuk mempertegas eksistensi dan peran para kartunis Indonesia di masa-masa mendatang.

Yan Praba, telah terpilih kembali sebagai Ketua Umum Pakarti untuk periode 2014-2019. Beda tipis dengan kandidat lain, Abdullah Ibunu Thalhah. Praba mendapatkan 14 suara dan Ibnu Thalhah 13 suara. Tradisi demokrasi telah dimulai dengan bersih lewat calon ketua lebih dari satu orang. Preseden baik ini perlu terus dilestarikan untuk pemilihan di masa-masa mendatang.

Secara historis, berbicara tentang kartunis di Indonesia, kita tak dapat menafikan sosok seorang kartunis maestro yang menjadi salah satu penanda penting jatidiri kartunis yang memiliki integritas dan dedikasi luar biasa. Kartunis itu adalah Augustin Sibarani (Srani). Dia disebut oleh Peneliti Indonesia asal Universitas Cornell, Amerika, Benedict ROG Anderson sebagai karikaturis terbesar negeri ini. Pada Oktober 2008, kartunis tersebut mendapat anugerah Maestro Kartunis dari Museum Kartun Indonesia Bali. Augustin Sibarani (89), meninggal pada 19 Desember 2014.

Bagi orang-orang yang mengalami masa demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun 1950-an, tentu mengenal nama Augustin Sibarani (dengan inisial “Srani”) sebagai salah satu karikaruris (editorial/political cartoonist) politik terkemuka masa itu. Karyanya semula muncul di koran Pedoman dan Merdeka, kemudian juga di majalah kebudayaan Kisah dan Aneka.

Karikaturis politik yang menonjol masa itu selain Sibarani, juga dikenal nama Ramelan di Suluh Indonesia dan Sam Soeharto di Indonesia Raya. Rata-rata kartunis masa itu memang lebih berani, terbuka dan tajam dibanding pada masa matangnya Orde Baru.

Sejak tahun 1955 Sibarani mulai menjadi karikatuis tetap di koran Bintang Timur yang berhaluan kiri, hingga koran tersebut ditutup tahun 1965. Di koran itulah makin menonjol kepiawaiannya  dalam gambar sindir karikatur. Menurut kartunis Pri S (almarhum), meskipun Bintang Timur berhaluan kiri, karikaturnya tak menunjukkan ciri realisme sosialis dogmatis seperti pada koran Harian Rakjat yang juga sangat kiri. Karikatur Sibarani tampak lebih nakal, liar dan lincah bermain metafora: Kuda Troya, nenek sihir, penjinak kobra, kartun babi Disney dan berbagai ungkapan masyarakat global lain. Karikaturnya membuat Bintang Timur terlihat cerdas dalam berungkap.

Maestro Sejati

Semangat yang selalu diperjuangkan karikaturis Sibarani adalah kebenaran dan keadilan. Itu tercermin dari ungkapan verbal maupun dari simbolisasi karikatur-karikaturnya. Kritik-kritiknya tajam dan langsung. Analogi atau metafora yang dibuatnya juga lugas, apa adanya, tidak berputar-putar. Sikap itu dia lakukan untuk siapapun, terutama kepada elit penguasa yang menyimpang.

Banyak pihak, terutama kartunis angkatan sesudahnya yang mempertanyakan keberadaan sisi humor dari kartun Sibarani; namun kalangan lain menilai, itu terjadi karena para kartunis (baca: karikaturis) yang hidup di masa Orde Baru, terlalu bertenggang rasa dengan sejumlah alasan dan bermain di zona aman untuk sejumlah alasan pula.

Menurut GM Sudarta, sikap pendiran Sibarani yang teguh seperti batu karang juga terlihat dalam karya-karya yang menyoroti kebobrokan Orde Baru, tanpa tedeng aling-aling manggambarkan Soeharto dan para pejabat serta kroninya, adalah yang kemudian Ben Anderson menyebutnya sebagai kartunis single fighter, pejuang sendirian, di tengah dunia basa-basi Indonesia. Untuk urusan idealisme Agustin Sibarani tak bisa ditawar-tawar, ia bahkan bersikap keras kepala. Ia memang maestro sejati!

Karyanya Tidak Bisa Dibungkam
Di masa pemerintahan Orde Lama, karikatur-kartikatur Sibarani juga sering membuat gerah pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Terjadinya peristiwa peledakan granat di sebuah sekolahan di Cikini, Jakarta, saat Bung Karno memberikan pidato sebagai wakil wali murid, juga membuat Sibarani beranalisa cepat. Ia menggambar karikatur seorang bos (besar) yang sedang menghisap pipa yang isinya sebutir granat sedang mengepulkan asap.

Kritik Sibarani terhadap Amerika tidak berhenti sampai di situ. Seperti misalnya dalam sebuah risalah yang ditulis oleh Ben Anderson di sebuah penerbitan, di mana di situ dimuat kartun Srani, yang menggambarkan Amerika menyedot kekayaan Indonesia, kemudian pejabat Indonesia menyedot tinja yang dikeluarkan Amerika dan rakyat kecil menyedot tinja yang dikeluarkan oleh pejabat Indonesia. Sebuah analogi yang menyentak, langsung menusuk jantung.

Karena karikatur-karikaturnya yang menusuk dan menyentak itulah, maka Sibarani mengalami  sering didatangi orang-orang yang mengaku sebagai “utusan” Kedutaan Amerika. Mereka datang silih berganti dengan maksud membujuk Sibarani agar mau disekolahkan di Amerika, semua biaya dan uang saku ditanggung, semua karya lukisnya (dia juga aktif melukis) akan dibeli mahal, asalkan ia mau melakukan satu hal saja: berhenti menggambar karikatur. Apa tanggapan Sibarani? Dengan bahasa lugas ia menolak tawaran itu. Akhirnya sejarah mencatat, Augustin Sibarani memang sebuah legenda hidup; sebagai karikaturis Indonesia yang berpengaruh;  karyanya tidak bisa dibungkam.

Autobiografi Augustin Sibarani
Melengkapi penjelasan Sanggam Gorga Sibarani (anak sulung Augustin Sibarani/Kompas,29-12-2014) tentang rencana menerbitkan buku ayahnya, saya punya pengalaman menarik. Ada sebuah draft  asli buku “Autobiografi Augustin Sibarani” yang ditulis dengan mesin tik, tinta agak samar, penuh coretan koreksi tulisan tangan Sibarani sendiri.

Buku ini bercerita tentang riwayat Sibarani semasa kanak-kanak di Pematangsiantar, Sumatera Utara, hingga akhirnya ia bersekolah dan beraktivitas di Bogor/Jakarta. Cerita dimulai saat ia bekerja sebagai  asisten perkebunan di Merbuh, Boja, Kendal, Jawa Tengah. Kebetulan saya mendapat kepercayaan pertama dari Gorky Sibarani, anak kedua Sibarani via Museum Kartun Indonesia Bali untuk mentranskrip dan menyunting draft tulisan itu guna dijadikan buku. Buku akhirnya terbit dan dicetak terbatas untuk dibagikan kepada pengunjung pada saat perhelatan “Tribute to Sibarani” atau penganugerahan Maestro Kartunis Indonesia, di Bali, pada Oktober 2008. Buku yang berkisah tentang kiprahnya dalam dunia karikatur dan seni lukis dia tulis dalam buku lainnya “Karikatur dan Politik” (2001).

Kutipan buku Autobiografi Augustin Sibarani:

Bab 1
Terdampar di Tempat
Kaum Melarat

KEGEMARANKU membaca hampir semua buku karangan Dr. Karl May di masa kanak-kanak menjelang remaja dahulu sering membuat aku jadi pengkhayal. Sering kukhayalkan diriku menjadi penunggang kuda yang cekatan seperti Old Shutterhand dan Winnetou yang memacu kudanya di daerah savanna yang luas atau di bukit-bukit berbatu di daerah yang disebut Liano
Estacado di negerinya orang Indian di Amerika.

Tidaklah terduga olehku sama sekali, bahwa di kemudian hari setelah dewasa, aku menjadi penunggang kuda yang cukup cekatan juga; karena tugasku mengelilingi daerah luas yang tidak luput dari berbagai bahaya.

Tidaklah juga pernah terpikir olehku sebelumnya, bahwa di awal hidupku sebagai orang muda, aku akan terdampar di tengah-tengah masyarakat kaum jembel yang amat melarat.

Tiap hari dari pagi hingga sore aku berada di tengah-tengah mereka. Aku telah menjadi asisten perkebunan di perkebunan karet Merbuh; yang letaknya kurang lebih 30 km Selatan kota Semarang; dan kira-kira tujuh kilometer jauhnya dari kota distrik Boja. Ini terjadi di awal April 1945, masih di zaman pendudukan Jepang. Biasa aku disebut “sinder”. Perkataan ini sebutan yang lebih gampang untuk istilah Belanda opziener atau opzichter. Opzichter perkebunan sebenarnya pangkat yang cukup lumayan. Dst.Dst.

Lahir Bungkus
Augustin Sibarani sebenarnya lahir pada 17 Juli 1925, di kota Pematangsiantar di Sumatera Utara. Karena ia dilahirkan pakai "bungkus", mungkin saat itu dianggap suatu "aib", kelahirannya tidak terus diumumkan, dalam ilmu embriolologi, proses kelahiran semacam ini sebenarnya soal biasa saja. Walaupun jarang terjadi, ada kalanya di waktu bayi lahir ia disertai plasenta yang tadinya melekat pada rahim, yang dihubungkan tali pusar, serta membran yang meliputi bayi sebelumnya. Biasanya membran ini menyusul setelah bayi lahir, dan ini yang disebut after-birth. Pada 20 Agustus dia dibaptiskan, dan pada hari pembaptisan itu sekaligus dibikin hari lahirnya, yaitu: 20 Agustus 1925.

Kehidupan Sibarani penuh warna dan suka duka. Selain pernah menjadi asisten perkebunan, Letnan I di Divisi V Purwokerto, pelukis di Yogyakarta dan akhirnya menjadi karikaturis atas anjuran Bung Karno, ia juga pernah menjadi bintang film. Pada 1956, bersama Bambang Hermanto membintangi film Korupsi, bersama Kotot Sukardi membintangi film Djajaprana.

Kendati selama Orde Baru berkuasa ia tak bisa (tepatnya dilarang) mempublikasikan karya karikaturnya, atau lebih tepatnya lagi: tak ada media yang berani memuat karikaturnya, Sibarani tak kekurangan akal. Karikaturnya yang menyengat dan lugas tajam itu toh akhirnya terbit juga di media-media luar (Perancis) seperti harian Le Monde Diplomatique, Humanite, dan La Lettrede.

Pada 1998, ia berpameran karikatur tunggal dan berceramah di Hotel Van Der Kasteelen, Amsterdam, Belanda. Akhirnya sebagai catatan, berbicara tentang karikatur di Indonesia, sangat tidak sopan seandainya alpa menyebut atau merujuk namanya. Lepas dari berbagai pro-kontra, dunia mencatat Sibarani adalah  sosok dengan dedikasi dan sumbangsih jejaknya yang begitu menginspirasi dalam dunia perkarikaturan Indonesia. Ia juga salah satu ujung tombak demokrasi yang belum tergantikan.

Harapan agar Mubes Pakarti di Solo tidak hanya berkutat di masalah teknis dan pragmatis semata, belum sepenuhnya tercapai ia tetap perlu mewacanakan ruh inti sebuah tanggung jawab dan peran kartunis dalam makna yang esensial dan substansial; yakni sebagai agen kontemplasi dan inspirasi bagi masyarakat luas.

Darminto M Sudarmo
, pemerhati humor dan bergiat di komunitas Studi Humor Indonesia Kini (ihik3.com)

Continue Reading | comments

Selalu Begini Tabiat Negeri Ini by Non-O







Continue Reading | comments

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger