Prie GS |
Keliru pola makan akan mengakibatkan sakit. Keliru pola pikir juga
mengakibatkan sakit. Lalu apa jadinya jika pola makan keliru, pola pikir juga
keliru. Para ahli sedang berdebat, siapakah yang lebih dominan di antara
dua pola itu sehubungan dengan kesehatan. Menurut saya, keduanya dominan begitu
keadaan memungkinkan.
Ada pihak yang ceroboh pola makan tapi santai dalam pikiran. Yang lain masuk
pesawat dengan tegang orang ini bisa datang, duduk lalu mendengkur hebat. Apa
yang dimakan orang ini, bisa jadi mendatangkan masalah bagi tubuhnya. Tapi
kemudahannya tidur itu adalah juga berkah dalam hidupnya. Kita mengerti
hebatnya tidur nyenyak walau sejenak. Padahal orang ini bisa tidur sangat
banyak dan sangat nyenyak. Istirahatnya itu bisa menjadi tukang tadah bagi
kesalahan pola makannya.
Tak ada obat yang kemanjurannya melebihi obat bernama istirahat. Banyak
penyakit datang bukan karena seseorang lemah, melainkan karena ia gagal
istirahat ketika seharusnya ia beristirahat. Jadwal istirahat yang selalu
dilanggar inilah yang membuat fisik melakukan sabotase dengan cara
mengistirahatkan paksa dirinya. Dan orang-orang yang mudah tidur adalah
pihak memiliki pola istirahat istimewa karenanya secara umum kesehatannya
terjaga. Tetapi apakah orang seperti ini selalu lebih beruntung? Tidak
juga.
Karena kelebihannya itulah sekaligus kelemahannya. Mentang-mentang merasa mudah
sehat itulah ia juga mudah ceroboh. Apa saja dia makan tanpa menghitung bahwa
tubuh juga memiliki keterbatasan. Ia makan benar-benar berdasarkan kepentingan
lidah, bukan kepentingan tubuh. Maka betapapun ia punya keunggulan akhirnya
habis juga digerogoti kelemahan. Itulah kenapa setiap bakat memiliki ironi:
setiap keuntungan besar dikuntit risiko besar, setiap keberhasilan besar
memiliki tekanan besar. Ini bukan sekadar ironi, ini hukum.
Jadi secara hukum, ada ikatan antara tesis dan antitesis, setiap sebab
akan memunculkan akibat. Misalnya orang berkuasa berpotensi angkuh, orang
kaya berpotensi sombong, orang pintar berpotensi sinis, orang bodoh berpotensi
ngawur dan para tersangka berpotensi masuk penjara. Hukum ini tidak bisa
diubah tetapi bisa dicegah. Pencegahannya bisa lewat dua cara, pertama
sama sekali pindah ke hukum baru, kedua, sekadar memakai hukum titik tengah.
Hukum baru itu mudah untuk satu perkara tetapi sulit untuk perkara lainnya. Misalnya:
karena berperkara rawan masuk penjara maka hukum termudah untuk menghindari
perkara ialah sama sekali jangan berperkara. Ini yang disebut mudah.
Tapi hukum baru ini tidak mudah dijalankan bagi kekayaan. Karena kaya
berpotensi sombong maka cara termudah menghindari kesombongan adalah dengan
cara menolak kaya. Pilihan ini jelas sulit dijalankan. Maka kepada kasus kedua
ini lebih cocok menggunakan hukum titik tengah, yakni mengawinkan dua hukum
yang sudah ada. Seseorang boleh kaya dan tidak harus sombong.
Seseorang boleh pintar tapi tidak harus sinis. Jadi hukum titik tengah inilah
jawaban untuk semua soal yang sedang kekurangan keseimbangan.
Titik tengah semacam inilah yang sekarang sangat dibutuhkan Indonesia. Jika
Anda cermati, ketidakseimbangan itu sekarang sedang merata hampir di seluruh
cabang urusan mulai dari jalanan sampai ke pemerintahan. Lebar jalan tidak lagi
seimbang dengan jumlah kendaraan. Ramai pertengkaran tidak sepadan dengan laju
pembangunan. Jumlah korupsi jauh lebih mencengangkan katimbang jumlah produksi.
Jumlah perkara yang dirampungkan tak sebanding dengan masalah baru yang
bermunculan. Secara geografis Indonesia berada di garis tengah, secara
demografis mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, agama yang mengajarkan
titik tengah. Bangsa yang dimandati titik tengah ini tidak boleh gagal
mengamalkan titik tengah.
0 comments:
Post a Comment