Prie GS |
Melihat anak-anak harus bersekolah di bulan puasa adalah pemandangan yang membuat saya iba. Untuk membangunkan mereka makan sahur saja kadang sudah tak tega. Tidur sedang di puncak nyenyak. Jika terpaksa bangun, mata mereka biasanya masih setengah terpejam. Bahkan sudah di depan piring makan, mereka masih butuh pejam tambahan. Adegan ini hanya untuk menggambarkan betapa ujian puasa bukan cuma lapar dan haus tapi juga kantuk hasil siklus tidur yang terpotong-potong.
Jangankan anak-anak, kami orang tua, istri terutama, walaupun kebagian menggugah anak-anak untuk berperang melawan kantuk, harus berperang dengan kantuk kami sendiri. Padahal kantuk sahur ini bukan satu-satunya kantuk yang harus dilawan. Kantuk setelah sahur juga bukan soal yang mudah dipecahkan. Memang idealnya, setelah sahur tidak kembali tidur. Tetapi di mana-mana, soal yang ideal itu tak mudah dijalankan, tak terkecuali saya. Teorinya saya mengerti, tetapi prakteknya tak mudah dijalankan.
Maka setelah menunggu salat subuh, godaan untuk kembali tidur sering tak tertahankan. Tak cuma anak-anak, tetapi juga istri dan saya. Celakanya itu sungguh tidur ternyenyak di antara semua waktu tidur. Celakanya lagi, itulah tidur tersingkat karena baru terpejam, hari benar-benar telah menjadi terang. Kami haus bekerja, anak-anak harus bersekolah. Mereka kembali harus sempoyongan ke kamar mandi. Kami tahu, air bukan benda yang cocok untuk disentuh di saat itu, apalagi harus diguyur ke seluruh tubuh.
Dengan lesu, mereka harus menyiapkan ini-itu. Tak cuma mereka, kami sendiri juga lesu. Jika terselip satu barang, uring-uringan adalah reaksi yang mudah berkembang. Lapar dan lesu adalah penyulut marah yang mudah. Tak cuma mereka, anak-anak, tapi juga kita, orang tua. Kemarahan mereka, bisa juga menyulut kemarahan kita. Jadi, pagi, di saat seperti itu, adalah pagi yang amat peka.
Ini saja baru pagi. Kalau waktu puasa dibagi tiga zona waktu, pagi, siang dan sore, selalu ada titik-titik peka di tiap-tiap waktu itu. Padahal waktu bukan cuma itu, seluruh rangkaian waktu puasa bisa menjadi waktu yang peka karena lapar dan lesunya. Singkat cerita, puasa bukan cuma soal haus dan lapar tetapi juga kantuk dan lesu. Saya sungguh tidak sedang ingin sok kuat, bagi saya sendiri puasa itu berat. Tetapi kenapa saya harus mencoba kuat?
Inilah ternyata jawabannya: selalu ada penguat di setiap soal-soal yang berat. Itulah yang membuat kuat. Karena jika seluruh puasa itu hanya berarti berat, tidak akan ada yang kuat. Salah satunya adalah memercayai bahwa tujuan pasa bukanlah cuma untuk sekadar berlapar-lapar saja. Puasa pasti menyangkut soal syarat untuk menerima apa yang telah dijanjikan Tuhan kepada hamba-Nya. Begitu luar biasa janji itu sampai ia tak terimajinasikan. Itulah kenapa ia hanya bisa didekati oleh satu jalan: iman. Karena memang cuma iman yang sanggup membuat kita memiliki kesanggupan untuk memercayai soal-soal yang kita belum melihat, belum mengerti dan belum merasa. Itulah gaib namanya. Memercayai soal-soal yang gaib adalah perintah serius dalam beragama. Kenapa?
Karena pancaidnera itu hanya lima itulah kenapa diseut panca. Terbatas daya jangkaunya. Padahal hidup ini bisa terselenggara karena sebagian besar isinya adalah soal-soal yang pancaindera tak sanggup menjangkaunya. Jadi jelas, nilai-nilai gaib itu adalah soal yang amat dekat tetapi ia terasa begitu jauhnya cuma karena keterbatasan indera yang cuma panca. Jadi sambil melihat anak-anak puasa dan terkantuk pergi ke sekolah, perasaan saya berubah: dari iba menjadi indah.
0 comments:
Post a Comment