<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Media dan Rezim Isu

Media dan Rezim Isu



 Oleh Darminto M Sudarmo

Politisi buruk adalah sekelompok politikus yang hanya sibuk memperkaya diri dan golongannya; sedangkan politisi baik adalah sekelompok politikus yang belum ketahuan kedok atau belangnya.
               
Satire tersebut tergolong sindiran yang sangat tajam. Seperti kita ketahui, satire masuk kateogri sindiran atau kritikan yang muatan ejekannya lebih dominan dibandingkan dengan leluconnya itu sendiri. Kondisi perpolitikan Indonesia saat ini sangat subur memancing munculnya bukan saja kritikan atau sindiran tajam, tetapi juga hujatan dan caci cerca.
                Kasus Anas Urbaningrum yang seharusnya berada di ranah hukum langsung menjadi bias ketika Anas berhasil membelokkan topik ke ranah politik lewat retorikanya yang penuh teka-teki dan perlawanan.
                Media dan masyakarat pun lalu terpancing untuk mengikuti bagaimana kelanjutan misteri – karena secara tersirat pernyataan Anas menjanjikan itu -- sejumlah kasus besar yang sekian lama menggantung; dan Century salah satunya. Tak hanya terpancing, media bahkan ikut terseret dalam “permainan” yang mengasyikkan itu.
                Spekulasi para pengamat pun berhamburan. Sengaja atau tidak Anas telah menggiring bangkitnya harapan masyarakat untuk melihat ending tertentu yang mengarah pada figur tertentu pula.
                Salah satu celah yang dilupakan oleh media dan banyak pengamat berhasil dibuka oleh Prof. JE Sahetapy di acara Indonesia Lawyers Club, TV One, 5 Maret 2013, terkait moralitas Anas sebenarnya. Seandainya benar ia mengetahui sejumlah skandal dan kejahatan besar di lingkungan elite penguasa, mengapa ia sekian lama mendiamkannya? Baru setelah tersandung kasus, Anas bertekad membuka itu lewat halaman perhalaman karena merasa menjadi korban konspirasi.
                Mungkin benar anggapan yang mengatakan, mustahil kita mengharapkan ucapan jujur dapat keluar dari seseorang yang saat itu berada dalam risiko dan tekanan; namun seseorang yang berjiwa negarawan dan memiliki komitmen tinggi terhadap kebenaran, seberat apapun risiko yang akan dihadapi seharusnya bukan menjadi alasan.
                Skandal demi skandal hilang timbul tanpa ada kejelasan. Konspirasi demi konspirasi diciptakan untuk mengalihkan perhatian. Isu demi isu datang dan pergi seenak hati. Semua itu seperti memberi bukti bahwa republik ini bergerak tanpa visi. Maka pertanyaannya, akan dibawa ke mana sebenarnya negeri ini?
Agenda 2014
                Tumpang tindih arus wacana terkesan berisik, membingungkan dan bikin pening orientasi. Apakah semua itu akan mengantarkan kita pada substansi yang produktif dan membawa pencerahan baru? Atau sekadar hiruk-pikuk spekulasi yang berujung pada antiklimaks persepsi.
                Hiruk-pikuk kasus korupsi, prahara di partai politik, bab-bab lanjutan perang urat saraf antara Anas Urbaningrum dan pihak yang disebutnya para Sengkuni atau Cikeas sekalipun, hingga tuntutan kejelasan siapa pihak di balik kebocoran Sprindik; terasa paling mewarnai riuhnya opini di media. Ada apa dengan media kita? Mengapa ia menjadi sedemikian ramah dan mesra kepada rezim isu?
                Hampir luput dari perhatian kita. Adanya sejumlah agenda tersembunyi untuk menyongsong 2014 yang sudah di ambang pintu; mungkinkah itu yang membuat sejumlah partai politik tiba-tiba menjadi sangat paranoid? Seakan di negeri yang masih menanggung utang berbagai persoalan krusial dan substantif ini tak ada urusan lain yang lebih penting selain menyiapkan segala perangkat dan mental untuk menyongsong 2014?
                Bukan rahasia lagi, kesulitan parpol mencari kader caleg bersih dan bermutu ditambah adanya tanda-tanda masyarakat yang mulai surut kepercayaan dan skeptis terhadap partai politik, makin menguatkan sinyalemen bahwa eksistensi parpol berada dalam tekanan psikologis serius.
                Media sesungguhnya punya peran besar untuk fokus pada figur calon pemimpin yang akan mengawal Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Dengan mewacanakan mereka, apakah dari unsur parpol atau indipenden, barangkali akan lebih hemat energi dan pemikiran. Apalagi bila media juga mengakomodasi partisipasi masyarakat lewat ruang atau forum yang disediakan untuk itu.
                Tradisi model kampanye pemilu yang ada selama ini mungkin perlu di-set up ulang karena hanya akan melahirkan spekulasi-spekulasi dan berbiaya tinggi pula. Biaya tinggi hanya akan melahirkan pemimpin yang sibuk dengan hitungan untung-rugi. Ongkos politik dan biaya politik harus direduksi secara frontal supaya kita dapat kembali ke model demokrasi yang murah dan alami. Salah satu cara untuk mencapai itu, media perlu melakukan wacana dan bursa calon pemimpin masa depan sedini mungkin.
                Pemimpin yang benar adalah figur yang terpilih bukan dipilih. Terpilih karena telah melalui proses waktu dan teruji rekam jejak prestasinya. Tradisi memilih calon pemimpin atau wakil rakyat yang serba dadakan dan terburu-buru, apalagi berlumuran “hadiah” yang penuh pretensi dan tidak mendidik, hanya akan melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang menisbikan konstituennya; transaksi telah selesai, jual beli telah impas.
                Medialah sesungguhnya pemegang kendali opini masyarakat. Di pundaknya termuat tanggung jawab besar untuk ikut mengawal arah dan orientasi bangsa ini. Potret DPR dalam satu dekade ini yang penuh anomali dan ambivalensi, biarkanlah menjadi cerita lama. Untuk menyiapkan perbaikan negeri ke depan, media perlu memberi perhatian istimewa pada isu kepemimpinan dan kebangsaan.
                Salah satu solusi untuk Indonesia yang masuk akal ternyata dibutuhkan pemimpin yang baik. Dari pemimpin yang baik akan dilahirkan sistem yang baik (tradisi paternalistik membuat peran pemimpin menjadi penentu, bukan sistem). Dari sistem yang baik akan tercipta birokrasi yang baik. Dengan birokrasi yang baik, masyarakat akan menikmati kenyamanan dan kesejahteraan.
                Salah satu ciri pemimpin yang baik pula, dia akan mengutamakan banyak blusukan ke negerinya sendiri (terutama yang sedang dirundung permasalahan) bukan sebaliknya,  banyak blusukan ke negeri luar. Investor akan berbondong-bondong datang ke negeri kita bila Indonesia diakui sebagai negara baik; bukan sebaliknya, membujuk-bujuk mereka, merengek-rengek pada mereka. Sudah berbiaya besar, tak ada jaminan berhasil pula!

(Dimuat di Harian Suara Merdeka, 20 Maret 2013 dengan judul: Peran Media dan Rezim Isu – artikel ini merupakan versi sebelum dilakukan penyuntingan).
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger