Oleh Acep Iwan
Saidi
|
Tulisan ini
diinspirasi dua narasi. Pertama, narasi Roland Barthes dalam bukunya,
Mythologies, tentang berbagai adegan kekerasan dalam film gangster. Kedua,
narasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perombakan Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid 2 beberapa waktu lalu. Terdapat dua hal yang mirip pada keduanya:
soal bagaimana dunia dipersepsi para pelakunya.
Dalam
film-film gangster, tulis Barthes, seorang perempuan cantik dapat dengan tenang
meniupkan asap rokok ke wajah orang yang hendak menyerangnya. Istri seorang
gangster bisa dengan terus merajut kain di tengah-tengah kekacauan, dalam
kecamuk suara pistol yang, bagi penonton, sangat mengerikan.
Bagi para
gangster, kekacauan adalah hal biasa. Realitas di luar diri adalah sesuatu yang
terpisah. Dalam kegangsteran diri menjadi steril, tak ada masalah, semua bisa
berjalan biasa-biasa saja.
Sementara
itu, dalam narasi perombakan kabinet oleh SBY, melalui layar televisi
setidaknya kita menonton empat adegan. Pertama, pemanggilan tokoh yang
didefinisikan pemerintah sebagai ”yang kredibel” ke rumah pribadi SBY di
Cikeas.
Kedua,
pernyataan sikap beberapa calon menteri terpilih sehari sebelum diumumkan
secara resmi. Ketiga, pembacaan pengumuman oleh Presiden SBY. Keempat, upacara
pelantikan dan pengangkatan sumpah pejabat.
Keempat
adegan itu mengalir dan mengalur dalam suasana yang sama: berlangsung dengan
ceria. Pada adegan pertama, misalnya, tampil beberapa sosok dengan wajah penuh
pesona, tersenyum, dan melambaikan tangan di ujung kamera. Pada adegan kedua,
kecuali Dahlan Iskan, semua bahagia dan tentu saja mengucap syukur.
Pada adegan
ketiga, Jero Wacik bahkan merasa perlu nonton bersama keluarga menyaksikan di
depan kamera pengumuman untuk para pemenang kuasa sebelum kemudian bertempik
sorak atas kemenangan dirinya. Terakhir, adegan keempat, adalah sebuah panorama
tentang bagaimana roh kuasa ditiupkan di bawah panji keagungan Tuhan (kitab
suci yang diangkat ke atas kepala pada sumpah jabatan). Seperti tiga adegan
sebelumnya, adegan ini pun penuh senyum, tentu saja senyum lebih formal.
”Mal” tanpa
jendela
Kecuali
keceriaan sedemikian, tak ada yang luar biasa pada semua adegan itu. Semua
berjalan indah, padahal lakonnya dipentaskan dalam situasi ”gawat darurat”. Ini
berarti bahwa lakon itu berbanding lurus dengan film gangster. Keduanya
sama-sama berada di dalam sebuah ”studio narasi” sehingga terpisah dari
realitas.
Jika narasi
gangster merupakan ”realitas baru” yang dilahirkan sebagai representasi dari
realitas sebenarnya, narasi kuasa adalah realitas dalam ”mal” tanpa jendela,
tempat di dalamnya orang lupa pada realitas di luar gedung.
Seperti
dalam narasi gangster yang tokoh-tokohnya harus selalu bertempur, saling serang
meniadakan lawan, narasi kuasa juga menempatkan pemangkunya terus-menerus dalam
situasi bahaya. Perombakan kabinet kemarin pada hemat saya terjadi lebih karena
”kekacauan di dalam” akibat berbagai pertempuran hingga berujung pada
keputusan: ada yang harus ”diselamatkan” di satu sisi dan ”dicelakakan” di sisi
lain.
Sebagai
penonton, yang tentu saja melihat dari arah depan layar, kita menyaksikan
keanehan- keanehan yang dirasionalkan. Kita mengikuti jalan ceritanya sehingga
dengan begitu kita bisa menerima—paling tidak untuk sementara—perasionalan itu.
