<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Berondongan Kolom Sunardian Wirodono

Berondongan Kolom Sunardian Wirodono


Sunardian Wirodono

JURUS MENJEGAL JOKOWI

Jokowi, Joko Widodo, yang kini gubernur DKI Jakarta ini, memang harus dijadikan common enemy, musuh bersama, dan bersama kita bisa (bisa ular, bisa laba-laba, bisa kalajengking). Bagaimana caranya?
    Pertama, dasar alasannya dulu. Dia di Solo jadi walikota, belum nyelesai'in tugas sudah ditinggalkan. Lha jadi gubernur DKI belum rampung, belum separuhnya, juga akan dia tinggal? Lalu, kalau misal nih, dia jadi presiden, terus ditinggal pula? Kita 'kan nggak punya presiden? Trus dia nyapres di Amerika. Di sana kepilih. Di tengah jalan, eh, ditinggalin pulak. Trus, kalau kursi kepresidenan Amerika kosong? Siapa yang jadi polisi dunia? Memangnya boleh, polisi dunia kita angkat dari Polri? Betapa kacaunya nanti. Banyak Polisi kita pada ditembakin orang tak dikenal. Mending orang itu dikenal, bisa diajak ngobrol-ngobrol apa ngopi. Lha kalau penembak nggak dikenal? Begitu kita ajak kenalan, eh, dia bukannya nyodorin tangan salaman, tapi malah cabut pestol!
    Lagian, kalau mau Pilpres lagi, susah kita nyari sponsornya. Kita sendiri belum BEP. Sponsor tekor. Ini menggangu stabilitas negara.
    Enak bener posisi wapres, yang cuma ban serep, terus naik jadi pres. Kayak jaman Gus Dur ama Megawati dulu. Ini tak boleh berulang. Kita harus tolak itu.
    Kita harus bikin UU Pilpres baru. Bikin aturan. Yang pakai huruf 'o' dan 'i', tak bisa nyapres! Kalau dia ganti nama jadi Jakawi, maka kepopuleran Jokowi akan hilang dengan sendirinya. Lembaga survey sudah tekor duluan, untuk bikin polling lagi, gara-gara Jokowi ganti Jakawa, Jakayes, Jakana.
    Coba, waktu Presiden Sukarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, kita tetep gini-gini aja to? Itu karena ada unsur huruf 'o' dan 'i' itu.
   "Lha, nanti, Prabowo, Wiranto, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, Anies Baswedan, Pramono Edie, nggak bisa nyapres dong?" tukas seorang pengamat.
  "Rhoma Irama juga, dong, xixixi, kasihan Cak Imin udah ngebet pengen goyang ndangdut,..." kata kubu Cak Imin.
    "Wah, Amien Rais pasti seneng nih, soalnya Hatta Radjasa bisa masuk,..." tetangga Teguh Juwarno sumringah.
    "Jiaaah, Mahfud MD bener-bener bejo dong dia, pantes suka minum jamu,..." gerutu peminum jamu yang pakai bintang iklan menteri BUMN.
    Kalau gitu, bikin aturan, yang kelahiran Solo nggak boleh nyapres!
    "Asyikk, berarti Amien Rais nggak bisa,..." celetuk seseorang, entah siapa.
    Ya, pokoknya kita cari cara. Gimana pun Jokowi harus kita jegal.
   "Prabowo harus masuk dong, 'kan dia gurunya Jokowi?" penggemar Prabowo ngotot.
    Ok, kalau begitu, kita harus mendesak MPR-DPR. Menunda Pemilu. Alasannya, harga kedelai belum stabil. Ini akan mempengaruhi kepercayaan rakyat. Karena kesukaan mereka makan tempe, terganggu. Itu tidak kondusif. Kecuali Pemilu kita biarkan jadi pembuat pilu sebenar-benarnya. Makanya, kita luncurkan mobil murah. Mosok kita sudah merdeka 68 tahun, ngelarang-larang rakyat miskin beli mobil murah? Itu namanya tidak pro-rakyat. Kalau kita ini, pro-rakyat. Kepentingan rakyat kita duluin.
    "Duluin nyungsep, mangsudnya?" sahut suara tanpa ujud, kentut 'kali.
    Hadeh, kita itu serius harus mencari jurus menjegal Jokowi. Ada usul?
    "Hadeuuuhhhh, siapa yang kentut nih,...!" teriak Kaka Slank. Lagu Bang Bang Tut digeber. Freeze Motion. Rolling Credit Title.

 


SI DOEL ANAK JAKARTA

Pada jaman dulu kala, adalah sebuah buku cerita berjudul "Si Doel Anak Betawi", novel karangan Aman Datuk Modjoindo (Balai Pustaka, 1932, yang kemudian tahun 70-an diterbitkan lagi dengan judul "Si Dul Anak Jakarta"). Saya membacanya waktu masih SD dan suka sekali (dan diam-diam menirunya), tiap libur puasa sebulan penuh, pergi ke desa kakek, dan main-main di sungai atau pun sawah.
Novel ini menceritakan kisah seorang anak Betawi yang biasa dipanggil Doel, yang hidup di tengah-tengah kota Jakarta.
Berbeda dengan novel terbitan Balai Pustaka lainnya, yang ditulis di dalam bahasa Melayu Tinggi, Aman menggunakan dialog bahasa Betawi. Dia ingin memperkenalkan bahasa Betawi kepada pembaca di luar Jakarta yang belum tentu mengenal bahasa tersebut.
Novel ini kemudian dibuat film oleh almarhum Sjumandjaya (1973) dengan pemain Rano Karno (inget dulu nonton film ini harus pakai upacara mandi dulu, baju bagus, dan pakai sepatu, kayak mau piknik). Sjuman kemudian (1976) membuat film "Si Doel Anak Modern" dengan Benjamin Suaeb sebagai pemeran utama.
Saya lupa, siapa nama asli si Doel ini, apakah Abdul atau Abdullah, tapi yang pasti bukan Abdul Qadir Jailani. Rano sebagai si Doel, setelah dewasa, kemudian mengembangkannya ke sinetron, menjadi seri TV yang legendaris, berjudul "Si Doel Anak Sekolahan".
Sinetron yang cukup beda, karena lebih membumi, meski dengan adonan film India; Cowok cakep, pinter, miskin, dan dicintai dua cewek cuantik berwajah Cornelia Agatha dan Maoedy Koesnaedi yang masih muda. Kalau si Doel dalam sinetron ini, nama lengkapnya Kasdullah (mirip nama orang pilem tempo dulu).
Salah satu keunggulan Si Doel yang sekolahan ini, lebih plural, karena ada orang Sunda, Jawa, Batak, disamping tentu Betawi itu sendiri. Si Doel ini mencapai 162 episode terbagi dalam 7 session. Dan itu prestasi. Dari 1994 hingga 2002, kemudian nyambung sampai 2006, dan beberapa waktu lalu masih suka di-rerun RCTI dengan rating cukup bagus.
Padahal, awalnya, naskah Si Doel (ditulis novelis Harry Tjahjono) sempat 4 tahun terkatung-katung dan ditolak stasiun TV. Tapi inilah tayangan pribumi pertama yang waktu itu mampu mengalahkan tayanagn film asing.
Demikian tulisan tentang Si Doel.



MAKANLAH SEBELUM KAU DIMAKAN

Kita sering hidup dengan jebakan logika masa lalu, sementara kita hidup di jaman kini. Kita masih suka memakai ejekan 'orang Indonesia baru keringetan jika sehabis makan'. Artinya, kalau pas kerja, justeru tidak keringetan, karena kita males, kurang kerja keras, dan sejenisnya.
Padahal, bagaimana logikanya kita makan tidak keringetan, kalau misalnya nasinya panas, sayurnya pedas, tambah sambel setan, belum lagi makannya di warteg pinggir jalan (soalnya kalau di tengah jalan bisa dituabrak mobil, cuk), dengan atap asbes atau seng di siang bolong.
Sementara makan di rumah yang adem dalam AC, atau di resto mewah dengan menu yang bukan dari kultur tropis, bagaimana mau keringetan?
Lagi pula, pengertian bekerja keras dalam pengertian kita juga sama jadulnya. Masih dipakainya pepatah 'membanting tulang', atau kalau orang Jawa, kaki dipakai kepala - kepala dipakai kaki. Tentu itu ukuran kerja jaman dulu yang hanya kerja fisik. Yang artinya, kerja keras atau kerja berat, tidak paralel dengan gaji atau pendapatan. Buruh gendong di Pasar Beringharjo (Yogya), tentu beda dengan gaji analis keuangan, atau pemain valas di bursa saham, dan apalagi dibanding para politikus dan pejabat negara yang korupsinya belum ketahuan.
Ada orang bekerja serius di ruang ber-AC, tidak keringetan (karena bukan kuli pasar, kuli pelabuhan, atau buruh bangunan), ada rakyat jelata atau orang miskin yang sangat doyan sambel biar nafsu makannya nambah karena tanpa itu nasi kualitas rendah dengan sayur seadanya beda dengan rempela ati atau daging sapi impor kebanggaan para kartel dan koruptor. Sementara antara rakyat miskin yang satu dengan lainnya, pun juga beda-beda, karena ada rakyat miskin yang layak beli mobil murah (setelah 68 tahun merdeka), ada yang benar-benar jangankan beli, menyentuh pun belum pernah.
Ada rakyat kecil yang kalau pas sering susah makan (artinya makan tidak teratur, karena harus berhitung besok makan atau nggak ya), baru bisa merasakan kalau makan itu ternyata banyak manfaatnya. Selain menjadikan kita kenyang, ada pembakaran kalori dan kita menjadi berenergi, juga bisa menjadikan kita sedikit lebih baik dari mereka yang tidak bisa makan. | Menunggu saat makan siang di warteg pertigaan bangjo Kalimalang, ketika aku kangen kamu dan kamu nggak dateng-dateng.



TINGKAT-TINGKAT KESOMBONGAN

Di tingkat terbawah, sombong sering disebabkan karena faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih cantik, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua, sombong sering disebabkan faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, lebih bijaksana dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga, sombong sering disebabkan faktor kebaikan. Kita seringkali menganggap diri kita lebih berakhlak, lebih bermoral, lebih pemurah, lebih religius, lebih halal, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Semakin tinggi tingkat kesombongan ini, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi akan sangat mudah terlihat tetapi sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena merasa lebih baik dan suci, sulit terdeteksi, karena seringkali hanya berbentuk benih-benih yang halus di dalam hati kita, apalagi disertai dengan kesombongan intelektual karena menguasai satu ilmu atau bacaan. Sampai tahapan ini, kesombongan ini bisa membawa-bawa Tuhan untuk justifikasi.
Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Pada tataran yang wajar, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence). Namun, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Bahkan, seringkali batas antara bangga dan sombong tak terlalu jelas.
Diri kita sebenarnya terdiri atas dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan diri sejati di lain kutub. Pada saat dilahirkan ke dunia, kita sepenuhnya berada dalam kutub diri sejati, kita lahir dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Kita sama sekali bebas dari materi apapun. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, kita mulai memiliki berbagai kebutuhan materi. Bahkan, lebih dari sekedar yang kita butuhkan dalam hidup, kelima indra kita selalu mengatakan bahwa kita membutuhkan yang lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup seringkali mengantarkan kita menuju kutub ego. Perjalanan inilah yang memperkenalkan kita kepada kesombongan, kerakusan, serta iri dan dengki. Ketiga sifat ini adalah akar segala permasalahan yang terjadi dalam sejarah umat manusia.
Perlu menyadari bahwa hakikat manusia adalah diri sejati, kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual. Tapi spiritualitas manusia, kini mendapat tantangannya karena perlahan berubah dalam bungkus formalitas.
Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi: Energi yang Anda berikan kepada dunia tak akan pernah hilang. Energi itu akan kembali kepada Anda dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang Anda lakukan pasti akan kembali kepada Anda dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, perasaan bermakna maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik pada orang lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Kalau berbuat kejelekan pada orang? Kejelekan jugalah yang didapat. Kalau begitu, apalagi yang harus kita sombongkan?

 





Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger