Prie GS |
Secara tampilan orang ini sepenuhnya sangat sah untuk disalahpahami. Kecil, hitam, dan belel. Kemana pun pergi hanya ransel di punggung itu saja bawaanya. Berhari-hari pergi, cuma kaos hitam bergambar Bung Hatta dan jaket hitam itu saja yang dia pakai. Tapi pergaulan orang ini sepenuhnya menakjubkan. Dengan cuma bersandal ia bisa berbincang secara pribadi dengan Darmin Nasution di ruang kerjanya. Bisa serius berdua dengan Arifin Panigoro bicara soal nasib petani. Ia pernah menjemput ekonom Faisal Basri untuk ia boncengkan dengan motor masuk desa pedalaman Sumatera Barat dan anehnya Faisal mau saja untuk seminar di tengah sawah tanpa bayaran pula. Orang ini Masril Koto namanya, bersama Sandiaga Uno, ia baru saja kami undang untuk berbagi pengalaman di Forum Wedangan, sebuah forum tempat komunitas UMKM bertemu.
Masril adalah seorang penggerak petani yang menakjubkan di wilayahnya. Kini ia seorang miliader pengelana. Tapi ia bepergian dengan merdeka karena meningalkan keluarga yang tercukupi dan komunitas petani di wilayahnya yang kuat dan mandiri. Masril kini sibuk berkeliling Indonesia untuk menyerap apa saja dengan pertanian dan lingkungan sebagai minat besarnya. Darinyalah saya menangkap semangat yang menyala untuk sebuah kabar yang celakanya mencemaskan: krisis pangan. Jika tak ada aral melintang waktunya tak akan lama, tinggal 2020. Persoalannya ialah, bagaimana agar masyarakat Indonesia berkontribusi menyiapakan aral melintang itu agar krisis tertunda. Tulisan ini adalah bagian dari upaya itu walau mungkin tak banyak artinya. Tetapi inilah saatnya, semua bergerak secara bersama-sama untuk soal yang memang cuma bisa di hadapi secara bersama.
Untuk data-data teknis menyangkut tentang ancaman lapar itu biarlah menjadi tugas para ahli. Kepada kita para awam cukup dengan menangkap keganjilan yang mulai jamak dan mudah dilihat saja. Anomali iklim adalah yang terjelas dari seluruhnya. Di Indonesia kini mulai terasa betapa musim tinggal definsi. Kemarau dan penghujan bisa bertukar waktu kapan saja. Dan cukup hanya dengan ketidakjelasan musim semacam ini, petani akan lumpuh siklusnya.
Ini baru satu hal. Hal lain adalah penyusutan lahan pertanian yang agresif. Di Jawa, areal sawah terbaik ramai-ramai diuruk untuk dijadikan tempat usaha. Kenapa selemah ini petani mempertahankan tanahnya? Karena sawah bagi mereka tidak keramat lagi. Migrasi profesi sekarang ini terjadi secara besar-besaran karena alasan yang nyaris lengkap. Petani lama yang sukses tidak selalu sukses melahirkan anak-anak yang mau jadi petani. Karena terbiasa hidup enak, generasi baru itu lalu memilih menjadi anak kota yang gaya. Mereka lalu asing dengan sawahnya sendiri. Akhirnya, katimbang mengolah sawah, generasi baru ini lebih pintar menjual sawah. Kebangkrutan keluarga petani adalah gejala kebudayaan yang nyata saat ini.
Bagaimana dengan patani yang masih bertahan? Mereka hidup dalam tekanan yang besar karena guncangan abad informasi. Kini pragmatisme adalah wabah yang menakutkan yang menjangkiti seluruh profesi, tak terekcuali petani. Pestisida telah menjadi praktis, pola tanam telah menjadi parktis. Pemakaian pestisida yang agresif membuat bahkan hama pun mudah melakukan mutasi genetik. Hama baru muncul seperti monster yang tiba-tiba. Dan hama itu dipermudah oleh pola tanam petani yang seragam dan tak lagi bervarisi seperti anjuran kearifan. Jadi seluruh penyebab kelangkaan pangan di masa depan itu sedang terjadi dengan sangat lengkap dan serempak. Karenanya tugas kita seluruhnya, negara terutama, adalah memutus siklus itu sekuat yang kita bisa.
0 comments:
Post a Comment