Darminto M Sudarmo |
PENYANYI dangdut, Evie Tamala, beberapa waktu lalu pernah terang-terangan mengaku mengagumi Amien Rais karena tiga alasan; pertama, Amien itu orangnya lucu; kedua, pinter dan ketiga karena berani. Mengapa kata lucu harus diletakkan pada pilihan pertama? Benarkah Amien lucu? Anda dapat mengukur fakta itu sesuai kepekaan rasa humor masing-masing. Di televisi, seminar atau dalam percakapan sehari-hari, mudah dijumpai Amien sangat suka menggunakan idiom plesetan; tak peduli itu bahasa asing maupun bahasa daerah (Jawa); sehingga nuansa pembicaraannya terkesan lebih segar, basah dan akrab.
Bagaimana dengan Gus Dur? Tokoh yang memiliki wawasan humaniora seabreg ini tak perlu diragukan lagi selera humornya. Jauh sebelum ia dikenal sebagai tokoh yang banyak mengeluarkan “konspirasi teka-teki” lewat lemparan singkatan nama orang yang “dimungkinkan” terlibat dengan berbagai peristiwa mencekam, Gus Dur telah sangat dikenal sebagai individu yang sangat doyan lelucon dan mempunyai simpanan joke luar biasa banyaknya. Jadi, sangat tidak bijaksana mengulas hubungan humor dan Gus Dur atau sebaliknya. Hanya menggarami air laut yang sudah asin.
Tetapi,
mengapa Megawati Soekarnoputri terkesan sendu dan serius? Apakah Mega tak suka
humor? Tunggu dulu. Antara Juli-Agustus 1999 sebenarnya ada niat dari sebuah
pihak yang ingin menerbitkan buku “Megawati dalam Karikatur”; berisi aneka
karikatur Mega atau PDI atau PDI Perjuangan yang telah termuat di berbagai
media massa sejak 1994 hingga ke situasi paling akhir. Ini dimaksudkan agar
memperoleh refleksi obyektif dari perjalanan Mega sebagai figur maupun bagian
penting dari sebuah lembaga politik yang bernama PDI Perjuangan. Konon, Mega
sudah sangat menyukai rencana itu walaupun banyak juga gambar yang agak meledek
sikap diamnya; entah kenapa tiba-tiba rencana penerbitan itu tertunda dan tak
terdengar lagi kabarnya sampai sekarang. Ada kabar yang mengatakan buku itu
tetap diterbitkan walaupun dengan cetak terbatas, karena ternyata masih banyak
kesalahan dan belum diloloskan oleh tim editor. Menurut orang-orang dekatnya,
tidak benar kalau Megawati tak suka humor. Persoalannya karena dia wanita;
sesuka apa pun pada lelucon, tentu tidak dia ekspresikan dalam bentuk tawa
cekakak-cekikik yang kurang estetik dilihat dari sudut etik. Begitu katanya.
Bagaimana
dengan Akbar Tandjung? Anda semua pasti juga sudah sangat paham. Dia bukan
orang yang colorful atau orang yang suka guyon, ujar seorang rekan saya.
Akbar itu orangnya lempeng-lempeng saja. Kalau mau ke kantor, ya ke kantor;
tidak muter-muter atau mampir-mampir; apa adanya dan sedikit kurang romantis.
Itu kata rekan saya. Lihat saja ketika ia menghadapi sergapan pertanyaan
wartawan; jarang, bahkan hampir tak pernah dia berdiplomasi dengan joke
atau lelucon yang berselera cerdas. Dan tipe seperti Akbar Tandjung itu banyak.
Tak terkecuali Marzuki Darusman. Beda dengan Marzuki Usman yang mantan Menparsenibud
itu. Dia biangnya. Senang berlelucon. Sekali Anda sentil saraf humornya, maka
kran lucunya langsung terbuka dan akan mengucur banyak lelucon segar. Memang
begitulah; walaupun sama-sama hidup di bawah pohon beringin, yang satu sangat
serius, yang lain sangat moderat, yang lain lagi asal happy. Jadi apa
pun mereka, selama itu masih be theirselves dan bisa menikmatinya,
terserah mereka aja. It’s none of my business, he-he-he.
Nah,
bagaimana kesan Anda waktu mengenang sosok yang sangat heboh ini, BJ Habibie?
Mungkin sekali kita sependapat, bahwa dia masih memiliki jiwa moderat, jiwa
yang lapang dalam merespon kritik. Termasuk reaksinya terhadap karikatur atau
lelucon yang menjadikan dirinya sebagai obyek, nyaris oke-oke saja. Sudah
ratusan, bahkan ribuan gambarnya dibuat karikatur oleh koran dan majalah;
sejauh ini belum sekalipun dia komplain, marah-marah atau menuntut pada media
untuk meminta maaf. Begitu juga ratusan lelucon (joke) yang sengaja atau
tidak sengaja beredar di sekeliling atau di luar dirinya. Habibie cuma bilang,
“It’s OK. Demokrasi.” Persis seperti cara dia merespon serangan
“Huuuuu!” yang dilakukan beberapa anggota MPR di awal-awal sidangnya beberapa
waktu lalu. Apakah jiwa besarnya itu sungguh-sungguh atau hanya lip service?
