<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Rekaman 2014 Kolom-kolom Prie GS

Rekaman 2014 Kolom-kolom Prie GS

Prie GS

Popularitas Naik Turun

Sebuah survei mengabarkan popularitas Presiden Jokowi turun. Kalau survei itu benar, betapa cepat sebuah popularitas naik lalu turun. Tetapi saya nyaris tak perlu survei untuk mengerti logika naik dan turun. Belum pernah ada sepanjang sejarah demokrasi modern Amerika, ada euforia kemenangan seperti era Obama. Bukan cuma Amerika, dunia merayakannya tak tekecuali Indonesia. Tetapi apakah besarnya perayaan itu sebesar kepuasan terhadap Obama. Tidak juga. Perayaan itu satu hal, dan kepuasan itu hal lain yang nyaris sama sekali terpisah.
Kemenangan Jokowi memiliki stereotip serupa sejak kemunculannya. Saya diam-diam cemas menunggu logika naik dan turun yang siklusnya cepat itu. Tidak cemas dalam arti bahwa siklus itu akan benar-benar terjadi, tetapi cemas kepada kesiapan kolektif bangsa ini pada watak budaya pop. Pesta kemenangan Obama itu lebih mewakili fenomena budaya pop katimbang mewakili dunia kerja misalnya mencegah Amerika dari krisis dan ledakan pengangguran. Ada pengaruhnya tentu iya, tetapi itu pengaruh standar saja, seperti pengaruhnya angin semilir yang akan menerbangkan daun-daun. Tetapi angin itu tentu tidak khusus bergerak demi menerbangkan daun-daun. Agin itu bergerak karena alasan yang sama sekali berbeda.
Begiti juga dengan aneka survei-survei. Kalau ia mewakili kebenaran, tetapi pasti kebenaran sebuah survei saja, bukan kebenaran realitas negara yang rumit persoalannya. Survei adalah satu hal, popularitas adalah hal lain dan soal
negara adalah hal lain lagi. Ketiganya tak selalu ada hubungan tetapi sering dihubung-hubungkan paksa. Hasilnya sebetulnya adalah kerancuan logika dan bahayanya ialah ketika publik mulai terbiasa berpikir dengan logika yang rancu itu.
Jelasnya begini: naik dan turunnya popularitas pejabat publik versi survei sebetulnya tak selalu ada hubungan
langsung dengan prestasinya. Tak berarti kalau popularitas sedang tinggi ia sedang berprestasi dan tak berarti kalau sedang turun ia sedang tak berprestasi. Obama sangat populer saat sebelum jadi Presiden dan merosot setelah jadi presiden, begitu juga dengan SBY, dan begitu juga dengan Jokowi. Itu artinya begitu seseorang mulai bekerja malah menurun
popularitasnya. Padahal di dalam bekera itu pasti terkandung prestasi. Soal prestasi tak memuasakan, tentu soal yang lain lagi.
Jokowi sampai 100 harinya pasti sudah bekerja, ngebut pula, dan yang paling terasa adalah keputusan cepatnya menaikkan BBM. Ini yang dianggap biang kemerosotan
popularitas itu. Saya tak cukup bisa menyimpulkan apakah keputusan ini salah atau benar. Jangankan saya yang tak ahli, pihak yang ahli saja pecah pendapat. Artinya keputusan ini bisa benar bisa salah. Apa jadinya kalau benar? Maka akan terjadi: membuat keputusan benar itulah biang kemerosotan popularitas. Jadi intinya ialah mari bersikap biasa-biasa kepada popularitas. Jengan penuh harap, tapi juga jangan penuh prasangka.


Side A Side B

Era side A dan side B kini telah lewat. Itulah era ketika yang A masih sangat dibedakan dari yang B. Pelopornya ialah kedatangan kaset yang menggantikan teknologi piringan hitam. Dan kini kedatangan CD membuat sisi A dan sisi B mulai nisbi. Semua sisi boleh merasa A atau merasa B. Saat konsep lingkaran datang, kedudukan sudut langsung selesai. Lingkaran tak mengenal sudut, tak mengenal mana ujung mana pangkal. Setiap sisi memiliki kadar kesetaraan.
Kaset adalah era kotak dengan banyak sisi dan sudut. Peran lingkaran cukup ditempatkan di dalam sebagai bagian dari sudut. Untuk itulah ada pihak yang terpaksa harus bertempat di sebuah sudut. Jika sudut itu bernama sisi B, ia bisa bernama ditempatkan juga bisa bernama disudutkan. Penyayi yang mendiami sisi A itulah penyanyi utama, sementara penyanyi sisi B hanyalah pelengkap, dengan bayaran yang tentu lebih murah.
Pada eranya penyudutan semacam itu sungguh dianggap lumrah. Bahkan untuk bisa mendiami sebuah sudut saja, tak peduli itu sudut B sekalipun, orang rela berebut. Yang penting bersudut. Malah demi sebuah sudut, orang rela membayar dan ditipu. Ada sebuah era ketika disudutkan saja orang harus membayar.
Kini, peradaban manusia terus mendekati fitrahnya sebagi penghuni lingkaran. Semua kini boleh membuat sudutnya sendiri dan bisa saling menyudutkan. Maka kegiatan saling menyudutkan sekarang ini ramai sekali. Kini untuk menentukan siapa yang sedang tersudut dan siapa yang menyudutkan tak mudah lagi. Pihak yang tersudut bisa ganti menyudutkan. Pihak yang dilaporkan bisa ganti melaporkan dan para pelaku bisa bergaya sebagai korban.
Era lingkaran adalah era paling demokratis tapi sekaligus membingungkan. Era kotak dan sudut adalah era penuh kejelasan tetapi menyakitkan. Jelas di situ sudutmu. Jika sudut B, rendah derajatmu. Sudut A mahal kelasmu. Lalu hidup menjadi penuh kelas. Orang menjadi mudah meninggikan dan merendahkan karena alasan-alasan sederhana. Menyakitkan karena prakteknya pihak yang dianggap berkelas hanya sedikit saja. Keadaan menjadi terlalu menyenangkan bagi yang sedikit dan terlalu menyakitkan bagi yang banyak.
Kini, jumlah yang banyak itu juga ingin merasa senang dan terutama penting. Akses untuk menuju penting itu kini terbuka untuk siapa saja. Semua orang mudah menjadi senang, dan mudah menjadi penting. Akhirnya semua orang menjadi penting dan akhirnya malah tidak ada orang penting dan akhirnya malah semua orang mudah merasa tidak penting. Akibatnya, kebutuhan untuk menjadi popular, makin hari makin besar jumlahnya, karena semua orang tak cukup puas hanya dengan menjadi penonton tetapi juga ingin ditonton. Itulah kenapa kini kata selfi, narsis terkenal sekali. Untuk kebutuhan ini malah harus dijual di pasaranu tongsis: tongkat narsis.
Saya pernah diajak foto oleh seseorang yang mengaku penggemar. Rampung berfoto, ia sibuk memposting di statusnya dan kebur begitu saja denan wajah gembira meninggalkan saya yang merana. Sudah jelas, bukan saya, ‘’idolanya’’ ini yang penting. Yang penting adalah dirinya sendiri dan saya hanya skadar objek bagi kegembiraannya. Lalu zaman manakah yang lebih enak, zaman sudut atau zaman lingkaran? Semua zaman enak dan semua zaman tak enak. Tetapi saya selalu melihat ada jenis pribadi yang bisa enak di zaman tak enak dan sebaliknya ada pribadi yang tak enak walau hidup di zaman enak. Pribadi yang manakah Anda?


Manajemen Undur-undur

Saat DPR pecah dan ada sebutan DPR tandingan, entah kenapa, secara naluriah, sebagai rakyat saya sama sekali tidak cemas kepada nasib politik Indonesia. Padahal konflik semacam itu mengandung bencana sistemis karena di atas kertas, sistem tata kelola negara terancam lumpuh. Tetapi naluri saya sebagai rakyat yang hidup dalam sebuah sub kultur tertentu sungguh terlatih memahani konteks ini.
Sejak kecil saya akrap dengan budaya ancaman. Makin bertambah umur saya, makin berat ancamannya. Tetapi seluruh ancaman itu ternyata hanya gertakan. Siapa pengancamnya? Terbanyak adalah orang tua. Kalau saya nakal, Ibu terbiasa memgancam akan membawa saya ke Pak Mantri suntik. Tetapi faktanya, suntikan semacam itu tak pernah ada. Jangankan untuk
membayar mantri, untuk makan sehari-hari saja serba darurat. Suntikan itu barang mewah dan hanya dilakukan kalau benar-benar kami dalam keadaan sakit. Bukan sakit sembarang sakit tetapi sakit yang sudah lagi tak bisa sembuh dengar kompres daun dadap atau minum air kendi yang telah didinginkan semalaman di lapangan. Itu adalah prosedur pengobatan yang biasa dilakukan ayah sebagai UGD keluarga.
Jadi suntikan sebagai eksekusi dari ancaman itu tak pernah benar-benar terjadi dan karenanya saya terlatih untuk menganggapnya sepi. Saat SMA ancaman itu jauh lebih besar lagi. Misalnya karena saya dianggap tak tau diri, uang saku dari sauadara akan berhenti. Tetapi pada kenyataannya, ancaman ituuga tak pernah dieksekusi. Pada akhirnya para saudara itu tak tega juga. Ketidaktegaan semacam ini berserak di mana-mana di sekitar hidup saya. Ia hidup secara sosial dan kultural. Itulah kebudayaan yang sampai menemukan
mantera yang terkenal di dalam kebudayaan saya yakni: tega sakitnya, tak tega matinya.
Maka saat DPR tandingan itu dideklarasikan ia mengingatkan ancaman Ibu saya tentang jarum suntik, tentang ayah yang marah karena saya kedapatan mandi di sungai dan menakut-nakuti dengan cambuk dahan. Memang saya masih ingat bagaimana gaya ayah mengacung-acungkan dahannya. Tetapi yang lebih saya ingat adalah bahwa dahan itu tak pernah benar-benar singgah di punggung saya. Saya baru sadar di hari ini, bahwa ada jenis kebudayaan yang mengambil
kemasan ancaman untuk membungkus kasih sayang.
Maka ketika DPR itu rujuk, saya juga sama tak kagetnya karena sistem kejiwaan saya sudah lama menduga. "Tega sakitnya tak tega matinya" telah menjadi budaya bersama yang membuat tata sosial kita unik. Penuh amarah, tetapi juga penuh maaf. Penuh kerumitan tetapi penuh kesederhanaan. Sebuah konflik yang rumit bisa lumer seketika hanya karena salah satu mau mau mengalah bertandang ke rumahnya. Saya pernah hendak menegur terangga yang karena kebiasaannya berpotensi mengganggu kenteteraman bersama. Tetapi bertepatan dengan niat saya menegur, orang itu keluar dan mengantar oleh-oleh buah yang sangat saya suka. Konflik selesai.


Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger