Depan dari kanan: Permadi, SH; GM Sudarta, Arwah Setiawan, Darminto M Sudarmo |
Oleh Arwah
Setiawan
Humor adalah
suatu komoditi yang pengadaannya sekarang tidak terlalu mengkhawatirkan di
Indonesia. (Dalam tulisan ini, kata “humor” dipakai dalam pengertiannya yang
paling umum dan luas – segala rangsangan mental yang membuat orang tertawa).
Di
mana-mana, di tengah keadaan yang rata-rata dinilai belum tenteram-bahagia ini,
kita masih lihat khalayak ramai tersenyum-senyum, bahkan terbahak-bahak.
Kesenian tradisional tak sepi dari tawa: wayang, ludruk, lenong. Yang
kontemporer pun tak ketinggalan: teater remaja, Arifin C Noer, Rendra. Humor
dijadikan acara harian TVRI, dalam bentuk lawak maupun film-film serial komedi
dan kartun. Penonton bioskop secara rutin dirayu gelaknya oleh seri badutan
Benyamin dan Ateng-Iskak. Di seberang isak-ratap lagu-lagu pop, pendengar masih
juga sempat terkekeh oleh urakannya Usman Bersaudara atau olok-olok Bimbo
dengan “Tante Sun”-nya. Industri kaset menyebarkan model baru dagelan Basiyo sampai Surya Grup. Dan
media massa bertebarkan gambar kartun dan tulisan humor.
Lain keadaannya, kalau kita bicara
apresiasi humor, yang maksudnya daya tanggap atas humor dari segi
kualitatifnya. Yang diadikan sumber tawa masih hal itu-itu juga: cebol, gembrot, bencong, zat dan
gas buangan tubuh manusia. Sudjoko, itu penulis humor “tinggi” pernah mengeluh
dalam suatu suratnya: “Di Indonesia sekarang saya melihat suatu kontradiksi
yang mengkhawatikan. Bangsa kita ini ahli dagelan dan ludruk dan bebodoran,
tapi ternyata tidak mengerti dan tidak paham humor.“ Salah tafsir rupanya sudah menjadi semacam risiko usaha
bagi para penulis humor maupun bagi para humoris tampil seperti Kris Biantoro
maupun grup Sri Mulat.
Humor itu pembantu
Salah satu cirri buruk manusia
Indonesia, kata Mochtar Lubis, ialah bahwa ia munafik. Dan salah satu ciri
baiknya, ialah bahwa ia punya rasa humor yang besar. Tapi payahnya, kata saya,
ialah bahwa soal humor pun manusia Indonesia masih sempat munafik.
Stephen Leacock, humoris Kanada
zaman pergantian abad akhir, pernah membuat pengamatan yang sekarang sudah
nyaris jadi klise, yang di sini sudah di-“afdruk” OG Roeder dan Mukti Ali. Katanya,
kita dapat menuduh orang dengan tuduhan apa saja kecuali bahwa ia tidak
memiliki rasa humor. Dituduh begini ia akan gusar.
Tapi sementara manusia Indonesia
akan gusar dituduh tidak punya rasa humor, tak akan kalah gusar bila ia dianggap
pelawak. Dan sementara ia mengaku terpingkel-pingkel melihat film Inem Pelayan Sexy, ia akan sakit jantung bila anaknya mengikuti
jejak Jalal menjadi “badut”. Yang ia inginkan tentunya anaknya menjadi dokter
atau tentara, meski dokter dan tentara belum tentu lebih kaya dairpada Jalal.
Ketika saya masih mengasuh majalah
humor Astaga, ada beberapa tokoh
otak sebangsa doktor dan profesor yang mengirimkan tulisan humor mereka kepada
kami. Tulisan mereka memang lucu, dan kami muat dalam majalah. Yang kurang lucu
adalah pesan yang selalu menyertai naskah demikian, yang meminta agar nama asli
mereka jangan disebut -- pakai nama samara saja. Alasannya pasti bukan
keselamatan, melainkan nama baik. Jadi orang-orang begini suka kelucuan, suka
melucu, tapi tidak suka ketahuan suka melucu.
Sikap begini memang tercermin dalam
(atau diakibatkan oleh?) seni tradisional. Dalam pewayangan saja tugas melawak
diserahkan kepada Semar-Gareng-Petruk, itu punakawan atau tim “pembantu” para
satria. Ndoro-nya, Arjuna, adalah satria sakti gagah berani,
jadi harus halus dan serius meskipun boleh playboy.
Buat atasan, seks masih lebih boleh
daripada humor. Dalam bentuk-bentuk pementasan tradisional lain pun tokoh
jongos dan babu merupakan obyek dan subyek humor yang tetap.
Memang bukan hanya di kalangan
manusia Indonesia saja sikap begini
bercokol. Dalam bukunya Asian
Laughter, Leonard Feinberg memperhatikan bahwa “Di Negara-negara Asia,
humor dan satire biasanya dipandang sebagai bentuk pengungkapan estetis yang
lebih rendah …. Asia tak pernah memberikan pengakuan resmi kepada para satiris
jeniusnya seperti yang diberikan dunia Barat kepada Aristophanes, Cervantes,
Moliere, Rabelais.” Tetapi daripada
mencari angin dari keadaan yang serupa dengan kita, sebaiknya kita jadi lebih
menyadari bahwa ada masyarakat lain di dunia ini yang bisa memberikan
penghargaan kepada para humorisnya dan menempatkan mereka pada kedudukan yang
selayaknya.
Dan kalau tokoh-tokoh humoris masih
disuruh jongkok sama rendah dengan pembantu dalam jenjang masyarakat kita,
begitu pula humor itu sendiri baru dipandang sebagai unsur pembantu dalam
kebudayaan kita. Seorang dari kelas atas masih boleh menyentuh humor, asal
humornya sekadar untuk memeriahkan obrolan di antara teman, atau buat
menyegarkan ceramah ilmiah serta menyemarakkan kampanye politik. Tapi kalau
humor yang paripurna, berdiri sendiri, itu kurang gengsi -- kerjaan badut-badut.
Manakala ada usaha mengaitkan humor
dengan suatu budang budaya lain, susunannya akan seperti: “syair ini lucu”,
“gambar ini menggelikan”, film ini “banyak banyolannya”. Jarang terpikirkan
untuk menyusun seperti: satire ini indah bahasanya, kartun ini matang
goresannya, komedi ini rapi dramaturginya. Maka kalau sudah diketahui ada humor
dalam sastra, ada humor dalam pers, ada humor dalam drama, belum disadari
adanya aspek sastra dalam humor, aspek komunikasi massa dalam humor, aspek
teaterd alam humor. Ibarat masakan, humor dianggap bumbu penyedap belaka bagi
hidangan lain. Kurang dipikirkan humor sebagai hidangan pokok penuh gizi.
Tapi andaipun sudah sampai sebegitu saja – humor sebagai
unsur dari bidang budaya lain telah benar-benar dipelajari – sudah lumayanlah
keadaannya. Payahnya, masih begitu sulit untuk menemukan artikel yang popular
saja, karangan asli Indonesia yang membahas humor. Jangan lagi bicara buku,
yang padahal di luar sudah ditulis oleh tokoh-tokoh berat seperti Henri
Bergson, Sigmund Freud, Arthur Koestler, dan ratusan lainnya.
Semua bidang cipta diciptakan
sederajat
Tapi benarkah memang “dari sono”-nya
humor itu sepele? Benarkah humor tidak memiliki unsur-unsur yang
memungkinkannya berdiri sama tinggi dengan sector-sektor budaya lain yang sudah
lebih diakui?
Dalam bukunya, The Act of Creation, Arthur Koestler membagi kreativitas manusia ke
dalam tiga wilayah (three domain of
creativity): Humor, ilmu pengetahuan (discovery)
dan seni (arts). Ketiganya sederajat,
karena semua dapat diberlakukan pada peristiwa yang sama dan batasannya sering
tumpang tindih. Kegiatan kreatif ketiganya berjalan di atas proses yang sama,
yaitu mencari analogi tersembunyi. Yang membedakannya adalah iklim emosi yang
terlibat, baik yang mendasarinya maupun yang diakibatkannya.
Humor membuat orang tertawa, ilmu
pengetahuan mengakibatkan orang menjadi paham, seni membuat orang takjub atau
terharu. Emosi yang mendasari humor bersifat agresif, ilmu pengetahuan didekati
dengan emosi netral atau berjarak, seni diliputi rasa kagum atau belarasa.
Humor mempunyai logikanya sendiri. Logika
humor, oleh Koestler didasarkan pada teorinya, bisosiasi. Bisosiasi adalah
proses kreatif yang berjalan di atas lebih dari suatu bidang datar kerangka
pemikiran atau konteks. Ini berbeda dengan proses kreatif lainnya, yang
berlangsung di atas satu dataran konteks saja. Sebagai ilustrasi:
Seorang wanita cantik yang sok agung
dirayu oleh seorang pemuda. “Maaf ya, Dik,” tolak wanita itu, “Hatiku adalah
milikku sendiri.”
“Tapi, Say,” sahut pemuda itu,
“sasaran saya tidak setinggi itu.”
Istilah “tinggi” di sini
dibisosiasikan dengan konteks kiasan (ungkapan “tinggi hati”) dan konteks
jasmaniah (letak anatomis). Penangkapan humor tergantung pada kelincahan rasio
untuk meloncat dari bidang konteks pertama ke bidang konteks kedua. Emosi yang
sejak dasarnya memang lebih lamban tidak dapat mengikuti rasio dan akan terhambur dalam tawa. Dari sini
tampak, humor pertama-tama, merupakan kegiatan pikiran, intelek.
Kekreatifan dapat pula dilihat dari
segi pentahapan proses cipta. Seorang wartawan yang ingin membuat laporan
tentang persitiwa aktual, misalnya, harus melalui dua tahap penciptaan. Pertama
adalah menganalisa peristiwa tersebut dan memilih unsur-unsurnya untuk
diciptakan menjadi gagasan yang analogis dengannya. Tahap kedua adalah ketika
ia mencipta sebuah karangan tulisan dari gagasan analogis itu.
Seorang humoris yang menulis sebuah
satire dari peristiwa yang sama – maupun seorang sastrawan yang ingin membuat
cerpen darinya – harus melalui tiga tahap dalam proses penciptaannya. Pertama
ia akan menciptakan suatu gagasan analogis langsung dari peristiwanya. Lalu ia
harus melalui tahap kedua, yaitu mencari analogi humoristik (pada cerpen
analogi estetis) dari gagasan tadi. Barulah dari gagasan humoristis hasil tahap
kedua itu diciptanya pada tahap ketiga, sebuah tulisan satire.
Humor sebagai sumber daya manusia
Di samping kreatif, humor memiliki
dayaguna yang sangat luas. Dayaguna humor agaknya sudah secara universal
disadari, meskipun belum tentu diamalkan. Tidak hanya bangsa-bangsa demokratis
–liberal, bahkan masyarakat-masyarakat “terpimpin” pun menyadarinya. Di Uni
Soviet misalnya, salah satu majalah yang paling menonjol adalah Krokodil, sebuah berkala yang isinya
humor belaka. Dan dari ujung kanan
spektrum politik, Presiden Park Chung Hee dari Korea Selatan pernah menyatakan:
“Lebih dari masa lalu, sekarang humor dapat memainkan peran obat penenang guna
mengendorkan ketegangan dan menguraikan keresahan umat manusia dalam masyarakat
yang kini ditimpa dehumanisasi ini.”
Ada dua jenis kegunaan humor: yang
langsung dan yang tak langsung. Kegunaan
langsung humor yang sudah paling banyak diketahui adalah untuk menghibur. Karena sudah disadari di
mana-mana tak perlu dipanjanglebarkan di sini.
Suatu kegunaan langsung yang penting
dari humor adalah sebagai sarana koreksi sosial, sebagai bentuk kritik. Dalam
setiap masyarakat di seluruh dunia sudah pasti ada ketidakpuasan tertentu
terhadap keadaan dan pihak yang dianggap penanggungjawab keadaan tersebut,
yakni “penguasa”. Ketidakpuasan bisa disumbat – kritik tak boleh dikeluarkan.
Dalam hal begini, apabila alat-alat kekuasaan cukup ampuh, akan terjadi
implosi, ledakan ke dalam, yang akan menghancurkan semangat warga. Sedang
apabila alat kekuasaan kurang efektif, ketidakpuasan tadi akan membocor dalam
bentuk gunjing dan sas-sus yang akibatnya tidak lebih baik dari pada apati.
Atau isi hati rakyat dibiarkan
keluar, kritik dilepaskan leluasa. Tapi kritik yang memekik-mekik dan
memaki-maki dapat meliar menjadi hasutan ke arah tindakan kekerasan. Dan kritik
yang ilmiah, dan yang disampaikan secara langsung atau tertutup, tidak begitu
membantu dalam segi penyaluran rasa tak puas masyarakat banyak. Harus diingat
fungsi kritik sosial ada dua: untuk memperbaiki kekeliruan, dan guna
menyalurkan ganjalan dalam hati si pengritik maupun khalayak yang sependirian
dengannya.
Atau
kritik bisa dilontarkan bersama tawa. Berbeda dengan kritik yang tertutup dan
ilmiah, kritik humor yang terbuka akan mengikutsertakan masyarakat banyak.
Keterbuaan menyababkan rakyat merasa diwakili, dan humor dinikmati khalayak
ramai. Di sini keterangannya mengapa Rendra mendapat sukses yang begitu besar. Dan
berbeda dengan kritik yang berkobar-kobar, kritik humor sulit menyulut nafsu massa
untuk mengamuk. Sudah terkenal dalam ilmu jiwa, humor justru menjadi pengganti kekerasan, penyalur
nafsu-nafsu agresif dalam jiwa manusia.
Dunia dan sejarah penuh dengan
masyarakat-masyarakat yang memanfaatkan humor dari segi ini. Encyclopedia Britanica misalnya
mengungkapkan tentang suku Ashanti di Afrika yang secara berkala
menyelenggarakan kesempatan bagi rakyat untuk memperolok rajanya. Kepada
seorang tamunya, pernah raja ini bahkan minta agar si tamu turut
mengejek-ejeknya. Atau tentang Paus Adrianus VI yang semula sangat marah dengan
syair-syair satiris yang ditulis orang mengenainya. Tapi kemudian dibiarkannya
saja lawan-lawan pendiriannya bertindak demikian karena ia jadi sadar bahwa
mereka, lewat cara yang relatif aman, hanya sedang menyalurkan perasaan yang
kalau tidak begitu akan jauh lebih berbahaya akibatnya.
Salah satu kegunaan langsung lain
dari humor adalah sebagai sarana yang menarik untuk menyampaikan informasi.
Kita memang sedang diserbu informasi dari segala penjuru. Tapi segala informasi
itu datang dengan jurus yang lempang, sehingga awam cenderung jenuh dengannya.
Maka informasi lewat humor, karena masih langka dan terbungkus kesegaran, kiranya
akan lebih mudah sampai pada khalayak ramai.
Ilmu humor
Di samping kegunaannya yang
langsung, humor juga dapat dimanfaatkan secara tak langsung, sebagai cabang
ilmu tersendiri. Ini baik guna memperkaya khasanan perbidangan ilmu, maupun
guna melengkapi ilmu-ilmu lain yang sudah berjalan seperti psikologi,
antropologi, sosiologi, sastra, politik dan sebagainya. Para psikolog sudah
lama memandang humor sebagai semacam jendela darimana dapat dijenguk
relung-relung yang lebih dalam dari jiwa manusia. Di samping sikap, tutur
bahasa atau cara busana, humor merupakan indikator yang sangat penting untuk
mengetahui watak seseorang.
Hal ini tentu dapat kita perbesar
sampai lingkup masyarakat. Watak suatu kelompok masyarakat, maupun bangsa,
tentu juga terpantul dari humor yang hidup di dalamnya. Tapi selama ini, untuk
mengenal lebih banyak watak suatu kelompok masyarakat, yang dilakukan barulah
penelitian terhadap kesenian tradisional, kepercayaan, folklore, atau struktur kekuasaan dalam masyarakat bersangkutan. Belum
pernah yang terhadap humornya. Daripada dicap terlalu mengada-ada, sekali lagi
saya terpaksa mengacungkan pembanding dengan menunjuk ke luar bahwa banyak sudah
buku humor yang ditulis dalam kaitan demikian. Satu contoh yang bagus dan
banyak dikutip adalah Constance Rourke punya American Humor, A Study in the National Character (1927).
Lembaga penelitian dan pengembangan
humor
Menyimpulkan segala yang dipaparkan
di muka, kita dapat melihat adanya kepincangan besar antara besarnya kehadiran
serta potensi humor di satu pihak dan kecilnya apresiasi serta pemanfaatan
humor di lain pihak. Apalagi kalau dibandingkan dengan bidang-bidang budaya
lainnya. Maka rasanya boleh juga kita mulai memikirkan penghapusan sistem kasta
dalam dunia budaya kita, di mana ilmiah lebih terhormat daripada indah, dan
indah lebih mulia daripada lucu. Atau di mana ilmu dan seni sudah diakui
sebagai wilayah-wilayah kebudayaan yang “resmi” dan humor masih berkedudukan “underground”.
Barangkali
ada baiknya dilancarkan suatu upaya yang lebih disengaja dan terkoordinasi
untuk membudidayakan humor. Misalnya, antara lain: dengan membentuk semacam pusat
pembinaan humor yang mengadakan dua jenis kegiatan, yaitu di bidang praktik dan
di bidang teori. Di bidang ptaktik umpanya menerbitkan majalah atau buku-buku,
mendirikan semacam perkumpulan humoris, membentuk bank naskah komedi. Atau
menyelenggarakan secara berkala suatu (event)
humor yang bisa mencakup bermacam kegiatan seperti festival lawak, pameran
karikatur, sayembara penulisan humor, pembacaan anekdot (sebagai tandingan
pembacaan puisi).
Di bidang teori, pusat ini dapat
mendirikan suatu badan atau lembaga yang menjalankan penelitian humor,
melakukan dokumentasi humor, menyelenggarakan ceramah, seminar atau diskusi
tentang humor, menggiatkan kritik-kritik humor. Dan setelah tergeletak atau
geleng-geleng kepala sejenak, baiklah dipikirkan lebih mendalam mengapa
istilah-istilah seperti “Lembaga Penelitian dan Pengembangan Humor”, “Pengantar
Ilmu Humor”, bahkan “Sarjana Humorologi” tidak boleh ditanggapi dengan serius.
Arwah Setiawan, Ketua dan Pendiri Lembaga Humor Indonesia. Artikel ini
merupakan ringkasan ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, tanggal 26 Juli 1977. Artikel dimuat di Harian Kompas, Selasa, 9 Agustus 1977.
0 comments:
Post a Comment