Kartun Apat |
Oleh Ki Jenggung
DUNIA makin modern, maju, doktor kian banyak, apalagi sarjana S-1 dan S-2. Kini berbagai macam kecerdasan diperkenalkan ke publik. Dulu hanya dikenal intelligence quotient, lalu Universitas Harvard, AS, menemukan emotional quotient, dan lain-lain. Terakhir humoris kawakan Darminto M. Sudarmo “menemukan” apa yang disebut humour quotient yaitu kecerdasan humor. Orang ini tak mengada-ada. Dul Semprul setuju. Menurut dia, humor dapat menjadi kunci urai berbagai masalah sekaligus batu ukur kualitas paripurna manusia. Itu intinya.
Mestinya, begitu menurut Dul Semprul, negeri ini juga semakin pandai mengelola rasa humor sehingga mengurangi radikalisme, terorisme, paranoia, kecengengan pemimpin. Tak ada humoris yang cengeng dan paranoid. Tapi, kemampuan ini tak bisa dipaksakan, harus melalui proses pembelajaran panjang, mendalam, dengan pelatihan intensif seumur hidup. Pemimpin cengeng jangan coba-coba berhumor, sebab hasilnya kering-kerontang, membosankan, dan membikin bibir mencibir. "Wagu," kata orang Jawa, artinya kaku dan canggung.
Di bidang diplomasi, rasa humor berperan untuk mematahkan “serangan”, tanpa harus membuat lawan sakit hati atau justru mengecapnya “bego”. Ketika seorang diplomat AS menyindir demokrasi di Uni Sovyet, dengan mengatakan rakyat AS bebas memaki-maki presiden mereka, Kruschev dengan santai mengatakan, “Rakyat Sovyet juga bebas memaki-maki Presiden AS!” Bayangkan, hanya dengan sepenggal “lelucon” ia berhasil membikin keok lawan.
Pekan ini seorang pemimpin yang sentimentil, perasa, sensitif, dan rada cengeng, curhat bagaimana hatinya “tertusuk” atas kritikan kepala negara lain yang menyebutkan bahwa jarak dari bandara ke pusat kota Jakarta yang tidak jauh memakan waktu dua jam. Ia curhat tentang bagaimana tertusuknya perasaannya, lantas melempar tanggung jawab itu kepada para gubernur dan walikota. Seorang gubernur kerempeng membuat “humor” dengan mengatakan tanggung jawab ada pada provinsi dan pemerintah pusat, sebab sejumlah objek masih dikendalikan pemerintah pusat plus “mobil murah”.
Kenapa harus makan hati sendiri, menyiksa diri sendiri, plus hadirin pada sebuah rapat dengan sikap yang kurang “elegan”? Bukankah lebih bagus kalau mengadakan “serangan balik” (serbal) kepada sang diplomat dengan menyebut, “Oh ya, tentu saja, pertumbuhan ekonomi kami nomor dua di Asia, rakyat kami semakin kaya sehingga mampu membeli mobil banyak. Waktu saya ke negeri Anda, jalan lancar karena mobil masih sedikit sekali.”
Pribadi yang bermasalah besar selalu menumbuhkan sifat kering-kerontang, kaku, jaga citra diri, dan sok suci, kerdil, penakut, sensitif, paranoid. Pribadi besar berani membuka dadanya, menantang, siap dikritik dan mengadakan serangan balik secara jitu tanpa harus melukai lawan. Sebab, kalau membikin sakit hati, itu namanya psikopatik. Cukup bergurau agar suasana mencair, leleh. Humor itu bukan dagelan murahan yang tidak lucu seperti di TV itu, melainkan satu olahan intelektualitas yang mengkristal menjadi formulasi yang menimbulkan gelak tawa, minimal senyum-senyum simpul.
“Humor itu serius,” kata biang humor Indonesia, Arwah Setiawan (almarhum). Hanya orang cerdas dan terbuka hatinya yang bisa melontarkan dan menerima humor secara baik dan utuh. Oleh karenanya, humor itu—seperti yang disebutkan tadi—adalah satu pembelajaran yang panjang, peluasan wawasan yang memadai untuk bisa mengapresiasinya. Jelas, lawak berbeda jauh dengan humor. Main kepruk di panggung yang (celakanya) menjadi bahan ketawaan publik, berbeda dengan sindiran diplomatik yang memerlukan referensi memadai.
Maka, hanya pemimpin yang berkepribadian tangguh saja yang dapat menerima “serangan” asing dan melawannya dengan humor lihai, tanpa harus melankolik, melo. Rakyat sebanyak 240 juta menginginkan pemimpin yang tangguh untuk menghadapi serangan lain yang akan lebih besar dan mengharapkan panglima perang yang tidak gampang keok hanya karena serangan perang urat syaraf tingkat rendah. Jangan sampai ada pemimpin negeri besar yang “ngibrit” ke luar kota ketika didemo buruh dan balik menyebut, “Kan sudah ada desentralisasi kenapa demo terus ke depan Istana? Tidak ke gubernur atau walikota?”
Duh Gusti, ampunilah rakyat negeri ini dan terutama pemimpinnya!
0 comments:
Post a Comment