Elit Makin Makmur, Rakyat Tetap Manyun - Kartun Non-O |
DUKUN DAN RAMALAN AKHIR TAHUN
Oleh Ki Jenggung
TIAP bulan Desember di penghujung tahun, Dul Kemat siap-siap menerima order. Pria pengangguran itu punya rezeki tahunan lumayan. Apalagi menjelang tahun 2014, “dagangan” dia laris manis. Dia bisa meraup keuntungan bersih 100% dengan jumlah miliaran. Kok bisa?
Bisa, sebab secara finansial Dul Kemat tidak keluar modal sama sekali. Modalnya soft skill yang luar biasa, yaitu merayu dan mengibul. Bahasanya halus, menekan orang secara tidak kentara, mengancam sopan, membikin orang bingung sekaligus mengumbar janji, pujian, dan penggiringan emosi.
Tahun 2014 adalah tahun hiruk-pikuk politik. Banyak harapan ekonomis ditawarkan sekaligus kegilaan psikologis. Orang ramai mendaftarkan diri menjadi anggota legislatif tanpa latar belakang politik memadai, apalagi berkomitmen terhadap bangsa dan negara. Ini cuma masalah bisnis semata: berapa modal yang dikeluarkan, lantas berapa yang mampu dia embat dari proyek-proyek negara. Maka, orang pun kesetanan mencari cara apa pun agar bisa jadi anggota DPR. Nah, di sinilah Dul Kemat memainkan perannya.
Lewat calo-calo yang disebar, dia mempromosikan kehebatannya. Disebutkanlah nama-nama tokoh yang sedang ngetop agar calon klien percaya. Dul Kemat tidak boleh dibayar. Dosa. Dia hanya perlu “mas kawin” yang nilainya malah sampai ratusan juta, bahkan miliaran.
Di kampung pecinan, si Acong sudah bersiap-siap jadi kwamia musiman. Perlengkapan kerjanya yang sudah hampir setahun disimpan di lemari dikeluarkan: seperangkat kartu cina, kain warna merah, dan seekor burung gelatik yang dibelinya dua minggu lalu. Meski masih dua bulan lagi, suasana Imlek sudah terasa terutama di kalangan pengusaha. Gimana nasib shio saya tahun depan? Apa ciong yang harus dihindari? Kapan kepala naga menoleh, dan sebagainya.
Si Acong pura-pura jadi manula suci, padahal setiap malam dia suka kongko di warung kopi, atau kopi thiam dan sesekali melirik pelayan. Yang dilirik langsung tanggap, lalu diam-diam menuang ciu ke cangkir si Acong. Keahlian Acong adalah membaca wajah orang. Bukan untuk mengira-ngira sifat-wataknya, melainkan mengira-ngira isi kantongnya. Sama seperti Dul Kemat, dia dilarang menentukan tarif, sebab dilarang oleh tepekong. Dia cuma bilang tamunya punya masalah batin yang harus dibersihkan. Si klien jangan coba-coba menuruti, sebab persyaratannya berat, yaitu mendatangkan bunga teratai dari Sichuan, akar wangi dari Tibet, kerak naga dari Nanjing. Si klien pasti pusing. Supaya lancar, Acong menawarkan solusi yaitu membelikan bahan-bahan itu untuk didoakan di bongpay (makam) di Singkawang, Bagansiapi-api, atau Bangka-Belitung. Dia bicara begitu agar si klien pusing dan akhirnya mengalah untuk menyerahkan biayanya yang sampai ratusan juta rupiah. Si Acong pura-pura acuh tak acuh, tapi hatinya terasa bakal meloncat dari dada bengeknya.
Dul Semprul biasanya berambut gondrong. Menjelang akhir tahun dia langsung mencukur habis rambutnya. Gundul. Dia mengaku baru turun bertapa dari Gunung Lawu. Dia sangat beruntung, sebab kliennya malah dari anggota legislatif yang masih menjabat. Mereka minta pencalonannya kembali mulus, dan jadi lagi. Ini sasaran empuk, sebab Dul Semprul tahu mereka ini sudah mengumpulkan harta. “Mas kawin”-nya lebih tinggi lagi.
Selain itu, Dul Semprul bakal kedatangan tamu yang minta selamat karena sedang diincar KPK. Biayanya jelas lebih tinggi, sebab orang ketakutan gampang membuka dompet lebar-lebar asal selamat. Pesanan lainnya tak kalah rumit, yaitu bagaimana selamat dari dampratan istri pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Dan, jangan sampai para pacar dan istri simpanannya tenang, jangan sampai klien ini berbuat yang tidak-tidak sebab jenis yang terakhir ini sering berasal dari dunia malam yang keras, sehingga ancamannya bisa mematikan. Jangan sampai terjadi kekerasan yang membawanya ke polisi, sebab di sana nanti terungkap semua dosanya. Bayangkan, yang menjenguk akan saling tidak mengenal walaupun punya bapak atau suami yang sama. Keterlaluan!
Ada lagi pria yang datang dengan mata sembab dan wajah biru-biru seperti bekas hantaman benda keras. Di dahinya ada bekas peninggalan tongkat perata adonan roti. Pipinya ada barutan bekas cakaran seperti kuku kucing liar. Dia bercerita mengenai nasib buruknya selama ini, dipaksa-paksa untuk jadi pejabat supaya istrinya yang datang dari keluarga terhormat tidak terhempaskan harga dirinya karena mendapat suami melarat dan diam-diam nakal juga. Dia menangis di depan dukun dadakan itu. “Empuk,” kata si dukun dalam hati.
Selesai memberi ketenangan dan mengutip kata-kata bijak persis para motivator itu, sang dukun memberi si pria bungkusan kain hitam supaya disimpan di sakunya. Jangan dilangkahi, sebab akan membikin kondor pelakunya. Jangan dipakai masuk ke WC, dan harus diberi minyak misik, yuparon, itfir salma, dsb.
Si pria pamit dan menyerahkan “biaya administrasi konsultasi" pada sekretaris sang dukun. Si sekretaris bilang ke sang dukun, uang dari klien dikurangi untuk biaya pengamanan. Sudah itu ada cukong tanggung mendekat minta bagian, sebab dia yang jadi sponsor. Lepas dari orang satu ini, ada empat lima orang kekar minta bagian sebagai tim inti.
Itung-itung, si dukun cuma mendapat sisa yang hanya cukup untuk membeli rokok kretek sebungkus. “Diamput!” teriaknya. Inilah risiko profesi, baik sebagai pengacara, anggota DPR, pejabat eksekutif, calo atau dukun sekalipun. Dunia kita memang diwarnai tipu-menipu, baik dalam skala besar sekali atau gurem sekalipun. Persis penyakit “gila tahunan”. Gila!
0 comments:
Post a Comment