Emha Ainun Nadjib |
Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Guru saya
di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah
terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang sedang menjadi
Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang atau sesuatu pun yang
pernah mengajari saya lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di
antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin mengajar saya
adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru kepada mereka dengan
penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten untuk marah kepada saya.
Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau dimarahi oleh
Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?
Mungkin bisa
saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya ceritakan semua.
Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam, dikritik,
dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami, bahkan seringkali juga
difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang baik, semua itu
senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya
masuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren hanya karena
ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan pesantren, masuk ke
Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu seorang Kyai dan membantu
pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya
diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah sekolah. Tentulah saya
dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena lantas saya coba-coba menjadi
penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi penyair? Apa tidak baca surat
As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik
lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya tidak berirama seperti
orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai sekarang. Saya dianggap sinting
dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun
berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk dengan sastra dan tidak
memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu mengabdikan sastra kamu kepada
dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya mengawinkan sastra saya dengan
dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-main dengan Islam!
Jangan campur adukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan sastra!”.
Tema kemarahan itu
berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu harus
memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa membutakan mata
terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan ummat dan lain
sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas
kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi semacam bank. Memandu
keperluan tolong menolong antara satu dengan lain orang. Menjadi tabib darurat.
Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda protes. Pokoknya memasuki segala
macam konteks di mana idealisme nilai kemanusiaan dalam sastra dan idealisme
nilai akidah dalam Islam bisa saya terapkan.
(Dokumentasi Progress)
Saya mendapat teguran
lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang ngurus sendiri-sendiri.
Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di
sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak bertanggungjawab!”. Dan
ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP, saya diperingatkan: “Kamu
kehilangan independensi!”.
Tatkala saya acuh
terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu memerlukan organisasi!
Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di pengurus pusat ICMI, saya
ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota pasukan berada dalam barisan!”.
Dan akhirnya tatkala karena suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI,
saya dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan anggota pasukan!”.
Ketika saya
mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan: “Kenapa kamu
tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak ilmuwan barat?”. Dan
sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra, politik, sepakbola,
tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan Hadits, saya
dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan seenaknya
mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis
tentang sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya dijewer: “Kenapa kamu
tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya mengusahakan segala sesuatu
yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok: “Islam tidak mengajarkan mbalelo,
Islam menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal
honor, saya disindir: “Kamu tidak rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor
saya ditonjok: “Kamu komersial!”.
Ketika saya cuek kepada
uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabuu! Makan dan minumlah”. Ketika
saya sesekali berpikir mencari rejeki, saya ditonyo: “Kamu
menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi.
Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu saya sungguh-sungguh tidak
paham: “Sungguh hebat perjuanganmu…. Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa
rupiah untuk mendapatkannya….kau tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun!
Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong ngunu!”. *****
0 comments:
Post a Comment