Home »
» ZONA GELAP
ZONA GELAP
Kolom PRIE GS
Dari seorang lulusan SD yang menjadi tersangka karena merakit televisi sampai ke seorang tukang las penemu tangan robot yang kemudian dijuluki manusia besi, telah membawa Indonesia ke sebuah teka-teki. Teka-teki pertama, sanggupkah negeri ini mengelola para genius lokal hasil dari derita hidup itu. Kriminalisasi pada perakit televisi semata-mata dari sudut pandang pelanggaran hak cipta telah mendesak para netizen untuk menggalang dukungan. Hak cipta adalah persoalan penting, tetapi merawat bakat adalah juga persoalan tak kalah penting.
Kini telah lahir pilar kelima dalam demokrasi: Facebook dan Twitter. Semula pilar itu hanya tiga: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Ia tak cukup tanpa media, maka jadilah media sebagai yang ke empat. Media konvensional kini sedang habis-habisan menata diri melawan apa yang yang disebut ‘’media sosial’’ (jejaring sosial). Pilar kelima itulah yang di hari-hari ini menjadi unsur penekan paling atraktif pemerintah. Kini dari gubernur sampai presiden telah mudah memperolah jalan bebas hambatan untuk menuju informasi paling inti: lewat akun pribadi. Kini, pejabat publik tanpa akun Twitter dan Facebook, akan berada dalam zona gelap. Pejabat ini akan kesulitan menentukan posisinya di antara medan bahaya. Ia sepenuhnya gelap pada kedudukan kawan dan lawan.
Sepintas lalu, tanpa jejaring sosial pejabat publik seolah-olah aman dan luput dari kegaduhan. Mereka terhindar dari hiruk pikuk dpujian sampai makian. Tetapi bahayanya ialah: mereka sama sekali akan miskin panduan memahami keadaan. Kesadaran para kepala daerah untuk mudah diakses lewat akun pribadi, membuat mereka adalah juga seorang netizen. Apa yang ramai ditulis di linimassa Tiwtter dan di tembok Facebook adalah keramaian yang terpampang jelas di tembok mereka. Maka jika netizen sedang membela seseorang, pembelaan itu akan didengar hingga ke jantung kepentingan. Menyangkut perakit televisi yang kini telah mendapat lisensi itu, teka-teki pertama telah dijawab dengan baik oleh Indonesia. Tetapi apakah ini jawaban teknikal atau jawaban fundamental, butuh kita uji lima tahun mendatang. Jawaban teknikal adalah sekadar menjawa agar sebuah isu secepatnya reda. Jawaban fundamental adalah jawaban yang menyangkut tata kelola peradaban, bagaimana Indonesia merawat para genius ini.
Teka-tekai kedua adalah manusia besi, The Iron From Bali yang tangan robotnya segara menjadi viral di berbagai pemberitaan termasuk televisi. Belum cukup ia menuai puja-puji, serangkaian opini telah dengan cepat mengritis lengan robotnya yang terlalu sempurna bekerja, sementara lembaga-lembaga riset raksasa saja baru sanggup menyediakan lengan robot yang kaku dan mekanik. Maka keraguan bahwa tangan robot ini adalah sebuah sensasi, mulai menjadi penyimbang di linimassa.
Sementara pihak yang bersangkutan menyikap kontroversi ini dengan santai. Teka-teki kedua ini belum lancar kita jawab. Verifikasi kepada Wayan The Iron Man itu adalah tindakan sangat sederhana dalam dunia jurnalisme dan langsung akan menjernihkan persoalan. Tetapi sampai saya menulis kolom ini, publik belum memperoleh fakta yang memuaskan. Artinya, jejaring sosial cepat sekali berempati, tetapi seperti lambat melakukan ferivikasi. Atau, kecepatan adalah ugas internet, sementara akurasi adalah tugas media cetak. Inilah mungkin jalan tengah agar kedua media yang berbeda ranah ini kembali hidup berdampingan dan saling bebagi peran.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment