Cartoon by Jitet Koestana |
Saya Membaca Maka Saya Ada
Oleh Darminto M Sudarmo
Dahsyatnya bacaan memang
bukan omong kosong. Saya teringat di masa kecil, sekolah dasar, di desa
terpencil, sendirian (tidak punya teman yang punya minat serupa); begitu bisa
membaca, saya baca apa saja. Truk lewat, papan nama, sobekan koran, majalah
rusak, saya baca. Salah atau benar pengucapannya, saya tak peduli. Orang tua,
kakak atau orang lain pasti akan membetulkannya. Ketika ada tulisan United States of America, berhari-hari
saya salah mengucapkannya – menurut ukuran lafal bahasa Inggris -- akhirnya toh ada juga orang yang membantu
menuntunnya, sepenggal demi sepenggal.
Ketika keterampilan membaca agak meningkat, saya “sikat”
habis buku-buku cerita rakyat yang ada di perustakaan sekolah. Saya tak pernah
terlalu peduli pelajaran-pelajaran wajib: berhitung, bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan
umum, dan lain-lainnya. Begitu juga ketika sudah duduk di bangku SMP. Pelajaran
Sejarah, saya beri perhatian khusus, kalau isinya tentang peristiwa-peristiwa
menarik. Bagian itu yang saya baca dengan lahap. Bahasa Indonesia, tentu bagian
kesusasteraannya. Tata bahasa, saya pahami saja lewat penjelasan guru di kelas.
Pelajaran Aljabar (sekarang matematika), Fisika, Botani,
Ilmu Ukur, dan lain-lain yang berbau eksak (sains dan teknologi) saya simak
alakadar dan sepintas lalu. Tapi nilai ulangan tidak terlalu buruk, antara 6
dan 7. Mutar-muter di situ saja. Andai para guru dapat menjelaskan apa manfaat
belajar ilmu pasti itu dan kemanfaatannya di masa depan, mungkin saya akan
memberi perhatian secara lebih serius. Karena ternyata setelah saya dewasa baru
menyadari manfaat ilmu yang mengaku dirinya pasti itu. Dan saya baru
mempelajari, potongan-potongan isu tentang sains dan teknologi yang ternyata
sangat memikat dan memukau.
Entah mengapa, di zaman kecil dulu, semangat membaca
begitu menggebu. Mungkin saya termasuk beruntung, salah seorang tetangga, punya
kios yang menyewakan bacaan komik (Dagelan
Petruk Gareng: Indri S; Tuan Tanah
Kedawung, Jampang Jago Betawi, Si Buta dari Goa Hantu, dll: Ganes TH; Godam: Wid NS; Gundala Putera Petir: A Hasmi). Komik-komik karya Taguan Hardjo, Teguh Santosa, RA Kosasih, Jan
Mintaraga, Sim, Zaldy, Hans Jaladara, Djair, Tatang S, Absony, MAN, dll juga
saya baca dengan lahap, hanya saja saya sudah tak ingat lagi judul-judulnya.
Kecuali Panji Tengkorak karya Hans
Jaladara yang sangat membekas. Buku-buku yang dicetak mungil dan berisi roman-roman
berbahasa Jawa juga banyak tersedia. Banyak nama pengarangnya, hanya nama Any
Asmara (nama asli: Achmad
Ngubaeni Ranusastraasmara), yang saya ingat.
Selain di rumah – yang entah mengapa sering saya jumpai
majalah-majalah sewaan atau pinjaman seperti D&R (Detektip & Romantika), Selecta, Variasi, Junior, Senang (versi Selecta Group), STOP, dan Intisari tergeletak begitu saja di meja -- ketika duduk di bangku
SMP (Negeri II Kendal, Jateng, tahun 1970-an) saya juga dimanja bacaan yang
sangat menggoda, karena itu saya anggap saat itu sebagai periode yang paling
mewah bacaan. Bagaimana tidak? Oleh guru bahasa Indonesia saya ditunjuk untuk
menjadi pengelola perpustakaan sekolah. Artinya saya yang pegang kunci, dan
punya otoritas mengatur keluar masuknya buku, mencatat judul apa yang dipinjam,
judul apa yang telah dikembalikan. Cukupkah sampai di situ? Tidak. Hampir
setiap pulang sekolah saya selalu mencatat/meminjam satu atau dua eksemplar
buku. Dan paginya, ketika masuk sekolah, saya selalu mengembalikannya. Secepat
itu? Ya, karena semalam suntuk saya selalu menyelesaikan membaca sebuah atau
dua buah buku.
Bukan sembarang buku. Buku-buku tebal. Buku-buku sastra
karya Chairil Anwar, Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, Abdoel Moeis, Nur Sutan
Iskandar, Pramoedya Ananta Toer (Keluarga Gerilya, dll yang tidak dilarang), Nugroho
Notosusanto, Moechtar Lubis, Iwan Simatupang, dan lain-lain sastrawan penting
pada zaman itu. Buku-buku Karl May, juga termasuk buku yang paling diperebutkan
oleh teman-teman sekolah. Andai saat itu – tahun 1970-an – di Indonesia sudah
lahir sastrawan Arswendo Atmowiloto dan Seno Gumira Ajidarma dengan karya-karyanya
yang aduhai luar biasa itu, tentu saya tak akan melewatkan untuk
me-“mangsa”-nya dengan lahap dari malam ke malam meski hanya menggunakan
penerangan teplok. Listrik? Belasan tahun kemudian baru terpasang.
Andai masa kecil saya hidup di zaman millennia ini,
dengan sumber pembelajaran yang begitu aduhai mewah dan tumpah ruah, saya tentu
tak akan menyia-nyiakan peluang yang luar biasa tersebut. Buku, majalah, dan
koran adalah bacaan yang di masa lalu sungguh sakti dan tergolong mewah. Dari
lorong-lorong jendela yang terbuka karenanya, terlihat dunia yang sungguh elok
tiada tara. Dunia nyata, dunia batin, dunia ruh, dunia imajinasi. Dunia yang seakan
ada di genggaman kita. Kalau Pak Harto (penguasa Orde Baru) sering mengutip
ungkapan Jawa yang berbunyi: Aja Kagetan
(Jangan gampang kaget) dan Aja Gumunan
(Jangan gampang kagum), maka setiap insan yang telah melakukan pengembaraan
literasi lintas ilmu-lintas profesi, akan memiliki cara pandang yang beda
ketika harus berhadapan dengan berbagai centang perenang isu, ujaran kebencian,
baku fitnah dan pencemaran nama baik. Maka dalam konteks ini, sangat elok pencerahan
yang ditebar Gus Dur untuk menghentikan kegalauan itu, “Gitu aja kok repottt!”
Belajar Humor
Pertama kali saya tertarik pada produk humor, baik lawak,
kartun maupun lelucon (joke) saya peroleh
dari menonton ketoprak, ludruk atau sandiwara keliling lainnya dan tentu saja dari
majalah-majalah seperti: D&R
(Detektip & Romantika), Selecta,
Variasi, Junior, Senang (versi Selecta Group), STOP, dan Intisari.
Kartun-kartun karya Johnny Hidayat AR, Subro, SNS, Oet – Pabrik Kartun, Keliek,
dan beberapa lainnya termasuk kartun karya kartunis luar, nyaris hadir
meramaikan halaman demi halaman setiap edisinya.
Lelucon pendek (joke)
juga bertebaran baik sebagai stopper
maupun sebagai sajian utama; terutama di majalah STOP, yang ditengarai (kata orang) sebagai majalah humor kedua
setelah Astaga, asuhan Arwah
Setiawan. Kalau Astaga membidik
pangsa pasar elit dan terdidik, maka STOP
lebih ke pangsa pasar menengah ke bawah. Entah mengapa Astaga tak bertahan lama, tiba-tiba lalu berubah menjadi majalah Femina. STOP sendiri juga tidak dipertahankan lalu berubah bentuk dan isi
menjadi majalah HUMOR. Tahun 1990,
majalah HUMOR dibeli oleh manajemen
majalah TEMPO dan akhirnya diakuisisi
dan dideklarasikan edisi barunya dengan nama HumOr. Di majalah HumOr
ini saya bergabung, sampai tak terduga, karena situasi makro, usreg masalah konten soal yang dianggap
peka dan penuh resisten, pemerintah tak berkenan, akhirnya tahun 1994, TEMPO dan dua media lain kena breidel
secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Semua aset TEMPO (versi
sebelumnya, bukan sekarang) ditarik. HumOr
pun kena imbasnya, karena investasi TEMPO
ada di dalamnya. Maka 1997/1998 majalah HumOr
pun harus ditutup karena aset yang ada di HumOr dan yang ada di manajemen TEMPO
sendiri harus dibagi-bagikan kepada seluruh pendiri dan karyawan TEMPO. Setidaknya itu sedikit
pengetahuan yang saya peroleh dari pihak-pihak yang dapat dipercaya ketika saya
juga bertanya kepada manajemen majalah HumOr,
mengapa harus ditutup padahal tiras laku per-edisinya rata-rata di kisaran 23.000
eksemplar. Maka, secara bergurau yang diuntungkan dari situasi ini adalah agen.
Piutang yang ada di mereka tak mungkin bisa ditarik jika majalah tak terbit
lagi. Lelucon atau ironi? Entahlah.
Setidaknya
antara tahun 1973-1975 banyak ditemukan artikel-artikel kajian humor yang
ditulis Arwah Setiawan di majalah psikologi Anda
dan majalah kampus ITB, Pustaka Salman, Bandung.
Dengan lincah dan menarik, Arwah “berkisah” tentang humor. Tentang teori
bisosiasi-nya Arthur Koestler. Tentang humor yang bisa dipelajari. Bisa dibedah
dan dianalisa.
Ia
juga menyinggung sekilas tentang humor total, humor inilah humor itulah. Dan
yang paling nendang, ketika ia
mewacanakan Humor Itu Serius. Semua
kaget. Semua bereaksi, apa iya? Ia
menyitir Koestler yang membagi kreativitas manusia ke dalam tiga
wilayah (three domain of creativity):
Humor, ilmu pengetahuan (discovery)
dan seni (arts). Ketiganya sederajat,
karena semua dapat diberlakukan pada peristiwa yang sama dan batasannya sering
tumpang tindih. Kegiatan kreatif ketiganya berjalan di atas proses yang sama,
yaitu mencari analogi tersembunyi. Yang membedakannya adalah iklim emosi yang
terlibat, baik yang mendasarinya maupun yang diakibatkannya.
Ia
memberi tekanan lagi. Humor membuat orang tertawa, ilmu pengetahuan
mengakibatkan orang menjadi paham, seni membuat orang takjub atau terharu.
Emosi yang mendasari humor bersifat agresif, ilmu pengetahuan didekati dengan
emosi netral atau berjarak, seni diliputi rasa kagum atau belarasa.
Inti
persoalannya ia ingin mendudukkan bahwa seni humor sama derajatnya dengan
seni-seni serius yang lain (seperti: sastra, teater, lukis, suara, dll) yang
kemudian dipresentasikan di TIM (Taman Ismail Marzuki) dan dimuat di Kompas pada Agustus 1977. Oleh karena
itu, jika teriakan protesnya tak digubris pemegang otoritas, ia hanya dapat
berkilah: tetapi daripada mencari angin dari keadaan yang
serupa dengan kita, sebaiknya kita jadi lebih menyadari bahwa ada masyarakat
lain di dunia ini yang bisa memberikan penghargaan kepada para humorisnya dan
menempatkan mereka pada kedudukan yang selayaknya.
Terkait
dengan studi humor ia sudah lama wanti-wanti
(tentu pertama-tama ditujukan kepada kalangan akdemisi atau peminat): barangkali ada baiknya
dilancarkan suatu upaya yang lebih disengaja dan terkoordinasi untuk
membudidayakan humor. Misalnya, antara lain: dengan membentuk semacam pusat
pembinaan humor yang mengadakan dua jenis kegiatan, yaitu di bidang praktik dan
di bidang teori. Di bidang ptaktik, sudah banyak dicontohkan di atas. Di bidang
teori, pusat ini dapat mendirikan suatu badan atau lembaga yang menjalankan
penelitian humor, melakukan dokumentasi humor, menyelenggarakan ceramah,
seminar atau diskusi tentang humor, menggiatkan kritik-kritik humor.
Studi Humor di Indonesia
Di Pustaka Salman
-- ingat saat itu Arwah hidup di rezim Orde Baru, orde yang sangat daripada
yang mana – ia berhasil menulis kajian yang bermuatan satire dan tajam, tetapi tetap lucu dan bermutu. Dua judul yang
menurut saya sangat gue banget, eh
Arwah banget yaitu: “Akademi Ilmu Berkuasa” dan “Wawancara
antara Arwah dan Setiawan”. Bagian yang terkahir ini menggambarkan Arwah yang
bertanya dan Setiawan yang menjawab. Kontennya, seperti “Akademi Ilmu
Berkuasa”, nyerempet-nyerempet bahaya; tetapi semua dapat dibelokkan Arwah ke
jawaban-jawaban yang tak terduga dan gerrr.
Rasanya, ini menurut saya lho, dua tulisan itu boleh dibilang merupakan karya masterpiece Arwah yang belum tertandingi
dibanding tulisan-tulisannya yang lain, yang jumlahnya puluhan hingga ratusan. He
he…ini contoh kecil bagaimana studi humor dilakukan.
Kembali tentang studi humor. Ada anak bangsa ini, Danny
Septriadi namanya, yang bermula dari minat dan kebutuhannya sendiri, ia
mengoleksi satu dua buah buku baik terbitan dari dalam maupun dari luar negeri.
Tahun demi tahun ia menambah koleksinya. Membaca dan mencermati isinya dengan
lahap, tak terasa dalam bilangan sekian tahun, koleksinya sudah meledak sekitar
700-an buku dan media lain (CD, DVD) serta produk audio-visual lainnya. Menurut
penuturannya, ke depan besar kemungkinan koleksinya bisa bertambah hingga
1000-2000-an bila buku-buku baru juga hadir dan menyemarakkan wacana perhumoran
nasional/internasional.
Pertanyaannya,
untuk apa koleksi sebanyak itu? Apakah cukup ia hanya bermanfaat bagi
Danny seorang? Ternyata tidak. Danny berharap, masyarakat luas, baik dari
mahasiswa, peneliti, peminat multidisiplin ilmu, multiprofesi, dapat memetik
manfaat dari buku koleksinya itu.
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh, ia bersama
Darminto M Sudarmo dan Seno Gumira Ajidarma (tiga komisioner sableng) membuat
perpustakaan maya atau rak buku random yang bisa diakses oleh masyarakat luas
di website ihik3.com. Ihik itu akronim dari Institut Humor Indonesia Kini.
Mengapa ada angka 3 di belakang kata ihik?
Pertama, orang ketawa setidaknya berbunyi:
ihik-ihik-ihik. Kalau ketawa hanya berbunyi ihik, hanya sekali, bisa jadi ia
bukan sedang ketawa tapi justru sedang tersedak atau ada tulang ayam nyangkut
di tenggorokannya.
Kedua, angka 3 itu sebagai tanda ada tiga orang sableng
yang nekat membuat kawasan studi sebuah ilmu penting tapi dinafikan atau belum
dilirik oleh anak bangsa sendiri. Jadi, wajar kalau mereka dikatakan seperti
orang yang kurang kerjaan saja. Tapi mereka berpendapat, sekarang studi humor
memang belum ngetren tapi suatu saat nanti kalau masyarakat sudah tahu ada
wahana untuk itu, pastilah everything
will be going…. rush!
Perpustakaan Humor Pertama di Indonesia
Dalam progress lanjutnya, ternyata Ihik3 tidak berhenti
sampai website saja. Seperti kita ketahui, kajian dan diskusi humor di Indonesia masih minim dilakukan, padahal humor
mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Di luar
negeri, seperti di Amerika Serikat, humor digarap dengan serius sehingga masuk
dalam kurikulum resmi yang diajarkan sejak dini sampai tingkat doctoral dengan
serius. Humor juga digarap dengan serius oleh pelaku industri hiburan, sehingga
memberikan kontribusi ekonomi kreatif yang tinggi, tidak kalah dengan profesi
lainnya
Bertolak dari alasan tersebut, perlu ada tindakan kecil
berdampak besar. Ihik3, sebagai institusi yang punya kepedulian tinggi terhadap
perkembangan humor di tanah air, bertekad untuk menggarap humor secara serius,
salah satunya lewat pendirian Perpustakaan Humor pertama di Indonesia.
Perpustakaan Humor ini diberi nama The Library of Humor Studies, sebuah
pusat kajian humor yang berisi buku-buku humor dari dalam maupun luar
negeri.
Melalui perpustakaan ini, Ihik3 berharap akan muncul
virus-virus kebahagiaan lewat penelitian humor, pelatihan humor bagi awam, kiat
cara sehat dengan humor, diskusi humor dll.
The Library of Humor Studies merupakan bukti nyata bahwa humor
bukan hanya sekadar tertawa, tapi humor punya makna dan fungsi yang beragam
jika dilihat dari perspektif keilmuan. The Library of Humor Studies juga
membuktikan bahwa humor itu serius!
Salam humor!
Tulisan ini didedikasikan untuk Peluncuran The Library
of Humor Studies oleh Ihik3 dan
ke:kini, Cikini, Jakarta 11 Oktober 2017
0 comments:
Post a Comment