Anda bisa menilai sendiri, kan? Apa pula komentar Anda setelah menyimak lelucon
berikut ini. Tentang beliau.
Usai
dilantik menjadi Presiden Indonesia pada Maret 1998, Soeharto masih memerlukan
satu kali lagi test akhir untuk menguji calon Wakil Presiden yang bakal mendampinginya.
Pilihan saat itu yang diajukan Golkar ada tiga: Habibie, Harmoko dan Try
Soetrisno. Karena masing-masing punya kelebihan yang mencolok, Soeharto menjadi
agak bimbang. Tapi dia tak kehilangan akal. Test akhir yang bakal diajukan
untuk mereka pasti manjur dan sanggup menentukan pilihan yang sangat cocok buat
posisi itu.
Kepada
Harmoko ia bertanya, “Mok, berapa 3 kali 3?”
Karena
Harmoko dikenal selalu ingin menyenangkan Pak Harto dalam berbagai situasi dan
kondisi, maka dia menjawab spontan, “Terserah Bapak sajalah maunya berapa. Saya
sih, ikut saja.” Rupanya jawaban ini tidak memuaskan Soeharto. Dia khawatir
pada orang yang suka ABS, suatu saat buntutnya pasti tidak enak. Harmoko
dianggap gagal.
Kepada
Try Soetrisno ia bertanya hal serupa. Try Soetrisno yang selama ini dikenal
jujur dan apa adanya, juga menjawab sesuai hati nuraninya, “Ya, sembilan, Pak.”
Soeharto tetap belum puas. Orang yang terlalu jujur dan lugu bisa membahayakan
dirinya yang penuh dengan misteri dan rahasia. Try Soetrisno dianggap gagal.
Kepada
Habibie, ia juga bertanya tentang hal yang sama. Habibie tampak termenung agak
lama menerima pertanyaan itu. Tetapi bagaimanapun Habibie itu, ia seorang
profesor lulusan perguruan tinggi top di Jerman dan orang Jerman mengakui
kejeniusannya. Setelah menemukan jawaban, mata Habibie yang bundar itu tampak
membeliak lebar dan ia pun berteriak, “Eurekaaa! Aku berhasil!” Soeharto
tersenyum-senyum menyaksikan itu; ia memang sudah menduga dirinya pasti tidak
salah memilih orang.
“Berapa
Bie, persisnya?” tanya Soeharto tak sabar.
“Sudahlah,
3 buat saya, 6 buat Bapak, dah!”
Habibie
dinyatakan berhasil dan layak menjadi Wakil Presiden Indonesia mendampingi
Presiden Soeharto.
Ini
lelucon yang muncul sesudah Pak Harto lengser. Suatu hari, beberapa minggu
setelah BJ Habibie dilantik menjadi Presiden menggantikan Pak Harto, BPPT punya
hajat. Pada saat itu, Habibie dan hampir seluruh anggota kabinet hadir. MC pun
mulai memimpin acara. Setelah acara rutin beres, MC berkata, “Acara berikutnya
adalah sambutan dari Bapak Menristek. Waktu dan tempat kami persilakan.”
Tiba-tiba BJ Habibie berdiri dari duduknya dan berjalan menuju mimbar. Tentu
saja sang ajudan kalang kabut. Buru-buru ia mengejar Habibie, lalu berbisik,
“Mohon maaf, Pak. Bapak sekarang sudah Presiden. Bukan Menristek lagi.” Sesaat
Habibie terbengong. “Oh ya?” Habibie geleng-geleng kepala, lalu senyum-senyum
sendiri dan kembali ke tempat duduknya semula. Dasar profesor.
Ini
joke lain lagi. Pimpinan rumah tangga Istana Kepresidenan membuat
peraturan kepada seluruh staf, agar setelah Presiden Habibie pulang, meja
kerjanya harus dibersihkan segera. Tak boleh sesobek kertas pun tertinggal.
Mengapa muncul peraturan seketat itu? Usut punya usut, ternyata kalau sampai
ada sepotong kertas yang tertinggal di meja kerja, pasti ditandatangani
Presiden. Maklum, waktu itu memang masih baru; jadi masih gres dan tokcer.
Dan
joke yang ini sebenarnya tergolong kelewatan; tapi uniknya, menurut
sebuah sumber, yakni orang dekat di Sekretariat Negara, setelah mendengar
lelucon tersebut Pak Habibie cuma menanggapinya sambil ketawa. Kalau toh
kemudian tercetus dalam ucapan, paling banter dia akan berkata, “It’s OK.
It’s just a joke.” Benarkah Habibie sehebat itu?
Dikisahkan,
sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1999, praktis Indonesia baru memiliki 3
presiden. Dan konon, menurut lelucon itu, ketiga presiden itu sama-sama
gilanya. Kalau presiden pertama gila wanita; presiden kedua gila harta; maka
presiden ketiga, gila beneran!
Berbeda
dengan Baligate, yang belum melahirkan karikatur yang josss dan
signifikan; kasus Watergate justru sebaliknya. Begitu heboh dan marak merebak;
pendek kata, karikatur tentang Presiden Nixon muncul di hampir semua koran
Amerika. Salah satu yang menarik adalah sebuah koran yang memvisualkan keruwetan
kasus itu dengan ungkapan yang sangat khas. Digambarkan Nixon tampak duduk di
kursi sebagai tertuduh; namun, hakim, para juri, pembela, penuntut dan
pengunjung sidang, semua juga berwajah Nixon! Surealis sekali, bukan?
Diam-diam
lomba membuat lelucon antar peta kekuatan organisasi politik pun juga
berlangsung cukup ramai. Terutama di saat menjelang Pemilu 1999. Kalau Gus Dur
pernah membandingkan unsur NU yang ada di PKB dan NU yang ada di luar PKB itu
bagaikan seekor ayam yang mengeluarkan sesuatu dari duburnya; yaitu telor dan (maaf) telek. Sementara itu
dari kubu PDI Perjuangan sebagai sekutu PKB, juga tak mau kalah kreatif dari
rekannya dan mengeluarkan lelucon
seperti ini: Presiden pertama Indonesia itu, suka wanita; presiden kedua, takut
sama wanita; presiden ketiga, kewanita-wanitaan; maka presiden keempat, jelas
wanita beneran!
Begitulah,
sehingga secara tak terduga, di antara
bersimpang siurnya situasi krisis yang mencekik, teror yang menggila,
penjarahan dan perampokan yang merajalela dan terjadi pada saat itu, kehadiran
lelucon, betapapun sedikitnya terasa seperti setetes air yang memberi kesejukan
pada masyarakat yang sedang kehausan dan kelaparan kepercayaan pada para elit
pimpinannya itu.
Dan
puncak dari seluruh momentum “ger-geran” (bisa dibaca: geger-gegeran atau
gerrr-gerrran) di tingkat elit itu ada pada Pak Harto, terutama sesudah dia
lengser. Bukan saja munculnya lelucon tentang dia yang membanjir dan meluap di
internet, tetapi juga dimeriahkan dengan
rumor, buku, bahkan hujatan (lelucon yang menghakimi) yang ramai beredar
di toko buku dan dikunyah masyarakat secara sangat lahap. Rakyat tetap masih
belum kenyang juga. Barulah ketika Butet Kartaredjasa, seorang aktor monolog
dari Yogyakarta, membawakan sosok dan figur menonjol di zaman Orde Baru dalam
sebuah pentas, gegerlah publik. Berebutan mereka mengundang Butet. Sehingga
hotel, kafe, bahkan stasiun TV diramaikan oleh sepak terjang Butet. Ingin apa
sebenarnya masyarakat itu dari Butet? Ingin bisa ketawa atau ngetawain?
Ini
dia soalnya. Saat itu telanjur terjadi salah persepsi dalam benak para elit
politik atau penguasa. Mereka terjebak pada keyakinan bahwa lelucon itu
membahayakan. Mereka juga mendramatisasi situasi agar tak menganggap enteng
lelucon; karena sebuah senyum atau tawa juga dapat menggerakkan revolusi.
Akibatnya, lelucon-lelucon kritis dan cenderung pedas, disikat habis tanpa
ampun. Padahal bila para elit penguasa mau mengkalkulasi, seharusnyalah mereka
berterimakasih karena masih ada orang yang membuat lelucon. Masih ada orang
yang menuturkan lelucon dan mendengarkannya. Apalagi sampai mengapresiasi dan
ketawa terbahak-bahak karenanya. Dengan demikian kebringasan dan agresivitas
masyarakat bisa tereliminasi. Dan lelucon di situ, betapa pun tajamnya, tetap
saja akan berhenti sebagai lelucon. Masyarakat pun lupa menggalang kekuatan,
apalagi melakukan upaya-upaya makar.
Bila
substansi lelucon sudah bebas dari agitasi dan pretensi politis, maka situasi
yang ada sebenarnya sudah bisa dianggap
kembali ke lelucon murni; lelucon yang benar-benar dimaksudkan untuk
menghibur dan menyenangkan hati. Bukankah orang bilang, “Ketawa itu sehat?”
Lagi pula, lelucon juga dapat digunakan untuk mengukur kualitas demokrasi
seseorang; asal tidak dadakan dan dibikin-bikin!
(Sumber: Anatomi Lelucon di Indonesia,
Penerbit Buku Kompas, 2004)
0 comments:
Post a Comment