<div style='background-color: none transparent;'></div>

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
HumOr Edisi: 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 Januari - Desember 2018 - Tahun ke VII

Yang Penting Hepi by Non-O & Zaenal

Wednesday, January 28, 2015











Continue Reading | comments

Kacaunya Dunia Perfilman



Kacaunya Dunia Persilatan


Baru dua hari tayang di bioskop, film “Kacaunya Dunia Persilatan” disomasi. Film yang menampilkan tokoh pendekar legenda seperti Si Buta Dari Goa Hantu, Wiro Sableng dan Mantili tersebut dianggap melanggar hak cipta. Si Buta Dari Goa Hantu yang diperankan Tora Sudiro, tak disetujui oleh PT Bumi Langit selaku pemilik hak cipta Si Buta Dari Goa Hantu. Akhirnya, pihak PT Bumi Langit melayangkan somasi terhadap Skylar Picture selaku rumah produksi film Kacaunya Dunia Persilatan.

Dalam film tersebut tokoh Si Buta Dari Goa Hantu disebut dengan nama pelesetan (parodi) Si Buta Dari Gua Buat Elu.

Melihat sekilas tayangan triler Kacaunya Dunia Persilatandi You Tube, sosok Si Buta sama sekali tidak mengingatkan kita pada figur Ratno Timoer yang dulu sering memerankan Si Buta dari Goa Hantu versi komik Ganesh TH di film-film layar lebar.

Si Buta Taro tampak sosok si buta standar. Pakaian pun tidak memakai kulit ular merujuk pada pendekar buta yang bernama asli Barda Mandrawata. Tambahan lagi film tersebut mengaku bergenre komedi. Sebuah pilihan genre yang memungkinkan memelesetkan tokoh fiksi atau superhero dari manapun. 

Jangankan Wiro Sableng dan Mantili. Kapten America, Wonder Wowan, Superman, Spiderman, Hulk sampai bahkan Mister Bean didatangkan dan ditampilkan dalam cerita film tersebut oke-oke aja selama logika dan nalar cerita memenuhi kaidah dan argumen lelucon. Natural, tidak dipaksakan apalagi direkayasa. Apalagi kalau  Si Buta Dari Goa Hantu sudah berubah sebutan menjadi Si Buta Dari Gua Buat Elu. Secara faktual dan delik perkara jelas beda. Oleh karena itu somasi dari PT Bumi Langit kepada si buta versi film Skylar Picture agak berlebihan dan tak tepat sasaran.

Dunia komedi, dunia parodi, pelesetan adalah dunia khas, tujuannya tak lain tak bukan hanya untuk mendatangkan tawa penonton. Saya belum menonton film Kacaunya Dunia Persilatan” secara utuh. Apakah target film tersebut benar-benar mencari perhatian dan tawa penonton? Bukan menjual pesona dan daya tarik adegan persilatan an sich?
 
Kalau benar, “Kacaunya Dunia Persilatan” berada dalam main business  film komedi dan secara isi juga konsisten dengan rilis yang diberitakan, itu berarti ia sudah berada dalam track yang benar. Beda kalau misalnya jualan film komedi, isinya justru mengambil dan memanfaatkan tokoh-tokoh popular dunia persilatan dengan mendompleng isu supaya jualannya laris, itu jelas beda. Itu namanya “Kacaunya Dunia Perfilman”.

Di manapun di dunia ini, aturan main membuat parodi supaya ngefeks tawanya, wajib bagi si kreator untuk menampilkan sosok yang sudah sangat popular di masyarakat. Semakin terkenal tokoh yang diparodikan, semakin cepat dan efektif komunikasi yang terjadi.(Odios).

Penulis aktif di komunitas Studi Humor Indonesia Kini (ihik3.com)
Continue Reading | comments

Kapita Selekta Pilisia - Kapeka


Kartun GM Sudarta Kompas


Kartun GM Sudarta Kompas


Kartun Didie SW Kompas


Kartun Jitet Koestana Kompas

Continue Reading | comments

Trending Mode Berdasarkan Tahun Periode


Berdasarkan posting: wdp

Continue Reading | comments

Perampok Profesional


Jangan Bergerak. Uang ini milik negara, hidupmu milikmu.



Sewaktu terjadi perampokan di Guangzhou, China, perampok bank berteriak ke semua orang di bank: "Jangan Bergerak. Uang ini milik negara, hidupmu milikmu." Semua orang di bank menunduk dengan tenang. Ini yang disebut "Konsep Mengubah Pikiran" Mengubah cara berpikir yang konvensional.

Ketika seorang wanita berbaring di meja secara provokatif, perampok berteriak padanya, "Beradablah, Ini perampokan, bukan pemerkosaan!" Ini yang disebut "Profesional", fokus hanya kepada apa yang kamu dilatih untuk..

Ketika para perampok kembali ke rumah, perampok yang lebih muda (lulusan S2) berkata kepada perampok yang tua (lulusan SD): "Bang, ayo kita hitung berapa yang kita dapat." Perampok yang lebih tua bilang "Bego banget lo. Duitnya banyak gitu kok, pasti lama ngitungnya. Malem ini lihat aja di TV bakal memberitahu berapa yang kita rampok dari bank!" Ini yang disebut "Pengalaman." Sekarang pengalaman lebih penting dari gelar..!

Setelah perampok pergi, manajer bank bilang pada supervisornya untuk menelpon polisi secepatnya. Tetapi supervisor berkata: "Tunggu! Ayo kita ambil $10juta dollar lagi dari bank untuk kita dan tambahkan ke $70juta dollar yang sudah kita ambil dari bank".

Ini yang disebut "Sambil Berenang Minum Air." Mengubah keadaan tak baik menjadi keuntungan Anda!

Supervisor berkata: “Akan sangat bagus bila ada perampokan setiap bulan."

Ini yang disebut "Membunuh Kebosanan". Kebahagiaan personal lebih penting dari pekerjaan Anda.

Keesokan harinya, berita TV melaporkan bahwa $100juta telah dicuri dari bank. Perampok itu terpana, mereka menghitung dan menghitung, tetapi yang mereka peroleh hanya $20juta dollar. Perampok sangat marah dan komplain "Kita merisikokan hidup kita dan hanya dapat $20juta dollar. Pekerja Bank mengambil $80juta dollar dengan santai. Sepertinya mendingan menjadi teredukasi daripada perampok!"

Ini yang disebut "Pengetahuan Bernilai Lebih Banyak dari Emas". Manajer bank tersenyum dan bahagia karena kekalahan di main saham dapat dibayarkan oleh perampokan yang terjadi. Ini yang disebut "Mengambil Kesempatan." Berani mengambil risiko!

Jadi siapakah pencuri sejati dan lebih profesional di sini? (Wasito Djati Pribadi)



Continue Reading | comments

Jangan Panik Masih Ada yang Menggelitik



Kartun M Najib

Umi Sakdiyah

Kulkas Baru

Hari Minggu kemarin, Paijo memergoki sebuah mobil bak terbuka mengantar kulkas ke rumah Juki. Kebetulan kontrakan mereka bersebelahan.

"Setahuku kamu itu bujangan, nggak pernah masak, alergi sama es, ngapain beli kulkas? Mau jualan es, ya?" tanya Paijo penuh selidik.

"Enggak, kok. Buat ngeringin baju sama sepatu. Kan sekarang musim hujan!"

"Kalo gitu, kenapa nggak beli mesin cuci aja?" lanjut Paijo keheranan dengan alasan Juki.

"Takut dikira mau buka laundry kiloan!" jawab Juki kesal.


Nonton Film
"Mau ke mana, Juki?" tanya Paijo melihat temannya sudah rapi jali.

"Mau nonton ke Blok M"

"Biasanya nonton dagelan di di Senayan" ujar Paijo heran.

"Di Blok M filemnya lagi seru, Jo! Cicak vs Buaya jilid 2"


Tiga Aturan Persilatan

Tiba-tiba Juki datang membawa mukanya yang masam. Padahal biasanya cuma ketiaknya saja.

"Nape lu, Juk?" tanya Paijo heran.

"Abis berantem sama Senior"

"Menang?"

"Kalah!"

"Makanye inget selalu pesan guru!"

"Pesan yang mana?"

"Itu, lho, tiga aturan persilatan :
1. Senior selalu benar
2. Senior tak pernah salah
3. Kalau senior salah, lihat aturan pertama"


DPR dan Deventer

"Wakil kita di DPR hebat-hebat ya, Jo?" ujar Juki sambil sarapan nasi sama orek tempe di warteg langganan.

"Hebat gemana?" sahut Paijo bingung.

"Ya, itu, giliran mbahas undang-undang untuk kepentingan rakyat, alotnya setengah mati, pake acara walk out sama mbanting meja. Tapi giliran milih Kapolri langsung oke, pake aklamasi segala," jelas Juki lagi.

"Ya nggak usah bingung, Juk! Mereka kan lagi menjalankan ajaran Van Deventer."

"Maksudnya?"

"Lha iya, kalau pemilihan Kapolri kan bisa buat mraktekin teori balas budi ajarannya Van Deventer. Kalau kita, wong cilik balas budinya paling lima tahun sekali, nggak penting banget!"


Ketemunya Black Box

"Woooiii... kotak hitamnya udah ketemu... " teriak Paijo, wartawan infotainment dari atas kapal. Matanya melotot girang ke arah sekoci yang sedang didayung petugas ke arah kapal.

"Mana... mana...?" sahut beberapa wartawan dan awak kapal berebut melihat ke arah yang ditunjukkan telunjuk Paijo.

"Wah... iya, bener! Itu kotak hitamnya. Lihat warna oranyenya jelas banget, kena pantulan sinar matahari!"

Sekoci itu pun semakin lama terlihat semakin jelas. Beberapa saat kemudian, mereka terbelalak.

"Lho, kok, ada gambar ikannya?" ujar orang-orang di geladak itu berbarengan.

Ternyata yang dikira kotak hitam itu hanyalah sebuah kotak penyimpan ikan berwarna oranye milik nelayan.


Murah Tapi Aman

"Jo, kalau naik pesawat pilih yang murah apa yang mahal?" tanya Juki iseng.

"Yang murah dan cepet, dong!" jawab Paijo sambil sarapan nasi uduk.

"Lha kalau murah tapi cepet masuk akherat, gimana?"

"Maunya sih yang murah, cepet, dan aman. Tapi nggak ada ya, di Indonesia?" tawar Paijo sambil cengengesan.

"Ada, tuh! Naik aja pesawat telpon, murah dan aman!" sahut Juki kesal.


Penyebab Jatuhnya Air Asia

"Ikut berduka cita ya, Jo, atas jatuhnya Air Asia," ujar Juki syahdu.

"Sebenarnya tuh penyebab jatuhnya pesawat itu keteledoran manajemen Air Asia. Lha wong nggak punya izin trayek kok malah jalan aja. Harusnya mereka kasih ganti rugi tuh, nggak cuma buat keluarga yang ditinggalkan, tapi juga kepada Basarnas, TNI/Polri yang ikut repot melakukan evakuasi, juga buat keluarga para petugas yang harus deg-degan ditinggal suaminya bertugas," sahut Paijo berapi-api.

"Kalau menurut aku, sih, yang paling salah itu Gatotkaca! Dia lalai menjalankan tugas!" sambung Juki tak mau kalah.

"Lho, kok, bisa?"

"Lha, iya! Yang bertugas patroli di udara kan si Gatot, harusnya kalau Air Asia itu nyalahi trayek, mbok ya dikejar, terus disemprit, suruh balik lagi ke bandara," jawab Juki kalem.

"Ooo... pantesan. Lha wong waktu itu Gatotkaca lagi main catur sama aku!" kata Paijo merasa bersalah.


Tris Sakeh

Kisah IBU lebih penting daripada ISTRI

Di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), ada seorang pria yang kehilangan ISTRInya karena terpisah.
Dia bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang menangis karena terpisah juga dari IBUnya.
Akhirnya mereka sepakat untuk bersama-sama mencari.
Si Pria itu bertanya:
"Ayahmu nggak ikut?"
"Ayah sudah meninggal tahun lalu.."
''Ibumu ciri-cirinya seperti apa, Nak?''
''Ibu saya tingginya 172cm,
Badannya langsing,
Kulitnya putih,
Pakai rok mini kuning,
Wajahnya cantik seperti Sophia Latjuba,
Dadanya seperti Julia Perez,
Dan pakai sepatu hak tinggi seperti Jennifer Lopez...''
Si Pria terperanjat... ''Haaahhh... Trus ?''
''Kalau ISTRI om ciri-cirinya seperti apa ?''
''Ahh..Ngga penting..
Ayo kita cari aja IBUMU dulu, Nak....."







Continue Reading | comments

Antara Pesimisme dan Optimisme by Non-O





















Continue Reading | comments

I like Holiday

Friday, January 2, 2015


Kartun Apat Supriyono

Continue Reading | comments

Kolmunimbus Momok Angkasa



Duka AirAsia QZ 8501 - Kartun Non-O



Kartun Jitet - Kompas

Continue Reading | comments

Harapan dan Dinamika 2015 Kartun Non-O






Continue Reading | comments

Selingan Ringan di Sela Kesibukan Kerja


Kartun M Najib


Seorang pasien mati-matian membujuk dokter agar tidak jadi mengoperasinya.
"Sebenarnya saya tidak menderita penyakit serius kok, dok," ungkapnya, "Kecuali usus buntu saya agak terasa gatal."
"Baiklah," kata dokter bedah, "Kalau begitu mari kita keluarkan saja."
"Oh, jangan, dokter!" sahutnya cepat, "Apakah hanya karena gatal sedikit saja usus buntu harus dikeluarkan?"
"Tentu saja," balas dokter dengan nada tidak sabar. "Setelah dikeluarkan nanti kita bisa menggaruknya!"

Seorang mahasiswa psikologi sedang mengadakan riset di sebuah Rumah Sakit Jiwa. Ketika berjalan di sebuah bangsal, ia melihat seorang pria yang menangis sambil berguling-guling dan meratap, “Sylvie...Oh, sylvie....” katanya tersedu-sedu.
“Apa yang terjadi dengan pria itu?” tanya si mahasiswa kepada petugas rumah sakit yang mengantarnya.
“Oh, lelaki malang itu mengalami depresi. Cintanya ditolak oleh pacarnya bernama Sylvie, wanita itu kawin dengan lelaki lain.” Jawab sang petugas.
Setelah berjalan beberapa langkah, mahasiswa tadi melihat pasien yang mengalami gangguan jiwa. Pria ini juga menangis sesenggukan sambil merintih pilu, “Sylvie....Oh, Sylvie....”
“Lho! Kalau pasien yang ini, apa yang terjadi?” tanya si mahasiswa penasaran.
Petugas rumah sakit tadi menjelaskan, “Inilah lelaki yang kawin dengan si Sylvie itu!”

Suatu malam, pangkalan marinir Amerika di Pasifik mendapat kunjungan mendadak dari komandan. Sebagian besar prajurit telah tidur dan dalam keadaan bugil, karenanya tidak ada waktu untuk berpakaian. Begitulah, mereka berbaris di luar barak dalam keadaan telanjang bulat serta kedinginan.
Dengan langkah tegap, komandan berjalan menelusuri jajaran marinir itu. Dia melihat bahwa salah seorang prajurit yang berbaris itu mempunyai alat vital yang sedemikian panjangnya. Dengan rasa lucu bercampur kagum, dipentungnya alat vital itu dengan tongkat komando. Tetapi bukan main terkejutnya dia, ketika melihat si prajurit itu hanya tersenyum-senyum saja, bukannya mengaduh kesakitan.
"Astaga! Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Alat vitalmu saya pentung tapi kamu masih berdiri tegak, bahkan tersenyum?" tanya komandan.
"Siap, komandan!" sahut prajurit itu dengan cepat sambil memberi tanda hormat, "Yang Anda pentung itu punya prajurit di belakang saya!"

Seorang mahasiswi dari kota mengunjungi pacarnya yang tinggal di sebuah dusun. Pacarnya ini mempunyai ranch yang luas dan puluhan sapi yang diternaknya. Suatu sore yang syahdu, pacarnya mengajak mahasiswi itu berjalan-jalan mengelilingi ranch-nya sambil bergandeng tangan. Di tengah perjalanan mereka melihat sepasang sapi sedang berdekatan dan saling menggesek-gesekkan hidungnya dengan mesra, kesempatran ini dimanfaatkan oleh si pria untuk merayu pacarnya. “Dik, Lihatlah pemandangan yang di sana” katanya sambil menunjuk pada sapi yang sedang bermesraan tadi, “Bolehkah aku melakukan adegan seperti itu?”
“Mengapa tidak?” balas sang pacar, “Toh sapi-sapi itu milikmu sendiri.”

Koleksi: Non-O
Continue Reading | comments

Rekaman 2014 Kartun-kartun GM Sudarta - Kompas











Continue Reading | comments

Rekaman 2014 Kolom-kolom Prie GS

Prie GS

Popularitas Naik Turun

Sebuah survei mengabarkan popularitas Presiden Jokowi turun. Kalau survei itu benar, betapa cepat sebuah popularitas naik lalu turun. Tetapi saya nyaris tak perlu survei untuk mengerti logika naik dan turun. Belum pernah ada sepanjang sejarah demokrasi modern Amerika, ada euforia kemenangan seperti era Obama. Bukan cuma Amerika, dunia merayakannya tak tekecuali Indonesia. Tetapi apakah besarnya perayaan itu sebesar kepuasan terhadap Obama. Tidak juga. Perayaan itu satu hal, dan kepuasan itu hal lain yang nyaris sama sekali terpisah.
Kemenangan Jokowi memiliki stereotip serupa sejak kemunculannya. Saya diam-diam cemas menunggu logika naik dan turun yang siklusnya cepat itu. Tidak cemas dalam arti bahwa siklus itu akan benar-benar terjadi, tetapi cemas kepada kesiapan kolektif bangsa ini pada watak budaya pop. Pesta kemenangan Obama itu lebih mewakili fenomena budaya pop katimbang mewakili dunia kerja misalnya mencegah Amerika dari krisis dan ledakan pengangguran. Ada pengaruhnya tentu iya, tetapi itu pengaruh standar saja, seperti pengaruhnya angin semilir yang akan menerbangkan daun-daun. Tetapi angin itu tentu tidak khusus bergerak demi menerbangkan daun-daun. Agin itu bergerak karena alasan yang sama sekali berbeda.
Begiti juga dengan aneka survei-survei. Kalau ia mewakili kebenaran, tetapi pasti kebenaran sebuah survei saja, bukan kebenaran realitas negara yang rumit persoalannya. Survei adalah satu hal, popularitas adalah hal lain dan soal
negara adalah hal lain lagi. Ketiganya tak selalu ada hubungan tetapi sering dihubung-hubungkan paksa. Hasilnya sebetulnya adalah kerancuan logika dan bahayanya ialah ketika publik mulai terbiasa berpikir dengan logika yang rancu itu.
Jelasnya begini: naik dan turunnya popularitas pejabat publik versi survei sebetulnya tak selalu ada hubungan
langsung dengan prestasinya. Tak berarti kalau popularitas sedang tinggi ia sedang berprestasi dan tak berarti kalau sedang turun ia sedang tak berprestasi. Obama sangat populer saat sebelum jadi Presiden dan merosot setelah jadi presiden, begitu juga dengan SBY, dan begitu juga dengan Jokowi. Itu artinya begitu seseorang mulai bekerja malah menurun
popularitasnya. Padahal di dalam bekera itu pasti terkandung prestasi. Soal prestasi tak memuasakan, tentu soal yang lain lagi.
Jokowi sampai 100 harinya pasti sudah bekerja, ngebut pula, dan yang paling terasa adalah keputusan cepatnya menaikkan BBM. Ini yang dianggap biang kemerosotan
popularitas itu. Saya tak cukup bisa menyimpulkan apakah keputusan ini salah atau benar. Jangankan saya yang tak ahli, pihak yang ahli saja pecah pendapat. Artinya keputusan ini bisa benar bisa salah. Apa jadinya kalau benar? Maka akan terjadi: membuat keputusan benar itulah biang kemerosotan popularitas. Jadi intinya ialah mari bersikap biasa-biasa kepada popularitas. Jengan penuh harap, tapi juga jangan penuh prasangka.