Kita
memaklumi dengan mengurut dada sebelum kemudian menarik simpulan: demikianlah,
dalam narasi kuasa para tokoh harus memainkan perannya. Pertanyaannya, mengapa
narasi penuh bahaya itu didambakan? Bagi sebagian orang, menjadi gangster
adalah sebuah pencapaian. Tak semua orang berani dan bisa melakukannya. Menjadi
gangster adalah prestasi tersendiri. Gangster adalah sebuah dunia tempat
kekuasaan menunjukkan wujudnya dengan sangat eksplisit.
Hal ini
lagi-lagi berbanding lurus dengan narasi kuasa: bagaimana kekuasaan dalam dunia
politik memberikan posisi kepada para pelakunya. Kursi kuasa (jabatan politik)
adalah representasi dari prestasi. Dipanggil untuk menduduki sebuah kursi kuasa
berarti diposisikan sebagai yang mumpuni.
Ketika kursi
kekuasaan dipersepsi sebagai pahala dari prestasi, jelas kekuasaan (jabatan)
menjadi ruang lain yang berbeda dengan realitas. Jabatan adalah realitas
prestasi yang ”dibendakan”. Itu sebabnya, para tokoh yang di- minta menduduki
jabatan kuasa terjebak pada keyakinan bahwa jabatan yang diberikan kepada
dirinya adalah untuk dirinya yang ”dianggap mumpuni” itu.
Kekuasaan
telah menariknya dari ”realitas comberan”, khalayak yang tak berprestasi.
Akibatnya, tak pernah ada yang menolak jabatan yang ditawarkan SBY. Ketimbang
menolak, orang yang ditawari malah mensyukuri, menyambut dengan tepuk tangan
anggota keluarga juga. Untuk orang tertentu, ketika musim pembentukan kabinet
baru tiba, panggilan dari istana adalah sesuatu yang sangat ditunggu.
Naratologi
gangster
Padahal,
kursi kuasa mestinya tak dipersepsi demikian, tetapi harus diposisikan sebagai
”jembatan” yang menghubungkan penguasa dengan rakyat banyak. Kursi kuasa harus
berdiri di tengah-tengah khalayak sebagai perekam suara kompleksitas. Maka,
kekuasaan adalah alat, bukan tujuan. Para pemangku kuasa harus menggunakan kekuasaan
sebagai alat memfasilitasi suara bersama, bukan sebaliknya: diperalat kekuasaan
menjadi budaknya sehingga ia hanya berpikir tentang diri sendiri, bukan
kepentingan khalayak.
Dalam
konteks itu, ketika seorang individu dipanggil dari kerumunan untuk menduduki
sebuah jabatan, mestinya ia melakukan refleksi: mampukah ia menjadikan
kekuasaan sebagai jembatan khalayak? Kemampuan ini tak bisa diukur diri
sendiri, tetapi harus berdasarkan pertimbangan khalayak jua.
Itu berarti,
ketika diangkat jadi menteri, misalnya, ia harus segera membuka diri dan
”bertanya kepada khalayak”. Walhasil, kursi kuasa yang diberikan bukan sebuah
pahala yang harus disyukuri dengan segera, apalagi disambut tepuk tangan. Ia
justru awal dari sebuah proses perjuangan menjadi ”jembatan”.
Jika lulus
hingga di ujung jembatan, artinya mampu mengemban amanah sampai akhir jabatan,
barulah ia berhak bersyukur. Jika tidak, di tengah jalan ia harus berani
mengundurkan diri. Pengunduran diri pejabat yang diminta khalayak atau yang
disebabkan oleh pengakuan diri adalah prestasi moral yang harus disyukuri juga.
Situasi itu
tampaknya tak pernah terjadi dalam konstelasi politik dan kekuasaan di negeri
ini. Di sini, sekali lagi, jabatan dipersepsi sebagai anugerah, penghargaan
atas kemampuan diri. Kekuasaan berpusat pada diri, bukan khalayak. Alih-alih
jadi corong khalayak, ia malah memperalat khalayak demi kelanggengan kuasanya.
Walhasil, naratologi politik dan kekuasaan kita identik dengan naratologi
gangster.
Acep Iwan
Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB (Kompas, Kamis, 1 Desember 2011).
0 comments:
Post a Comment