<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Dokter Mogok: Tanda-Tanda Zaman?

Dokter Mogok: Tanda-Tanda Zaman?

Ariel Heryanto

Ariel Heryanto - Profesor di The Australian National University

Kemarin berlangsung sebuah peristiwa bersejarah: pemogokan dokter Indonesia berlingkup nasional. Ada juga demonstrasi mereka di jalan utama di ibukota Jakarta.

Saya tidak tahu seluk-beluk kasus hukum tiga dokter yang telah memicu pemogokan para dokter ini. Saya juga kurang berminat tahu lebih jauh soal itu. Bukan kasus pemicu itu sendiri yang menarik perhatian saya. Dua hal yang menarik perhatian saya. Pertama, dipilihnya pemogokan sebagai medium, modus, bentuk, atau format yang dipilih para dokter ini untuk menyatakan greget mereka. Kedua, reaksi sebagian tidak kecil dari masyarakat yang menolak, menghujat, atau menyayangkan bentuk atau format pemogokan ini.

Bisa dipahami bila masyarakat Indonesia pasca-1965 tidak siap menerima kenyataan dokter-dokter nasional mau dan mampu melangsungkan pemogokan. Secara prinsip, pemogokan dinajiskan, apalagi bila pemogokan itu dilangsungkan di kalangan kaum profesional (pekerja “kerag putih”, dengan pendidikan tinggi dan gaji kelas menengah).

Pemogokan para dokter baru-baru ini membuktikan penindasan bergaya Orde Baru (yang masih terus dikembang-biakan oleh elit negara masa kini), tidak berhasil secara tuntas. Tetapi pemogokan para dokter di akhir tahun 2013 ini bukan “penyimpangan” yang pertama atau terbesar dalam gejolak kaum profesional kelas menengah pasca 1965. Di pertengahan dasawarsa 1990an, Indonesia pernah menyaksikan pemogokan tanpa-henti selama 9 bulan di kalangan ratusan kaum akademik (dosen, mahasiswa, pegawai) di UKSW Salatiga. Dalam kurun waktu yang lebih panjang, kita menyaksikan perjuangan kaum jurnalis untuk membentuk serikat buruh, walau pemogokan bukan/belum menjadi bentuk gerakan besar-besaran.

Pemogokan membutuhkan tidak saja kesadaran atas hak kerja yang layak dalam hubungan industri kapitalisme, visi sosial dan etika kerja yang jernih, namun kepemimpinan dan kemampuan berorganisasi yang bagus. Pemogokan merupakan senjata paling ampuh dari organisasi serikat kaum buruh. Semua ini dinajiskan dalam logika politik dan ideologi Orde Baru. Sebagai gantinya dipropagandakan sebuah citra moralis bahwa kerja dokter serta profesi kelas menengah lain sebagai sebuah pengabdian yang “mulia” dan tidak boleh dikotori perhitungan hak kerja, politik, atau tuntutan gerakan sosial.

Sejumlah orang menulis di media massa dan media sosial, menyalahkan pemogokan dokter ketika sejumlah pasien di rumah sakit terlantar. Ini berbeda dari kasus pemogokan para akademik di UKSW tahun 1990an yang didukung sebagian besar media massa. Bukan saja para dosen itu tidak disalahkan karena kuliah ribuan para mahasiswanya terlantar, tetapi ratusan mahasiswa itu malahan ikut mendukung gerakan dosen dengan bergabung dalam aneka demonstrasi. Sebagian orangtua mereka bahkan mengancam akan menggugat universitas (bukan dosen) yang dianggap bertanggung-jawab atas terlantarnya pendidikan para mahasiswanya.

Jadi, bagaimana gejolak kelas menengah kota profesional ini dapat dipahami? Jawabnya pasti lebih dari satu. Saya urun beberapa butir pokok yang bisa dibahas lebih jauh:

(1) Kaum profesional jelas bukan kelompok yang paling menderita di Indonesia. Tentu mereka sadar ini, dan tidak perlu diberitahu. Tapi kalau sampai mereka turun ke jalan dan berani mengambil resiko dihujat orang karena melepaskan predikat moralis sebagai pengabdi yang “mulia”, barangkali kehidupan dan kerja rutin mereka mengalami kemerosotan luar biasa. Barangkali sedang terjadi proses “proletariatisasi” kelas menengah, sehingga secara status dan hubungan kerja (bukan tingkat gaji dan aneka tunjungan secara moneter) semakin mirip dengan buruh yang tidak berdasi, tidak berblazer, tidak berparfum bila ke kantor.

Bila pemogokan dosen atau gerakkan serikat juralis nyaris dua dekade yang lalu mendapat cukup banyak simpati dan pemogokan para dokter kurang didukung massa, sebabnya bukan pada perbedaan profesi mereka, tetapi pada perbedaan suhu politik dan ekonomi yang berbeda. Dua dekade lalu, terjadi krisis kapitalisme global tidak saja pada tingkat moneter, tetapi juga moral dan ideologi. Kini suasananya berbeda, dan ini menjadi butir kedua pokok di bawah ini.

(2) Proses proletariatisasi masa kini berlangsung secara global, berkat kejayaan kapitalisme dan ideologi neoliberalisme. Walau proses ini berlangsung secara ajeg, banyak di kalangan masyarakat Indonesia pasca-1965 yang tidak siap menerima kenyataan itu secara mental, moral dan intelektual. Maklum analisa sosial, politik dan kesejarahan yang memadai di lembaga pendidikan formal untuk memahami kerja kapitalisme tidak disediakan di lembaga-lembaga formal atau media massa.

Bukan hanya masyarakat luas akan mengecam profesional kelas menengah yang mogok, karena dianggap tidak bersikap “mulia” seperti para malaikat dalam cerita anak-anak. Bahkan di kalangan profesional kelas menengah sendiri sering terjadi kegagalan memahami atau penyangkalan bahwa pada hakekatnya mereka adalah buruh – secara mendasar tidak berbeda dari buruh lain – walau digaji lebih tinggi daripada rata-rata gaji buruh, diberi istilah muluk untuk jabatan mereka, dan bekerja di kantor yang mengkilat.

(3) Di saat kapitalisme sedang menikmati kejayaannya di planet bumi seperti saat ini, terasa semakin perlunya kritik-kritik terhadap kapitalisme ditengok kembali, dikaji ulang, termasuk berbagai versi Marxisme yang pernah bertumbuh dan sudah dianggap kuno atau buntu di sejumlah kalangan.

Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger