Oleh Indra Tranggono
Mau jadi
pemimpin di negeri ini? Gampang! Siapkan duit banyak dan atur lobi. Lalu,
jangan lupa: teruslah berlatih mengucapkan kata prihatin sefasih-fasihnya.
Strategi
yang disebut terakhir ini penting. Itu karena negeri kita adalah negeri
bencana, baik bencana alam, bencana politik, bencana sosial, bencana ekonomi,
maupun bencana hukum. Juga bencana teknis ataupun bencana sistemik. Wujudnya
bisa macam-macam: jembatan ambrol, busung lapar, konflik horizontal, pengangguran,
korupsi, hingga pelayanan kesehatan dan pendidikan yang sangat buruk.
Dengan kata
prihatin itulah Anda akan dapat empati publik meski setelah mengucapkan kata
itu Anda tidak berbuat apa-apa. Manfaatkan masyarakat yang pemaaf dan mengidap
penyakit lupa. Bahkan jika gagal mengemban tugas sosial pun, Anda jangan
sekali-kali menyatakan mundur. Itu tindakan yang tidak lazim.
Anekdot
berupa ”nasihat” semacam itu kini tumbuh subur di masyarakat. Kita bisa
menganggapnya sekadar guyonan. Namun, sangat mungkin anekdot itu serius.
Bukankah di tengah kesumpekan sosial, guyonan atau anekdot politik adalah kanal
pelepasan bahkan perlawanan yang diam. Itu bukan hanya terjadi di negeri
totaliter, juga di negeri yang (mengaku) demokratis.
Masyarakat
kita sangat kreatif, terutama jika dalam tekanan. Kepahitan hidup mereka olah
jadi humor hitam yang cerdas.
Maka, jika
kebetulan Anda bagian dari penyelenggara negara, jangan sekali-kali menganggap
humor hitam sebagai hiburan ketika mendengar guyonan mereka. Bisa jadi itu sindiran
untuk mengukur seberapa tinggi Anda memiliki kepekaan atau rasa malu sebagai
birokrat, teknokrat, wakil rakyat, dan penegak hukum.
Penggelinciran
makna
Humor hitam
bukan banyolan vulgar seperti dalam tayangan komedi di televisi. Humor semacam
itu tak lebih dari komoditas. Humor hitam bukan barang dagangan, melainkan
renungan keprihatinan yang memiliki daya kritis. Ia mengoreksi keadaan bukan
dengan caci-maki, sumpah serapah yang penuh tanda seru, melainkan melalui
refleksi simbolik yang subtil.
Logika yang
digunakan adalah logika terbalik (negatif), semacam penggelinciran atas makna
realitas yang dikontruksi negara. Humor hitam memandang bahwa negara merupakan
rezim pemaknaan atas realitas yang harus dikritik. Itu karena negara bisa
melakukan korupsi semantik, misalnya melalui eufemisme atau kebohongan terhadap
publik, demi melanggengkan kekuasaan.
Pemimpin
yang baik selalu menolak kebenaran tunggal, berbeda dengan penguasa yang selalu
jadi pemborong kebenaran. Untuk itu, pemimpin yang baik selalu rendah hati
membuka diri terhadap pelbagai tafsir atas realitas. Dari sana, ia mendapatkan
pencerahan. Oleh karena itu pula, Soekarno, Sjahrir, Bung Hatta, Tan Malaka,
dan pemimpin sejati lainnya selalu membaca karya sastra dan filsafat. Oleh
karena itu, Bung Hatta dan Ali Sadikin selalu menyaksikan pementasan Bengkel
Teater-nya Rendra.
Mereka
adalah pemimpin yang tumbuh dalam tradisi intelektual yang kental. Bukan jenis
pemimpin pop yang gemar membuat album lagu sentimentil. Mereka adalah pemimpin
yang punya cita-cita ideal atas negara-bangsa. Bukan jenis pemimpin yang manja
dan selalu menuntut pelayanan dari negara.
Degradasi
kepemimpinan secara nasional telah melahirkan pelbagai anomali politik, sosial,
ekonomi, dan hukum. Negara tidak terepresentasi secara normal (konstitusional),
tetapi cenderung menjadi semacam koloni para penakluk dan petualang politik
yang hanya berpikir soal kekuasaan dan pemilikan.
Membangun
kesadaran
Dalam negara
yang gelap dan pengap, humor-humor hitam pun muncrat dengan sangat deras. Ini
terjadi seiring kurang efektifnya kritisisme pelbagai komunitas demokratik
untuk mengubah keadaan. Ternyata, rezim berkuasa sangat imun terhadap kritik.
Rezim punya cara jitu untuk meredam kritik, yakni membiarkan kritik itu berbiak
di masyarakat. Rezim percaya kritik akan padam dengan sendirinya karena para
pengkritik akan kelelahan dan putus asa. Sikap ndableg ternyata efektif dan
murah untuk meredam kritik.
Humor hitam
mungkin juga akan bernasib sama dengan kritik yang muncul dari kekuatan
komunitas demokratik. Namun, ia akan terus membangun kesadaran sehingga akan
tercipta resistensi publik atas rezim yang dipandang abai. Kepercayaan pun
diam-diam menguap.
Pemimpin
sejatinya mestinya mau rendah hati untuk berguru kepada humor hitam: di sana
ada penilaian yang jujur atas realitas. Namun, masih adakah pemimpin sejati di
negeri ini, di tengah melimpahnya tawaran kemewahan dan hedonisme?
Indra
Tranggono Pemerhati Kebudayaan; Tinggal di Yogyakarta
(Kompas, Jumat, 2 Desember
2011)
0 comments:
Post a Comment