Side A Side B

Era side A dan side B kini telah lewat. Itulah era ketika yang A masih sangat dibedakan dari yang B. Pelopornya ialah kedatangan kaset yang menggantikan teknologi piringan hitam. Dan kini kedatangan CD membuat sisi A dan sisi B mulai nisbi. Semua sisi boleh merasa A atau merasa B. Saat konsep lingkaran datang, kedudukan sudut langsung selesai. Lingkaran tak mengenal sudut, tak mengenal mana ujung mana pangkal. Setiap sisi memiliki kadar kesetaraan.
Kaset adalah era kotak dengan banyak sisi dan sudut. Peran lingkaran cukup ditempatkan di dalam sebagai bagian dari sudut. Untuk itulah ada pihak yang terpaksa harus bertempat di sebuah sudut. Jika sudut itu bernama sisi B, ia bisa bernama ditempatkan juga bisa bernama disudutkan. Penyayi yang mendiami sisi A itulah penyanyi utama, sementara penyanyi sisi B hanyalah pelengkap, dengan bayaran yang tentu lebih murah.
Pada eranya penyudutan semacam itu sungguh dianggap lumrah. Bahkan untuk bisa mendiami sebuah sudut saja, tak peduli itu sudut B sekalipun, orang rela berebut. Yang penting bersudut. Malah demi sebuah sudut, orang rela membayar dan ditipu. Ada sebuah era ketika disudutkan saja orang harus membayar.
Kini, peradaban manusia terus mendekati fitrahnya sebagi penghuni lingkaran. Semua kini boleh membuat sudutnya sendiri dan bisa saling menyudutkan. Maka kegiatan saling menyudutkan sekarang ini ramai sekali. Kini untuk menentukan siapa yang sedang tersudut dan siapa yang menyudutkan tak mudah lagi. Pihak yang tersudut bisa ganti menyudutkan. Pihak yang dilaporkan bisa ganti melaporkan dan para pelaku bisa bergaya sebagai korban.
Era lingkaran adalah era paling demokratis tapi sekaligus membingungkan. Era kotak dan sudut adalah era penuh kejelasan tetapi menyakitkan. Jelas di situ sudutmu. Jika sudut B, rendah derajatmu. Sudut A mahal kelasmu. Lalu hidup menjadi penuh kelas. Orang menjadi mudah meninggikan dan merendahkan karena alasan-alasan sederhana. Menyakitkan karena prakteknya pihak yang dianggap berkelas hanya sedikit saja. Keadaan menjadi terlalu menyenangkan bagi yang sedikit dan terlalu menyakitkan bagi yang banyak.
Kini, jumlah yang banyak itu juga ingin merasa senang dan terutama penting. Akses untuk menuju penting itu kini terbuka untuk siapa saja. Semua orang mudah menjadi senang, dan mudah menjadi penting. Akhirnya semua orang menjadi penting dan akhirnya malah tidak ada orang penting dan akhirnya malah semua orang mudah merasa tidak penting. Akibatnya, kebutuhan untuk menjadi popular, makin hari makin besar jumlahnya, karena semua orang tak cukup puas hanya dengan menjadi penonton tetapi juga ingin ditonton. Itulah kenapa kini kata selfi, narsis terkenal sekali. Untuk kebutuhan ini malah harus dijual di pasaranu tongsis: tongkat narsis.
Saya pernah diajak foto oleh seseorang yang mengaku penggemar. Rampung berfoto, ia sibuk memposting di statusnya dan kebur begitu saja denan wajah gembira meninggalkan saya yang merana. Sudah jelas, bukan saya, ‘’idolanya’’ ini yang penting. Yang penting adalah dirinya sendiri dan saya hanya skadar objek bagi kegembiraannya. Lalu zaman manakah yang lebih enak, zaman sudut atau zaman lingkaran? Semua zaman enak dan semua zaman tak enak. Tetapi saya selalu melihat ada jenis pribadi yang bisa enak di zaman tak enak dan sebaliknya ada pribadi yang tak enak walau hidup di zaman enak. Pribadi yang manakah Anda?


Manajemen Undur-undur

Saat DPR pecah dan ada sebutan DPR tandingan, entah kenapa, secara naluriah, sebagai rakyat saya sama sekali tidak cemas kepada nasib politik Indonesia. Padahal konflik semacam itu mengandung bencana sistemis karena di atas kertas, sistem tata kelola negara terancam lumpuh. Tetapi naluri saya sebagai rakyat yang hidup dalam sebuah sub kultur tertentu sungguh terlatih memahani konteks ini.
Sejak kecil saya akrap dengan budaya ancaman. Makin bertambah umur saya, makin berat ancamannya. Tetapi seluruh ancaman itu ternyata hanya gertakan. Siapa pengancamnya? Terbanyak adalah orang tua. Kalau saya nakal, Ibu terbiasa memgancam akan membawa saya ke Pak Mantri suntik. Tetapi faktanya, suntikan semacam itu tak pernah ada. Jangankan untuk
membayar mantri, untuk makan sehari-hari saja serba darurat. Suntikan itu barang mewah dan hanya dilakukan kalau benar-benar kami dalam keadaan sakit. Bukan sakit sembarang sakit tetapi sakit yang sudah lagi tak bisa sembuh dengar kompres daun dadap atau minum air kendi yang telah didinginkan semalaman di lapangan. Itu adalah prosedur pengobatan yang biasa dilakukan ayah sebagai UGD keluarga.
Jadi suntikan sebagai eksekusi dari ancaman itu tak pernah benar-benar terjadi dan karenanya saya terlatih untuk menganggapnya sepi. Saat SMA ancaman itu jauh lebih besar lagi. Misalnya karena saya dianggap tak tau diri, uang saku dari sauadara akan berhenti. Tetapi pada kenyataannya, ancaman ituuga tak pernah dieksekusi. Pada akhirnya para saudara itu tak tega juga. Ketidaktegaan semacam ini berserak di mana-mana di sekitar hidup saya. Ia hidup secara sosial dan kultural. Itulah kebudayaan yang sampai menemukan
mantera yang terkenal di dalam kebudayaan saya yakni: tega sakitnya, tak tega matinya.
Maka saat DPR tandingan itu dideklarasikan ia mengingatkan ancaman Ibu saya tentang jarum suntik, tentang ayah yang marah karena saya kedapatan mandi di sungai dan menakut-nakuti dengan cambuk dahan. Memang saya masih ingat bagaimana gaya ayah mengacung-acungkan dahannya. Tetapi yang lebih saya ingat adalah bahwa dahan itu tak pernah benar-benar singgah di punggung saya. Saya baru sadar di hari ini, bahwa ada jenis kebudayaan yang mengambil
kemasan ancaman untuk membungkus kasih sayang.
Maka ketika DPR itu rujuk, saya juga sama tak kagetnya karena sistem kejiwaan saya sudah lama menduga. "Tega sakitnya tak tega matinya" telah menjadi budaya bersama yang membuat tata sosial kita unik. Penuh amarah, tetapi juga penuh maaf. Penuh kerumitan tetapi penuh kesederhanaan. Sebuah konflik yang rumit bisa lumer seketika hanya karena salah satu mau mau mengalah bertandang ke rumahnya. Saya pernah hendak menegur terangga yang karena kebiasaannya berpotensi mengganggu kenteteraman bersama. Tetapi bertepatan dengan niat saya menegur, orang itu keluar dan mengantar oleh-oleh buah yang sangat saya suka. Konflik selesai.


Continue Reading | comments

Rekaman 2014 Kartun-kartun Non-O











Continue Reading | comments

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger