<div style='background-color: none transparent;'></div>

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
HumOr Edisi: 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 Januari - Desember 2018 - Tahun ke VII

Kesaktian Anggota DPR

Saturday, October 18, 2014



Kartun M Najib



Kartun Apat


Continue Reading | comments

Menyambut Datangnya Pemimpin yang (Semoga) Negarawan

Moga segalanya lancar...kartun Non-O

Oleh Odios Arminto

SEMBOYAN lawas tentang kepemimpinan yang sangat popular dan sederhana, “The right man in the right place” (orang benar di tempat yang benar) ternyata tidak sesederhana dalam praktiknya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi justru sangat bervariasi. Dua hal yang sangat mengkhawatirkan adalah jika terjadi orang benar di tempat yang salah dan orang salah di tempat yang benar.
Kerinduan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin berkualitas yang diharapkan dapat menjadi inspirasi dan pendorong bagi kemajuan bangsa dan Negara, hanya utopia belaka? Sosok Ratu Adil atau Satria Piningit atau apapun namanya yang terbawa dalam mimpi-mimpi mereka, hanya lintasan katarsis yang sejenak mengobati luka-luka batin bangsa ini. Ia tak pernah datang. Tak tahu pula kapan datangnya.
Pengejawantahan kepemimpinan yang berbasis ajaran luhur nenek moyang seperti Hasta Brata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma Raja dan satu lagi versi Ki Hajar Dewantara (Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani) seharusnya dapat menjadi pemantik inspirasi dan orientasi bagi calon pemimpin bangsa ini. Namun apa yang kemudian terjadi? Semua larut dalam eforia dan pusaran angin besar demokrasi semu yang berujung pada primordialisasi kepentingan individu dan kelompok (parpol). Wacana-wacana tentang kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa hanya sebatas kosmetik dan kembang lambe (lips service) belaka.
           Ajaran tentang Hasta Brata, misalnya, sebagai gagasan dasar untuk pegangan pemimpin tergolong sangat lengkap dan paripurna. Delapan prinsip kepemimpinan sosial yang mengacu filosofi atau sifat alam: air, api, tanah, angin, laut, matahari, bulan dan bintang ini sesungguhnya sudah sangat memadai. Para ahli manajemen dunia umumnya hanya menyentuh filosofi alam tersebut secara parsial atau terpisah-pisah.
           Tampaknya semangat me-reaktualisasi Hasta Brata perlu dilakukan oleh pemikir manajemen (umum maupun kenegaraan) bangsa kita agar ajaran luhur ini tidak berkutat di sekitar kajian filosofis atau abstraksi-abstraksi semata; ia perlu disusun ulang secara lengkap dan komprehensif dari aspek filosofi hingga aplikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari masa kini. Dari rumusan paling sederhana untuk konsumsi anak-anak sekolah dasar hingga rumusan yang sangat kompilkatif di tingkat lanjut. Diharapkan, generasi mendatang dapat memetik manfaatnya, sehingga sebagai salah satu ajaran luhur ia dapat merasuk ke dalam sikap mental dan moral-etik anak-anak bangsa.


***
 
          Pemimpin, hakikatnya juga manusia. Setiap manusia memiliki karakteristik dan stilisasi yang berbeda-beda. Rujukan di bawah ini, mungkin dapat membantu kita dalam memahami calon-calon pemmpin negeri ini yang kelak bakal mengemban amanah yang dipercayakan rakyat kepadanya. Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna, demikian nasihat peribahasa. Termasuk kategori mana calon pemimpin Anda?
Sedikitnya ada enam tipe kepirbadian manusia versi Robin dan Paul Grawe. Kesimpulan ini didapat setelah keduanya melakukan tes di Ithaca, New York, 1994 sebagai upaya memperoleh pengukuran empiris untuk studi humanistik. Tipe kepribadian ini bukan tak mungkin berubah atau berkembang dalam modus dan versi test lain yang berbeda. Upaya ini hampir mirip yang ada di ilmu Katuranggan dalam kitab primbon Jawa Kuno, hanya metode perumusan dan sistematikanya yang agak berbeda.
Tipe Bridgebuilder, seseorang yang bekerja bersama orang-orang dengan simpati dan juga berkeinginan untuk memperbaiki kesalahan. Tipe Crusader, seseorang yang memandang masalah secara obyektif dan berusaha untuk memperbaiki masalah itu. Tipe Advocate, seseorang yang menggunakan bakat verbalnya untuk memperbaiki masalah. Tipe Intellectual, seseorang yang suka menguraikan pandangannya dengan fakta, kata-kata, dan ide-ide. Tipe Reconciler, seseorang yang memahami kesusahan orang lain dan berempati pada mereka. Tipe Consoler, seseorang yang berempati pada orang-orang yang dalam kesusahan dan mengalami kepahitan hidup dengan cara tahu harus berkata apa.
Di sisi yang lain, masyarakat juga perlu mengenal tipologi dasar calon pemimpinnya. Sedikitnya ada delapan dimensi tipologi dasar manusia. Masyarakat dapat mencermati calon pemimpin itu apakah mereka bertipe: ekstrovet, introvet, intuitif, pemikir, perasa, pengamat, sensasional atau penjustifikasi? Mengenal ini penting untuk menimbang apakah di posisinya nanti si calon bakal berperan secara maksimal atau sebaliknya?
Setiap orang memiliki gaya komunikasi yang berbeda-beda. Menurut Carla Rieger, sedikitnya ada empat gaya komunikasi para calon pemimpin; yaitu: Demonstran, Assertors, Contemplators, dan Narrators. Masyarakat dapat mencermati gaya mereka dalam kampanye atau saat berpidato atau berkomunikasi dengan orang lain. Termasuk katagori yang mana mereka?
Gaya demonstran menunjukkan orang yang berorientasi, cepat dan antusias. Mereka biasanya memiliki pemikiran lebih terbuka dan santai. Mereka cenderung lincah bergerak, dan lebih suka suasana informal. Demonstran dapat bertindak keterlaluan, spontan, bersemangat dan suka bergaul. Mereka tergolong orang yang ingin menjadi pusat perhatian. Jika gaya ini sampai berlebihan beberapa kelemahan mungkin akan terlihat seperti tidak dapat diandalkan, egois, terlalu optimistis dan tidak pandang bulu.
Mereka cenderung: agak tidak teratur, mengalami kesulitan tepat waktu dan membuat rincian, suka memakai warna-warna cerah, suka duduk di ruang terbuka, suka mengambil inisiatif dalam percakapan, tertawa dengan mudah dan keras, suka bersenang-senang, dan suka berbicara tentang diri mereka sendiri.
Gaya assertors (tegas) serba cepat dan langsung; seperti demonstran, tetapi lebih berorientasi pada tugas daripada orientasi individu. Mereka cenderung menjadi pekerja keras, ambisius, tipe pemimpin. Mereka pandai membuat keputusan dengan cepat dan efisien. Mereka berorientasi pada tujuan, tegas dan percaya diri. Assertors adalah orang yang bertanggung jawab, tidak membiarkan orang lain menghentikan mereka. Jika berlebihan, beberapa kelemahan mungkin terlihat, seperti tidak sabaran, bersaing yang tidak sehat dan suka menghakimi.
Mereka cenderung: tepat waktu dan efisien, tampil powerful dan formal, duduk dengan postur tegak, sangat diskriminatif di banyak hal (orang, peluang, makanan, dll), tertawa lebih jarang daripada demonstran, mempertahankan sikap yang lebih serius, mengambil peran kepemimpinan dalam banyak situasi, mengajukan pertanyaan dengan menunjuk atau menantang, memiliki pendapat yang kuat dan ide kreatif untuk berbagi.
Gaya contemplators (perenung, pemikir) berorientasi pada tugas seperti assertors. Namun mereka tidak secara langsung dan terlihat seakan lambat atau mondar-mandir. Contemplators cenderung analitis, berorientasi pada detail, jenis pemikir. Mereka gigih, pemecah masalah yang baik, dan membanggakan diri pada keteraturan dan akurasi. Sering terlihat sendirian, mereka cenderung memiliki jiwa yang tenang, low profile. Jika berlebihan beberapa kelemahan mungkin terlihat seperti terlalu menarik diri dari pergaulan, kaku, berpikiran tertutup, dan terlalu pesimistis.
Mereka cenderung: konservatif, sederhana, fungsional, duduk dalam posisi tertutup, menjaga diri sendiri, tidak memulai percakapan, menunggu orang lain melakukan itu, suka mencatat, mempertahankan ketelitian, tetap serius, jarang tertawa, ingin mendengar fakta, angka, statistik dan bukti.
Gaya narrators (penutur, pencerita) cenderung lambat mondar-mandir dan tidak langsung seperti contemplators, tetapi mereka lebih berorientasi seperti demonstran. Mereka hangat, ramah, lembut dan kooperatif. Mereka sangat menghargai relationship berdasarkan tujuan. Mereka pandai mendengarkan, memiliki temperamen manis, dan cenderung berpikiran terbuka. Kebanyakan orang gampang terpikat oleh penampilannya. Jika gaya ini berlebihan, dapat terlihat kelemahannya seperti terlalu lemah lembut dan gampang berubah.
Mereka cenderung: tampil sebagai sangat akomodatif dan membantu, kasual, pakaian sederhana, tidak terlalu mencolok, mengambil inisiatif untuk menciptakan hubungan, ingin bicara baik dan mau mendengarkan, memiliki foto-foto keluarga di meja mereka, tertawa diam-diam dan sering (tapi kadang mereka tertawa hanya demi sopan santun), dan mudah menunjukkan rasa terima kasih.
***

Sejarah membuktikan, begitu banyak contoh pemimpin kelas negarawan yang dincintai bukan saja oleh bangsanya tetapi juga masyarakat dunia. Ini membuktikan bahwa figur sentral seorang pemimpin (dalam orbitnya masing-masing) sangat menentukan warna kredibilitas bangsa dan negaranya dalam periode tertentu. Menentukan warna kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Pemimpin kelas negarawan, senantiasa meninggalkan karya-karya penting, karya yang tak akan pernah dilupakan oleh rakyat dan bangsanya. Sungguh, rakyat Indonesia sangat merindukan pemimpin yang seperti itu.***
Continue Reading | comments

Begitu Dilantik Langsung Kerja


Kartun GM Sudarta - Kompas

Continue Reading | comments

Dari Democrazy ke Au ah Gelap!


Kartun GM Sudarta - Kompas

Kartun Jitet Koestana - Kompas

Continue Reading | comments

Lontong…Lontong!! Kembalikan Cak Tolong!!!

Cak Lontong

Oleh Odios Arminto

Melihat format ILK (Indonesia Lawak Klub) belakangan, kok seperti ada yang bergeser dari format sebelumnya. Gimana gitu. Tidak terstruktur, sistematis dan masif lagi. Tema yang dipilih biasanya tajam dan dialogis. Lha kok yang baru-baru terasa mengambang. Potongan kalimat, tanpa makna utuh. Lalu eksplorasi yang terjadi mengembangbiak tanpa kendali. Dan mending kalau lucu, tapi yang terjadi adalah spekulasi spontanitas, yang kadang garing kerontang-kering kemarau.
Duhai ILK, kembalilah ke saat-saat di mana Cak Lontong dapat porsi yang memadai untuk mengaduk-aduk imajinasi pemirsa lewat model survey, yang setahu saya, menjadi main product dari ILK. Atau segmen unggulan memikat. Saat yang ditunggu-tunggu para pemirsa.

Andai seluruh fokus dikonsentrasikan ke Cak Lontong, sebagai pihak yang disalahkan, direcoki, disalahpahami, diapresiasi, ditolak, diragukan, namun juga kadang diterima dan dipuji untuk kesimpulan2-nya yang salah, kekuatan humor akan muncul lebih smooth dan natural.

Suka tidak suka, melihat perkembangannya, ILK harus melihat Cak Lontong sebagai stasiun pemberangkatan dan kepulangan. Format itu akan efektif dan tidak bikin bingung. Denny yang harus tetap menjaga run down itu. Kalau menyimpang terlalu jauh, segera kembalikan ke on the track. Para pendukung lain dapat men-support sesuai perannya yang sudah-sudah. Hanya Komeng, perlu juga menjaga aura “intelektual” dalam setiap respon atau perwacanaannya, supaya tetap dalam atmosfer yang senafas dan selevel. Setahu saya dia jago baca-baca, kenapa tak muncul knowledge-nya itu dalam respon spontanitasnya?

Saya tidak tahu, apa telah terjadi rolling tenaga kreatif di produksi ILK? Tampak sekali bahwa tim yang menangani belakangan ini, kurang paham di mana kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang ILK di bursa produk acara humor TV. Sekian puluh episode telah dilalui dan tampaknya perjalanan itu telah memberikan kebajikan-kebajikan yang mengesankan.

Trans 7 pasti dapat mempertimbangkan bagaimana menata ulang momentum ILK yang masih bisa diselamatkan tersebut. Produk acara humor TV bukan saja penting dan menghibur, tetapi juga dapat menjadi sarana pencerah batin bagi para pemirsa. Apalagi di situasi ketika produk humor atau yang disangka humor digarap dengan pretensi bahwa humor itu cuma cengengesan dan asal jumpalitan. Piiissss!
Continue Reading | comments

Tetap MewaspadaI Para Elit

Bancakan Indonesia - Kartun Non-O
  
Kartun Non-O

Kartun Non-O


Continue Reading | comments

Demokrasi Mau Di-Democrazy-kan? No Way!

Non-O S Purwono


Oleh Odios Arminto

Kartunis kawakan Non-O (Sudi Purwono) orangnya low profile banget. Ia seperti air danau. Tenang 
dan cool habis. Begitu anda menyuguhkan nasi panas, petai rebus/goreng, dengan sambal terasi yang menggugah selera, ia juga akan menyambutnya dengan reaksi tetap tenang. Tapi begitu anda meleng sedikit, misal ke wastafel untuk cuci tangan atau cuci muka, anda balik lagi ke meja, anda akan kaget. Apa yang terhidang di meja, kalau beruntung tinggal separo, atau kalau tidak beruntung ya, sudah habis tandas.
Itu gambaran karikatural tentang sosok kartunis yang sudah berkarya lebih dari 25 tahun. Berbagai prestasi sudah diraihnya. Ia pernah bergabung dengan Harian Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kompas, majalah Kartini (Grup) dan beberapa lainnya. Non-O tetap tenang, tetap seperti yang dulu. Tetap awet muda. Tetap punya personality khas. Khususnya dalam berlelucon dengan teman-teman sesama seniman.

Suatu hari, misalnya, dia tampak ngariung bersama mereka. Taruh kata di sebuah kedai di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Diskusi sedang hangat-hangatnya, tiba-tiba telepon selulernya berbunyi, SMS. Dia mencermati isi SMS sejenak, lalu konsentrasi ke topik pembicaraan semula. Setelah keadaan agak tenang, dia minta izin sebentar untuk memindahkan posisi parkir mobilnya. Teman-temannya memberi isyarat “silakan” dan tetap melanjutkan diskusi sambil menunggu Non-O kembali.
Tunggu punya tunggu, ternyata sudah lebih dari dua jam, kartunis cool itu tak kunjung muncul. Salah seorang kemudian mengontak dia, “Eh lo kemana aja? Lama banget sih ditunggu?”
“Kan aku bilang mindahin mobil…” jawab Non-O
“Iya, tapi kok lama banget?”
“Nggak lama kok. Sudah aku pindahin dan ini udah nyampe rumah.”
(Hadeh! Teman-teman yang dikerjain tak tahan untuk tidak mengeluarkan umpatan mesra).
Begitulah Non-O. Ia memang sableng, sambergelap, sontoloyo, kutukupret, hanjrit-kucrit, tapi juga teduh, santun, baik hati, ngangeni, dan jagoan bikin janji yang jarang ditepati he-he-he. Kurang lebih begitulah umpatan mesra teman-teman seniman padanya. Yang pasti, obrolan seni tanpa kehadiran Non-O jelas gak rame.
Belakangan ia banyak bergiat di dunia hipnoterapi. Teman-teman senimannya merespon dengan mata terbelalak, “O, ya? Mau bikin lelucon apalagi dia?” Manjur apa nggak, tak tahulah. Kabarnya, kalau dia lagi buka sesi pengobatan gratis, yang datang selalu berjubel.
Ia juga aktif mengajar bela diri aikido sebagai fukushidoin, instruktur, pelatih, Dan 2-3. Istilah ini bisa salah bisa benar, karena aikido punya terminologi yang sangat khusus tentang seluk beluk bela diri ini.
Tenaga dan energinya memang aduhai. Di luar kegiatannya yang rutin bak pendekar silat itu, ia juga sangat produktif menelurkan kartun-kartun politiknya yang menyengat dan menohok situasi. Apalagi ketika ia merasakan situasi yang mengarah ke pembelokan dan penyimpangan demokrasi. Ia tancap gas. Bidik sana, bidik sini. Hajar sana, hajar sini. Jebret…jebret…jebret-lah pokoknya!
Berikut dimuat kartun-kartun politiknya yang gres dan metal-aktual. Selamat menyimak. Boleh sambil mengkerutkan dahi, senyum dikulum atau ngakak terbahak.




1413226477497606556
 Kartun Non-O

14132325871955967402
1413232691811122757
14132266662024759473
1413226862474385035
14132269761870461439
Continue Reading | comments

Kisah yang Menyindir Orang Penting Negeri ini

Friday, October 10, 2014

Kartun Non-O

Oleh Odios Arminto

Dua kisah berikut ini, yang pertama bercerita tentang keraguan dan keserakahan. Yang kedua, tentang kejujuran dan ketidakjujuran. Kalau anda cermati, pesan penting yang tertuang dalam kisah-kisah tersebut seakan tidak istimewa amat, tetapi bila direnungkan secara mendalam, kisah-kisah berikut sungguh memuat makna yang demikian mengena. Setidaknya bagi kita yang mau peduli dan menghargai moral politik yang belum lama sempat mengharu-biru dan mengaduk-aduk perasaan rakyat seluruh negeri ini.

The Story about An Unlucky Mosque Official
Pembaca mungkin heran dan bertanya-tanya, ah apa istimewanya kisah yang berjudul aneh begitu? Rasanya baru kali ini mendengar ada judul cerita seperti itu. Sabar dulu, cerita berjudul seperti di atas memang hanya terdapat dalam khazanah kesusastraan kuno banget. Dalam bahasa modern dinamakan “Kisah tentang Lebai yang Malang”. Atau “Lebai Malang”. Lebai dalam kisah ini, bukan berarti berlebihan seperti anak-anak Alay mengartikannya, tetapi seseorang yang bertugas membacakan doa atau memimpin doa pada saat ada kenduri atau selamatan.
Kata sahibul hikayat, tersebutlah seorang lebai yang tinggal di tepi sebuah danau. Pada suatu hari (nah, ini introduction yang very-very klise) yang benar-benar satu hari, secara bergantian orang-orang dari tepi danau lain (dari sebelah utara, selatan, barat dan timur) bergantian datang meminta padanya untuk memimpin doa dalam sebuah kenduri yang waktunya kebetulan sama persis, pukul delapan malam.

Sebagai orang yang “bijaksana” dan berpikiran panjang, sang lebai tidak mengiyakan atau menolak permintaan para warga itu. Ia hanya menjawab dengan kalimat normatif dengan bahasa yang lazim diucapkan oleh warga-warga di sekitar danau. Dalam bahasa masyarakat sekarang kurang lebih hampir mirip dengan kalimat, “Bila Tuhan mengizinkan”.

Tepat pukul tujuh malam, sang lebai sudah berada di atas perahunya. Persis di tengah-tengah hamparan air danau. Begitu berada di posisi yang sangat strategis itu, sang lebai tiba-tiba agak ragu sejenak, tiba-tiba muncul pertimbangan-pertimbangan dari dalam hatinya.

“Kalau aku menuju tepi danau sebelah utara, apa mungkin ya pemikiranku tepat? Kudengar masyarakat di situ, kehidupan sehari-harinya serba sederhana dan jarang berpesta. Acara kenduri, juga bukan acara yang istimewa, paling masakan yang mereka buat tetap saja seperti yang dulu: pepes ikan air tawar dan nasi putih…yah, rasanya kurang ada kejutan deh…”
Sang lebai juga menimbang-nimbang masyarakat yang tinggal di tepi danau sebelah selatan, timur dan barat. Dengan pertimbangan dan perhitungan berdasarkan pengalaman yang dulu-dulu.
Tak terasa, waktu pun berlalu, tiba-tiba dari tepi danau, terdengar bunyi kenthongan 12 kali. Itu artinya sudah pukul 12 malam, dan sang lebai baru menyadari kalau ia masih berada di tengah hamparan air danau yang sunyi dan seorang diri.

Tidak utara, tidak selatan; tidak timur, tidak barat. Ia tidak mendapatkan apa-apa. Tidak materi, tidak juga kehormatan. Sungguh, ia memang lebai yang benar-benar malang….

Kisah Tukang Kayu dan Kapak Emas
Ini juga kisah jadul. Tentang seorang tukang kayu yang jujur dan berhati tulus. Suatu hari ia menebang pohon di sebuah hutan di pinggir kali yang airnya mengalir deras. Tak terduga, ketika sedang asyiknya menebang, kapak yang dia pegang lepas dan melesat jatuh ke dalam sungai. Ia termangu-mangu, tak tahu apa yang harus dilakukan. Mau turun ke sungai, sungguh tak mungkin, selain ia tak tahu di mana letak persisnya, saat itu airnya sedang mengalir sangat deras dan ia tak bisa berenang.

Akhirnya ia hanya duduk-duduk di tepi sungai dan tak tahu harus melakukan apa. Tiba-tiba seekor ikan besar (dipercaya masyarakat setempat sebagai dewa ikan) yang bisa bicara muncul sambil membawa 10 kapak yang bentuknya bagus dan tajam. Ikan itu bertanya, apakah kapak-kapak itu miliknya yang telah jatuh ke sungai. Tukang kayu itu dengan seksama mencermati kapak-kapak yang ditunjukkan dewa ikan, setelah merasa tidak satu kapak pun yang mirip dengan miliknya, dengan sopan ia menjawab, “Bukan. Itu semua bukan kapak saya.”

Dewa ikan masuk ke dalam air dan muncul lagi sambil menunjukkan kapak bersih mengkilat, terbuat dari kuningan. Tukang kayu tetap menolak, karena bukan miliknya. Dewa ikan masuk ke dalam air lagi lalu menunjukkan kapak yang terbuat dari perak, tetap ditolak oleh tukang kayu. Dewa ikan masuk lagi, kali ini menunjukkan kapak yang terbuat dari emas. Tukang kayu tetap menolaknya.
Dewa ikan terkesan dengan tukang kayu yang jujur dan tulus itu. Ia pun memberikan hadiah kapak emas itu dan menyerahkan kapak asli milik tukang kayu.

Setelah pulang ke rumah, orang-orang sekampungnya pun menyambut dengan suka cita. Atas permintaan masyarakat setempat, ia pun menceritakan pengalaman yang dialaminya apa adanya.
Salah seorang warga kampung, diam-diam meniru apa yang dilakukan tukang kayu jujur itu. Ia pun mengalami persis peristiwa yang dialami tukang kayu sebelumnya. Hanya saja, ketika dewa ikan itu muncul membawa kapak emas dan menanyakan padanya apakah kapak itu miliknya, ia dengan tak sabar menyahut, “Betul, betul itu kapak milik saya….”

Pembaca yang terhormat, anda semua pasti sudah mengetahui bagaimana akhir cerita dari kisah ini, bukan? Sebuah drama yang berakhir demikian khas, karena kejujuran dan ketulusan dipertaruhkan di waktu dan tempat yang tidak tepat.


Continue Reading | comments

Perbanyak Komisi Makin Banyak Terakomodasi


Kartun Djoko Susilo

Continue Reading | comments

Dari Rakyat oleh Rakyat untuk Rak....Ngerti Aku!


Kartun GM Sudarta - Kompas

Continue Reading | comments

Paket Sembako Fulitik


Kartun Jitet Koestana - Kompas

Continue Reading | comments

Mari Melek Sejarah Perlawakan Kita Sendiri


Oleh Odios Arminto

Sejarah literatur perlawakan Indonesia memang gelap. Beda dengan seni sastra, lukis, suara dan seni-seni elitis lainnya. Di masa lalu, seni berbasis humor atau lelucon, domainnya rakyat jelata. Para abdi atawa punakawan. Para bendara atau kaum priyayi umumnya, harus jaim. Tampil angker supaya berwibawa. Tidak berwibawa, uang kembali; eh, pamor sosialnya langsung jatuh.
Di masa kini, memang ada sedikit kemajuan. Ada apresiasi. Entah itu karena pelawak dihargai mahal atau masyarakat telah menyadari apa manfaat humor bagi kehidupan sehari-hari. Yang jelas, di berbagai Negara maju, seni berbasis humor menjadi primadona dan mendapatkan perhatian istimewa. Banyak pihak – multidisplin ilmu, multiprofesi – tertarik menggali dan mencoba menguak manfaat yang ada di baliknya.

Puncak-puncak kronologi seni lawak Indonesia ini hanya salah satu versi untuk mencatat jejak-jejak penting yang pernah terjadi agar sebagai bangsa kita tidak buta sejarah. Dengan demikian kita tidak tergagap-gagap atau gampang kagetan ketika merespon datangnya bebagai seni lawak yang berasal dari luar. Sebutlah stand up comedy, misalnya. Ia mungkin dianggap “barang” baru, tapi apa iya? Apa kita tak punya jejak terkait dengan seni sejenis itu? Mari melek sejarah perlawakan kita sendiri.
Tersebutlah nama Cak Markeso. Seniman ludruk tunggal dan garingan (tanpa iringan musik) yang merintis karier sejak zaman kolonial, sekitar tahun 1949. Sebelumnya ia pernah tergabung dalam sebuah grup yang bernama “Ludruk Cinta Massa“. Karena suatu alasan, ia memilih keluar dari grup tersebut dan bersolo karier.

Ia kemudian mengamen dari kampung ke kampung di Surabaya. Bermonolog membawakan salah satu cerita bila ada warga yang nanggap. Ia juga punya kemampuan untuk mengiringi cerita dengan musik dari mulutnya sendiri. Cak Markeso tercatat dalam sejarah seni ludruk karena celetukan-celetukannya sangat khas dan piawai dalam memancing imajinasi penonton.

Agak melompati waktu. Bentuk pertunjukan lawak tunggal sejenis stand up comedy juga pernah ada di TVRI (antara tahun 1970 – 1980-an) dan cukup boom serta digemari masyarakat. Tercatat misalnya nama pelawak Arbain, dengan logat Tegal-nya yang kental ia sanggup membuat penonton tergelak-gelak karena joke-joke yang dilempar sangat mengena dan tepat sasaran; apalagi ia juga mempunyai keterampilan sulap yang memadai, sehingga acaranya di TVRI bertahan cukup lama.
Sementara itu, meskipun tidak rutin, seniman serba bisa Kris Biantoro, pernah membawakan “stand up comedy” di TVRI dengan sangat genuin dan prima, bahkan belum tertandingi bila dibanding produk pertunjukan sejenis hingga saat ini.

Secara parodis ia pernah tampil sendiri membawakan figur-figur terkenal waktu itu lengkap dengan gaya busana, tata rias wajah dan aksen bicara, sebagian di antaranya wanita; bergantian secara cepat. Bukan hanya gagasan fisik yang dia garap, tetapi juga kedalaman materi yang dapat menimbulkan efek tawa; semua terjaga, elegan dan berkualitas.

Dagelan Mataram misalnya, memulai acaranya dengan memunculkan seorang pelawak yang bermonolog; sebut saja misalnya Basiyo atau Junaedi; setelah ger-geran antara lima hingga 10 menit, barulah format kelompok beraksi.

Di pertunjukan ketoprak, ludruk, seni pertunjukan rakyat lain, juga punya kecenderungan yang sama. Pada segmen dagelan, seorang pelawak membuka komunikasi beberapa saat dengan penonton, kemudian disusul interaksi dengan pelawak atau pemain lain.
Kilmaksnya, bila kita renungkan lebih mendalam, apa yang dilakukan ki dalang (baik wayang kulit maupun golek) nyaris punya kesamaan pola; ki dalang adalah seorang player yang jenis pertunjukannya berada dalam disiplin atau genre seni yang tak jauh dari tradisi stand up comedy.  

Individu menjadi pusat seluruh aliran pertunjukan.
Secara bergurau, mungkin lebih tepat disebut sit up comedy, karena ki dalang secara teknis melakukan pertunjukan sambil duduk.Tantangan membawakan karakter, aksen dan jenis suara yang berbeda-beda untuk tokoh yang berbeda-beda, jelas jauh lebih sulit daripada stand up comedy biasa.

Kembali ke sejarah lawak nasional
Terdapatlah nama yang tak asing lagi bagi kita semua, Srimulat. Grup ini pertama-tama didirikan oleh RA Srimulat dan Teguh Raharjo pada tahun 1950 dengan nama Gema Malam Srimulat . Pada awalnya Gema Malam Srimulat adalah kelompok seni keliling yang melakukan pentas dari satu kota ke kota lain dari Jawa Timur sampai Jawa Tengah.

Srimulat menyajikan style pertunjukannya secara khas. Ada berlapis-lapis segmen. Musik, tari dan lawak. Segmen lawak ini makin mengerucut dan menajam, sejak grup ini rutin tampil di TVRI tahun-tahun 1980-an. Hal yang sama terulang ketika tahun 1990-an tampil di Indosiar. Yang menarik dari grup ini untuk dicatat adalah Srimulat-lah peletak dasar pertunjukan lawak tradisional. Fakta itu sulit terbantahkan karena migrasi dari pola pertunjukan opera musik, tari dan lain-lain yang kolosal dan megah ke hanya satu yang compact tapi fungsional: lawak, dilakukan secara transformative dan smooth. Tidak ada kudeta atau paksa-paksaan. Natural.

Nah, ada grup lawak berikutnya yang tak kalah unik dan top, yaitu Trio Los Gilos. Anggotanya Mang Udel, Mang Cepot dan Bing Slamet. Dibentuk tahun 1958 dan lebih praktis lagi, karena langsung mengacu ke pertunjukan lawak an sich, sangat berkemungkinan menjadi model rujukan bagi grup lawak generasi berikutnya.

Trio Los Gilos juga punya keunikan lain. Dia terlahir terlalu cepat mendahului zaman. Bayangkan, pada zaman dan tahun itu, pola lawakannya sudah sangat modern, berbasis naskah atau skenario. Benar-benar sebuah naskah yang sudah bunyi. Sudah terbaca kekuatan kelucuannya dari hanya melihat teks saja, apalagi kalau naskah itu dimainkan.

Fakta ini sangat kontras, di masa kini saja, tak banyak grup lawak atau pelawak yang mendasarkan tampilnya dengan mengacu pada konsep teks, kecuali di pertunjukan TV atau stand up comedy. Secara umum, pelawak lebih merasa nyaman dengan mengandalkan spontanitasnya. Bayangkan, pada tahun awal pertumbuhan lawak yang masih begitu belia, Trio Los Gilos telah mendisiplinkan dalam format yang begitu maju dan terlalu cepat mendahului zamannya. Mungkinkah format demikian karena pengaruh dari luar? Siapa dapat menafikan peran The Three Stooges, Abbott – Costello, Laurel – Hardy, Charlie Chaplin dan lain-lainnya? Grup-atau lawak perorangan dari luar ini mengalami masa jayanya di tahun-tahun 1930-an. Termasuk masa-masa jayanya trend lawak kasar dan banal, merusak property dan adegan ancur-ancuran yang efektif memancing tawa pada masanya.
Terakhir fenomena Bing Slamet. Tokoh multitalenta ini memang tiada duanya. Sebagai pelawak, ia menjadi model sepanjang masa bagi generasi penerusnya, khususnya dalam soal keterampilan berspontanitas. Karena potensi dalam hal itu sangat besar, maka Bing tak kuat bertahan di Trio Los Gilos. Ia keluar dari grup itu dan memilih bersolo karier.

Bing merajai dan memesona penggemarnya bukan hanya di dunia lawak. Di seni suara, film komedi dan seni perform lainnya. Oleh karena itu ia selalu menyebut dirinya seorang entertainer. Bing benar-benar seniman langka, entah berapa puluh tahun lagi negeri ini memiliki seniman dengan kompetensi raksasa semacam dia.

Moral kronologi ini, hanya ingin mengingatkan kepada seluruh penggemar lawak atau bahkan para pelawak itu sendiri, tak perlu saling klaim siapa yang paling dulu “berjasa” memperkenalkan seni lawak ini, seni lawak itu, apalagi lalu menganggap diri sendiri sebagai legenda demi pencitraan atau pengakuan atau apalah namanya. Kharisma sesungguhnya adalah pengakuan tulus yang datang dari pihak lain. Bukan dari diri sendiri atau kelompoknya. Dan sejujurnya…seperti kata pepatah, tak ada yang baru di bawah matahari. Peace!

Catatan:
Pelawak perorangan atau grup sesudah periode tersebut adalah pelanjut tradisi dari yang tersebut di atas dan itu tak mengurangi eksistensi maupun kehormatannya, karena sebaik-baiknya pelawak adalah pelawak yang telah mendedikasikan hidup dan kehidupannya demi kebajikan seni lawak dan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat secara umum.

Odios Arminto adalah kartunis, humoris dan penulis.
Continue Reading | comments

Anarki dan Anggaranologi


Kartun Non-O


Kartun Non-O

Continue Reading | comments

Kepentingan Suka-suka


Kartun Non-O

Continue Reading | comments

Rakyat dan Wakilnya


Kartun Apat

Continue Reading | comments

SON = Save Our Nation


Kartun Non-O

Continue Reading | comments

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger