(rawbeauty.com) |
Oleh Harry Bawono*)
Kontroversi hati, statusisasi kemakmuran, hamonisisasi adalah rangkaian kata yang meluncur dengan begitu deras dari mulut seorang Vicky. Ya, Vicky dengan penuh percaya diri mendaraskan ujaran yang mencengangkan itu.
Khalayak pun di buat ramai, dunia sosial media menjadi gandrung dengan bermunculannya berbagai meme yang memparodikan teknik akrobatik kata ala Vicky.
Sebut saja gejala penggunaan bahasa kelas tinggi yang tidak ada juntrungannya ini sebagai Vickiisme, sebagaimana banyak tulisan sebelumnya yang menyoroti perkara Vicky memberikan label.
Persoalanya bukan kepada kata-kata tersebut melainkan pada bagaimana Vicky menggunakan kata-kata tersebut sehingga mengundang cibiran karena penempatannya yang dinilai tidak pas sama sekali.
Tulisan ini menyoroti kasus Vickiisme dalam kacamata sosiolinguistik yang membedah posisi makna dalam kaitannya dengan relasi penulis-pembaca, penutur-pendengar.
Penulis ingin menjelaskan bahwa Vickiisme pada dasarnya adalah tradisi dekonstruktif yang menempatkan posisi makna menjadi sedemikian bebas, tanpa pijakan dan pada akhirnya jika Vickiisme justru digunakan oleh banyak kalangan maka Vickiisme pada titik ini tengah membentuk suatu langgam bahasa tersendiri sebagaimana langgam bahasa gaul, bahasa alay atau langgam bahasa lainnya.
Terdapat dua corak pemikiran besar yang membedah persoalan kebahasaan, strukturalisme dan poststrukturalisme. Strukturalisme memiliki logika bahwa bahasa merupakan keterkaitan antar tanda dalam keterkaitannya ini makna terjalin dan menjadi acuan tindakan manusia dalam membentuk lingkungannya.
Strukturalisme melihat struktur bahasa sebagai pemaksa orang bertindak. Terdapat struktur yang demikian sistemik tersusun dan ada inti yang berupa logosentrisme. Logosentrisme dapat berarti berpusat pada logos. Logos bisa dibayangkan sebagai unsur pokok atau sejati yang menjadi pusat dari struktur bahasa.
Misi utama strukturalisme adalah menyimpang logos ini yang berwujud sebagai makna sesungguhnya, arti sebenarnya, dari sinilah kemudian muncul mengenai perkara asli, murni, palsu.
Strukturalime memusatkan perhatian pada realitas tersembunyi dibalik ujaran, tuturan dan tulisan. Itulah mengapa, strukturalisme seringkali disebut menolak empirisme, karena dalam kepala strukturalisme rea litas bukanlah yang tampak melainkan suatu logika yang melandasinya.
Sementara strukturalisme berupaya menyibak makna transenden berupa logika yang mendasari sebuah perangkat bahasa, postrukturalisme justru tidak memandang adanya suatu makna hakiki dari suatu sistem bahasa. Logika poststrukturalisme berfokus pada ketidakkoheranan sistem dan ambiguitas.
Ketidakkoheranan merupakan implikasi logis dari cara pandang postrukturalisme yang melihat bahwa realitas merupakan semata-mata produk konstruksi melalui discourse. Itulah mengapa tidak ada makna tunggal dalam postrukturalisme, yang ada adalah keragaman makna yang begitu kaya dan berbeda.
Kedua corak pemikiran ini, strukturalisme dan postrukturalisme pada dasarnya berkutat pada usaha membedah antara langue dan parole. Langue adalah kaidah bahasa formal, sementara parole adalah bahasa aktual tutur kata. Langue merupakan kaidah hasil konvensi yang mendasari laku bahasa keseharian.
Itulah mengapa dalam tradisi strukturalisme melihat langue dengan melalui usaha menganalisa parole. Melalui parole inilah yang kemudian dirujuk kepada langue, makna sesungguhnya ditemukan dan diurai sedemikian rupa.
Berbeda dengan postrukturalisme, bahasa seakan adalah parole itu sendiri sebagaimana aktual dan dipergunakan dalam keseharian. Pada titik inilah parole tidak lagi menjadi linear dengan language melainkan bergerak begitu bebas sebagaimana pengguna berkuasa menggerakannya.
Posisi Pengarang (Penulis dan Penutur)
Sebagaimana telah dijelaskan diatas mengenai strukturalisme dan postrukturalisme yang secara sederhana dapat diungkap bahwa satu pihak melihat adanya makna hakiki trasenden yang berada dibalik yang terlihat dan terucap, sementara pihak lainnya melihat bahwa tidak pernah ada makna hakiki yang transenden itu.
Perkara ini perlu disandingkan dalam konteks pembedaan secara konseptual mengenai bahasa lisan dan tulisan. Kendati berbeda, dimana tulisan lebih ketat secara kaidah sementara tidak dengan lisan, namun inti dari kedua bahasa tersebut adalah posisi penulis-pembaca, penutur-pendengar.
Dalam relasi biner ini, muncul suatu usaha untuk membedah makna, sejauhmana makna dari suatu bahasa itu berada? Di penulis, di pembaca, di penutur, atau di pendengar? Dalam melihat hal ini, strukturalisme mengambil jalan dengan melihat bahwa makna terdapat di penulis atau penutur.
Sementara, postrukturalisme memposisikan diri melihat makna justru ada di pembaca atau pendengar. Usaha untuk memb edah makna itu disebut sebagai hermeneutika. Hermeneutika secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha menafsirkan makna atau arti dari suatu kata.
Tradisi strukturalisme menggunakan hermeneutika guna mendapatkan tafsir sebagaimana dimaksud penulis atau penutur, sementara tradisi postrukturalisme menggunakan hermeneutikan justru untuk membredel segala makna universal dan menampilkan makna dalam suatu konteks sebagaimana pembaca konstruksikan.
Maka tidak ada garis linear antara makna yang digunakan penulis dengan makna yang ditangkap pembaca. Pola hermeneutika yang digunakan oleh postrukturalisme ini biasa disebut sebagai dekonstruksion(isme).
Melalui dekonstruksi ini maka yang eksis adalah keragaman makna, satu tulisan bisa membuahkan makna tak terbatas sebagaimana banyaknya pembaca yang melahap tulisan itu, dan hal ini mungkin saja terjadi juga dalam bahasa lisan, ketika banyaknya makna atas kata yang terucap sebanyak orang yang mendengarnya.
Menarik untuk menghadirkan ungkapan yang begitu terkenal dalam tradisi postrukturalisme yang dikemukakan oleh Barthes, "pengarang telah mati". Pengarang tidak lagi punya kuasa mendikte makna, pembaca atau pendengar telah mengambilalih kuasa itu. Pembaca atau pendengarlah sang perumus makna.
Pada posisi ini bagaimanakah tuturan Vicky lantas dapat dimaknai? Dengan melihat pidato kampanye yang menggunakan bahasa inggris ala dirinya sendiri. Dengan mamperhatikan akrobatik kata-kata ketika diwawancarai wartawan sesaat setelah acara tunangannya.
Dapat dilihat secara gamblang bahwa Vicky jelas mengkonstruksi maknanya sendiri tanpa peduli dengan kaidah umum atau langue. Vicky pada konteks ini, secara bebas atas pemahamannya sendiri merakit kata-kata "canggih" itu dalam kaidah makna versi dirinya sendiri.
Pada titik ini, Vicky pada dasarnya dekonstruksionis dengan berfokus pada kaidah pemaknaannya sendiri tanpa ambil pusing kaidah pokok atau langue dari bahasa yang dia tuturkan itu.
Dengan melihat pengarang yang merujuk ketat pada kaidah pokok atau langue saja, diversifikasi makna begitu tinggi. Bagaimana dengan Vicky sedemikian bebas mengkonstruksi makna? Nah, disinilah Vicky sedemikian bebas dan begitupun dengan pendengarnya.
Perkara cibiran dan segala bentuk hinaan yang muncul, menurut penulis pas untuk menghadirkan perspektif Durkhemian yang melihat bahasa sebagai salah satu fakta sosial. Fakta sosial dalam Durkhemian digambarkan sebagai sesuatu yang berada diluar individu dan bersifat memaksa individu.
Eksistensi fakta sosial bisa dilihat melalui adanya kontrol sosial, yakni dengan adanya perlawanan jika ditengarai ada sesuatu yang melenceng dari fakta sosial tersebut.
Cibiran dan hinaan atas Vicky menjadi mekanisme bagaimana bahasa sebagai fakta sosial melawan dan tegas menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Vicky adalah menyimpang.
Vickiisme Sebagai Langgam Bahasa
Telah jelas diuraikan Vickiisme sebagai suatu tindak dekonstruksionis karena akrobat bebas atas makna dan kata yang diracik sedemikian rupa. Pada titik ini pula patut dipertimbangkan mengenai leluasanya Vickiisme menjadi sedemikian populer dan bahkan bahasa akrobatik Vickiisme ini tengah digunakan banyak pihak.
Hal ini bisa dilihat dengan adanya Vickybulary yakni kamus besar bahasa Vicky yang disusun secara kreatif entah oleh siapa itu. Dengan melihat gejala ini, mari melihat gejala lain, seperti bahasa gaul atau bahasa alay. Bahasa gaul toh pada awalnya merupakan upaya dekonstruksionis guna memapankan suatu bahasa yang tidak sebagaimana bahasa baku.
Kamus bahasa gaul pun muncul dan dijadikan sebagai acuan para pengguna bahasa gaul. Pun begitu dengan bahasa alay, bagi sebagai besar orang, bahasa alay jelas sekali ketidakjelasannya.
Tapi toh mereka punya kaidah kebahasaan dalam konteks para penggunanya. Bedanya langgam bahasa gaul dan alay, punya kapasitas kebebasan yang lebi h dengan menempatkan penggunan sebagai penguasa makna.
Dengan memperhatikan hal ini, maka hemat penulis, Vickiisme pada dasarnya tengah bergerak ke arah menjadi langgam bahasa tersendiri sebagaimana bahasa gaul dan bahasa alay.
Persoalannya kemudian adalah dalam konteks langgam bahasa Vickiisme apakah ungkapan "Ĺ“pengarang telah mati" masih relevan?
Atau ungkapan tersebut malah memperluas diri, dalam langgam bahasa Vickiisme justru ungkapan yang tepat adalah "pengarang sekaligus pembaca/pendengar telah mati"? Silakan bergulat dengan pemaknaan masing-masing.
*Penulis adalah Peneliti di Pusat Kajian dan Pengembangan Sistem Kearsipan (Pusjibang Siskar)
Source: detikNews
0 comments:
Post a Comment