Prie GS |
Saya menyukai kegiatan berceramah tetapi tidak terlalu menikmati bepergian.
Keadaan ini seperti sebuah paradoks karena banyak undangan saya datangi di
tempat-tempat yang jauh. Menyukai sesuatu tapi membenci yang ada di balik
sesuatu, adalah tidak mungkin. Saya menyukai sebelah sisi tetapi membenci sisi
yang lain.
Saya kurang bisa menikmati tidur di hotel semata-mata karena ia adalah kamar
yang asing. Tidur bagi saya adalah papan lantai kayu di rumah dan selimut
sarung, ini sikap tidur alamiah saya sejak lama. Pokoknya seluruh aspek
kepergian hanya membuat saya ingin cepat pulang, rasa itulah yang membuat saya
tertekan. Menikmati tempat-tempat yang indah, malah membuat saya kesepian
karena hanya membuat saya makin kangen rumah. Bakat saya sebagai orang rumahan
memang agak keterlaluan. Itulah yang saya sangka menjadi sumber masalahnya.
Persangkaan saya itu ternyata keliru. Masalah utama penyakit saya ini ternyata
lebih pada definisi yang kaku bahwa istirahat itu harus di rumah, bahwa tidur
itu harus di tempat tidur di lantai kayu, bahwa selimut itu harus selalu berupa
sarung. Definisi ini membuat hidup saya repot sekali karena istirahat itu
ternyata bisa di mana saja dan kamar pribadi itu bisa dibangun di mana saja.
Ketika sampil menunggu pesawat saya terkantuk-kantuk di ruang tungu, ketika
saya mengusung suasana rumah di dalam ruang tunggu itu, ajaib, saya memperoleh
suasana yang privat sekali. Ini hanya soal keikhlasan mata kepada kantuk.
Selama ini saya memasang syarat yang berat untuk kantuk saya. Meskipun terkantuk-kantuk,
tetapi karena saya sedang di ruang tunggu, saya tidak boleh tidur hanya
karena ia bukan kamar pribadi saya. Sudah tentu sang kantuk jadi
dirugikan. Mata ini kantuk. Tetapi batin menahan. Tubuh ini mengajak tidur tapi
akal saya membatasi. Keduanya tidak pernah kompak, akibatnya tubuh dan jiwa
saya menjadi korban tarik menarik pertengkaran yang celakanya saya
biarkan.
Hasilnya adalah kekelahan dan perasaan penat luar biasa. Semakin lama
bepergian saya, semakin tersiksa keadaan saya oleh rasa lelah, jenuh dan
akhirnya sakit. Dan sakit itu adalah sakit yang khas saya, yang cuma muncul
jika saya bepergian itu saja. Tetapi pengalaman tidur di ruang tungggu, adalah
pelajaran luar biasa. Istirahat itu sesungguhnya harus tanpa syarat. Syarat
istirahat itu sesungguhnya satu satu saja: yakni ketika tubuh menghendakinya.
Selama ini saya tidak adil kepada lelah dan kepada tubuh. Ia saya paksa
mengikuti kehendak saya yang tidak cocok dengan kehendaknya. Saat ia
lelah saya mengajaknya terus bekerja. Saat ia ingin tidur saya memaksanya terus
terjaga hanya karena saya sedang tidak berada di kamar saya, tidak bersarung
seperti saat di trumah. Saya juga merasa tabu tidur di ruang tunggu karena
bukan ruang tidur. Padahal ruang tunggu bisa juga menjadi ruang tidur
kalau definisi tidur saya kembalikan ke dasarnya. Tidur itu tidak harus
telentang, tidak harus berselimut sarung dan di lantai kayu. Tidur
itu juga boleh sambil duduk atau kalau perlu sambil berdiri jua boleh.
Tegasnya, tidur itu tidak ditentukan oleh kapan dan di mana tapi lebih
ditentukan oleh kantuk. Begitu juga konsep istirahat itu tidak cuma berupa
tidur, tetapi juga perasaan santai. Dan rasa santai itu ternyata boleh berada
di mana saja termasuk ketika saya sedang bekerja. Sambil ngotot bekerja, saya
juga boleh sambil melemaskan otot. Jadi, selama ini saya keliru telah
berlelah-lelah untuk sebuah persoalan yang mestinya saya boleh sambil
santai-santai saja.
0 comments:
Post a Comment