Oleh Anis Sholeh Ba’asyin
ALKISAH, ada seseorang berjalan dari arah pelabuhan dengan membawa pancing dan seikat ikan di tangannya. Orang ini punya kekurangan bawaan: telinganya tak bisa mendengar alias tuli. Di perempatan ia bertemu kawannya yang -celakanya- juga sama tulinya.
“Dari mana Mas? Habis mancing ya?” tanya kawannya.
“Tidak! Saya habis mancing kok!” jawabnya.
“Oo, saya kira habis mancing!” celetuk kawannya sambil ngeloyor pergi.
Tak masalah. Mereka merasa sudah ‘berkomunikasi’ dengan benar, merasa sudah saling memahami dengan baik. Dari sudut pandang mereka, tak ada yang salah dalam pembicaraan tersebut. Masalah hanya tampak bagi kita yang ‘tidak tuli’ dan kebetulan mendengar pembicaraan mereka.
Nah, bukankah hal yang seperti ini -dalam satu dan lain bentuk- sering terjadi di sekitar kita? Orang terkesan seperti sedang berkomunikasi, tapi sebenarnya mereka sibuk dengan dirinya sendiri, dengan pikiran-pikirannya sendiri, dengan kepentingan-kepentingannya sendiri, dengan khayalan-khayalannya sendiri. Mungkin saja mereka saling berbicara, tapi tak ada yang ‘nyambung’, apalagi menemukan kesepahaman.
Pada dasarnya orang takut berkomunikasi karena takut kehilangan kenyamanannya. Sudah pasti: ketika orang merasa lebih nyaman bersembunyi dalam tempurungnya masing-masing, maka kemampuannya untuk memahami yang lain segera melorot ke level terendah. Ironis memang, lebih-lebih bila kita ingat bahwa kata komunikasi terbentuk dari communis yang dalam bahasa Latin berarti sama, dan itu berarti sejak awal tujuan komunikasi adalah memang untuk menyamakan, untuk menemukan kesamaan antara dua atau lebih pihak.
Kalau sudah begini, bisa diperkirakan bila pada gilirannya ruang pergaulan lantas berubah jadi ajang keriuhan multi monolog. Dan bila ini terjadi, kita harus bersiap memasuki fase berikutnya yang hampir pasti tak akan jauh dari sinetron: plak, plok, brak, bruk, pyar, pyur, dar der dor bum bluaaar!
*
MENGHADAPI orang tuli adalah satu soal, menghadapi orang yang menulikan dirinya sendiri adalah soal lain. Ketika menghadapi santrinya yang tak kunjung memperbaiki diri meski sudah berkali-kali secara halus diperingatkan, seorang kiai sepuh dengan senyum pahit berkata: “Enak ya jadi orang tuli! Seberapa besarnyapun orang menggunjing dirinya, ia tetap senyum-senyum saja! Jangan lagi cuma gunjingan dan kritik, ada bom meledak disampingnyapun ia tetap tenang-tenang saja kok!”
Dulu almarhum Gus Dur, dan dalam tingkat tertentu juga Cak Nur (Nurcholis Majid), dianggap sering juga mempraktekkan ‘ajian nuli’ macam ini. Mereka sering terkesan tak peduli dan bahkan abai terhadap kritik, kemarahan, tudingan yang diarahkan ke wacana yang mereka lontarkan.
‘Aji-aji nuli’ adalah strategi yang secara sadar mereka pilih untuk tetap fokus pada pengembangan ide-ide besar, tanpa harus terganggu dengan apa yang mereka anggap sebagai sekedar dinamika reaksi yang berkembang di masyarakat.
Kalau kita pakai Gus Dur dan Cak Nur sebagai rujukan, maka ‘ajian nuli’ terkesan positif. Ia menjadi mekanisme defensif yang efektif agar orang tetap fokus, dan tak terganggu dengan kritik, tudingan dan kemarahan yang seringkali memang tak proporsional. Disamping itu, penggunaannya pun relatif terbatas dan terukur.
Tapi tampaknya model Gus Dur bukanlah model yang populer, dan yang paling sering kita jumpai menggejala di lapangan justru sebaliknya: ‘aji-aji nuli’ lebih sering dipraktekkan secara negatif sebagai mekanisme defensif. Tentu saja ini adalah pilihan agar orang bisa terus merasa nyaman dalam tempurung persembunyiannya sendiri, meski itu berseberangan dengan akal sehat dan kenyataan.
Lebih celaka lagi, dalam kenyataan ‘aji-aji nuli’ tampaknya tak pernah berdiri sendiri, tapi hampir selalu berpasangan dengan ‘aji-aji mbuta’. Akibatnya, orang hanya bisa mendengar dan melihat dirinya sendiri, tempurungnya sendiri. Apapun kenyataan diluar tempurungnya, hanya akan diperlakukan sebagai obyek penjajahan dan pemerkosaan, untuk diformat ulang sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang ingin dia dengar dan lihat.
Melihat kecenderungan macam ini, taklah terlalu mengherankan bila aji-aji mbuta nuli pada akhirnya selalu melahirkan para ‘buto’ (raksasa) dalam berbagai bentuk dan ukuran. Para ‘buto’ yang sibuk memaksakan kepentingannya sendiri di segenap lini dan level kehidupan. Para ‘buto’ yang gagah mengibarkan bendera ‘kebenaran’ sambil menginjak Kebenaran.
Dan kalau sudah demikian, bisa diperkirakan bila kemudian orang akan secara otomatis kehilangan rasa malunya. Bagaimana orang akan malu bila ia tak merasa ada yang salah dalam dirinya?
Dongeng kanak-kanak tentang raja yang telanjang adalah contohnya. Seorang raja yang ingin mengenakan pakaian terhebat yang belum pernah dikenakan oleh raja manapun di dunia, telah ditipu oleh seorang cerdik.
Si cerdik mengatakan bahwa pakaian yang ia buat tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Si raja, yang mabuk citra, dengan sukarela mengenakan pakaian ‘ghoib’ tersebut. Dan itu berarti ia telanjang ketika dengan bangga berjalan-jalan memamerkan pakaian terbaiknya diantara para punggawa. Tentu saja semua punggawa terbelalak melihat rajanya berjalan-jalan tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya.
Si raja sudah pasti tak merasa malu, karena ia merasa sudah berpakaian secara semestinya. Dan, seperti kisah dua orang tuli di atas, pada akhirnya hanya para punggawa dan rakyatnya saja yang merasa malu, karena mereka tahu persis bahwa ada yang tak beres dengan rajanya.
Nah, bukankah hal yang seperti ini juga sering terjadi di sekitar kita? Hampir setiap saat rasa-rasanya kita dipaksa mengelus dada menonton para ‘buto’ pethakilan di panggung sosial-politik-ekonomi-budaya, sementara yang waras makin ketlingsut entah kemana.*****
(Sumber: diambil dari kolom Anis Sholeh Ba’asyin di Harian Suara Karya)
0 comments:
Post a Comment