Prie GS |
Sudah lama
pendidikan budi pekerti dilenyapkan dari sekolah, sudah tak terhitung berapa
banyak pihak yang meratapi kehilangan ini, tetapi sekolah kita tetap pada
pendiriannya. Mata pelajaran itu tak layak ada. Ini artinya, di mata sekolah,
pelajaran itu remeh adanya. Kini, secara sosial, Indonesia harus menghadapi
realitas yang amat mencengangkan: krisis budi pekerti yang dari ke hari
grafiknya terus meninggi.
Kolom ini
ditulis bersamaan dengan kematian dua orang remaja (dan kematian remaja lainnya
yang luput dari media) hanya gara-gara mempertahankan handphone-nya.
Akibatnya: para perayah handphone itu langsung mencabut celurit dan
memburai usus korbannya. Belum cukup, datang lagi temannya, ikut mencincang
tubuh itu sebagai pesta solidaritas bersama, dan setelah itu ia mandi dan tidur
sangat nyenyak. Ia baru bangun setelah polisi mencokoknya. Sambil digelandang
pun anak itu masih belum penuh kesadarannya. Hampir selalu, seluruh cerita
berdarah semacam ini ditutup dengan satu tersangka utama: alkohol.
Benar, anak-anak
itu memang menggila karena pengaruh alkohol. Tetapi alkokol itu hanya sebuah
titik dari sederet panjang garis yang tidak sederhana, yang panjang prosesnya,
dan bertali-temali variabelnya. Saya bayangkan, anak-anak yang diasuh alkohol
itu adalah anak-anak yang nyaris tanpa asuhan sama sekali di manapun dia
berada.
Di rumah,
mereka tidak pernah bertemu pendidikan melainkan hanya bertemu kemiskinan dan
kekacauan. Ada bapak yang sudah miskin, menganggur, masih pemalas pula. Sudah
pemalas, masih doyan berjudi pula. Sudah judi gemar mabok pula dengan rajin
memukuli istri sebagai selingan hariannya.
Di televisi,
anak-anak ini bertemu acara dengan rating sebagai tujuan akhirnya. Maka apapun
isinya, asal tingi ratingnya, ia akan menjadi hiasan abadi di televisi.
Karenanya anak-anak yang bahkan kesulitan membayar uang sekolah itu, harus
histeris mengirm SMS untuk memenangkan idola mereka di berbagai lomba. Lalu
mereka dilatih untuk cuma sibuk terpana pada prestasi pihak lain sambil lupa
mengurus prestasi mereka sendiri.
Di
koran-koran, mereka membaca aneka berita tentang pejabat negara yang hampir
setiap kali menjadi terangka. Mereka mendengar ada jembatan ambrol sebelum
waktunya, ada anggota dewan nyabu di sana, terima suap di sini, dan berforo
mesra di situ. Di jalan, mereka melihat motor kreditan merajalela dan adab
berkendara yang nyaris kanibal pada etika.
Di sekolah,
mereka hanya sanggup bertemu dengan sekolah-sekolah murah, karena cuma sekolah
itu yang mau menerima. Apakah sekolah ini berbaik hati? Tidak, karena memang
cuma anak-anak terpaksa saja yang datang pada mereka. Tetapi adakah sekolah ini
layak diberi beban mengasuh anak-anak yang bahkan keluarganya sendiri gagal
mengurusnya? Jangankan mengurus murid, bahkan membayar gaji guru-gurunya saja,
sekolah ini sudah sangat bersusah payah.
Tetapi
jangankan sekolah yang dianggap buruk mutu, di sekolah yang dianggap baik mutu
saja, mudah saja ditemukan aneka praktek tidak bermutu. Tapi jangankan cuma
sebuah sekolah, semutu apapun sebuah, jika cuma sebuah, kuat apa ia melawan
sistem pendidikan yang kepalang kaprah, yang sibuk mengurus proyek katimbang
mengurus budi pekerti. Jadi, pelajaran yang amat kita butuhkan itulah yang
justru pejaran yang secara sadar kita lenyapkan.
0 comments:
Post a Comment