Darminto M Sudarmo |
Oleh Darminto M Sudarmo
Dimuat di Tabloid TOMATOES edisi 21 - Maret 2014.
Dimuat di Tabloid TOMATOES edisi 21 - Maret 2014.
Mitologi
Yunani dengan santai membagi dunia ini menjadi dua bagian saja. Pertama,
komedi; kedua, tragedi. Orang-orang di bumi dipersilakan memilih bagian mana
yang disuka. Ada yang memilih jalan komedi dan ada yang memilih jalan tragedi.
Di tangan manusia, ternyata komedi masih dibagi dua; yaitu
komedi yang menyenangkan dan komedi yang memilukan. Tidak cukup sampai di sini,
manusia yang terus belajar akhirnya semakin merasa pintar, mereka tak mau kalau
tradisi bagi-membagi itu cukup sampai di situ. Komedi yang menyenangkan dibagi
lagi menjadi dua bagian: komedi yang menyenangkan bermutu dan tidak bermutu. Begitu
pula dengan komedi yang memilukan. Juga dibagi dua. Di ranah tragedi juga begitu.
Tragedi personal dan tragedi komunal.
Keduanya juga dibagi dua lagi. Tragedi personal/komunal elit dan rakyat jelata. Demikian terus,
menganak-cabang dan ranting sesuai urutan derivasinya. Semua dibagi dua.
Semua dibagi dua? Iya. Karena itu maunya manusia. Fakta itu
juga bisa dilihat di Indonesia. Lihatlah
kuis-kuis bikinan Helmy Yahya di TV, pilihan jawabannya cuma dua: betul apa
salah. Salah apa betul. Lihat penyelenggaraan Ujian Nasional, para peserta akan
melihat hasil akhirnya: lulus atau tidak lulus. Tidak ada istilah agak lulus
atau agak tidak lulus.
Pemilukada, pada akhirnya juga menempatkan calon
gubernur/bupati/walikota: berhasil atau gagal. Caleg-capres sama jugak sami mawon. Jadi legislatif atau
presiden beneran atau tidak sama sekali. Bahkan Gunung Sinabung, Gunung Kelud,
tak mau kalah: mengeluarkan lahar panas dan lahar dingin. Tidak ada lahar
hangat-hangat tai ayam.
Uniknya, manusia yang hidup di zaman full IT dan high tech
seperti sekarang nyatanya juga masih tersandera mitos dari Yunani itu.
Terpidana kasus korupsi Ahmad Fathanah suka membagi hasil korupsinya, bukan
saja kepada sesama kaum lelaki, tapi juga ke kaum perempuan. Membagi ke pria
dan wanita. Tak terkecuali dengan tersangka kasus korupsi Tubagus Chaeri
Wardana (Wawan). Tidak hanya membangi ke para pria, namun juga ke para wanita.
Belum pernah ada berita mereka membagi ke para wanita yang kepria-priaan atau
pria yang kewanita-wanitaan.
Saat Anda berada di coffee
shop sebuah hotel dan kebelet
pipis, Anda bergegas menuju suatu tempat yang bernama Rest Room (bukan toilet atau WC Umum). Di sana Anda juga akan
menjumpai dua pilihan saja: Gents dan
Ladies. Kalau pengetahuan bahasa
Inggris Anda sangat tertib, maka Anda akan sangat marah karena anak-anak Anda
tak dapat masuk ke salah satu dari dua pilihan itu.
Kegeraman Indonesia saat ditegur Singapura karena memberi
nama Kapal Republik Indonesia (KRI) Usman-Harun
– yang oleh Singapura dicap sebagai teroris – jangan-jangan bukan karena alasan
ideologis, tetapi bisa juga karena penulisan Usman-Harun itu tidak mematuhi
asas hukum alfabetis. Besar kemungkinan jika penulisannya Harun-Usman, tidak membuat negeri singa-ikan itu kebakaran jenggot.
Mengapa Jokowi Disadap
Ketegangan menjelang pileg dan pilpres 2014, makin meninggi
ketika media juga memberitakan dua hal yang yang tak pernah terpikir oleh
masyarakat Indonesia; rumah dinas Jokowi dan kediaman (termasuk mobil) Megawati
disadap. Siapa pelakunya? Semua berspekulasi, kalau tidak Negara ya parpol
rival. Mengapa begitu? Karena Negara dan parpol rival pingin tahu, betulkah
Jokowi hidup sederhana dan tidak royal, maka ruang makannya disadap. Betulkah kehidupan
rumah tangga Jokowi harmonis? Maka kamar tidurnya disadap. Begitu juga dengan
tempat-tempat lain, termasuk di kantor Jokowi, yang tak lupa dipasang alat
penyadap. Motif lainnya bisa juga karena mereka tak mau keluar ongkos untuk
bayar konsultan politik, mereka ingin mengintip trik dan tips gratis dari
Jokowi bagaimana cara me-manage diri
supaya saat disurvey mendapatkan perform elektabilitas yang oke banget.
Akan halnya kediaman dan mobil Megawati yang kena sadap, ya
itu juga karena alasan yang pasti katro
abis. Gara-garanya, seorang astrologist (peramal berdasarkan
perhitungan astrologi) membuat proyeksi peruntungan Mega pada tahun 2014 ini
lewat pengaruh bioritme perjalanan bintang-bintang dan tatasurya, ternyata
posisi Mega sangat strategis dan mendapatkan banyak keajaiban. Nah, di situlah pihak-pihak
yang merasa penasaran lalu memasang alat penyadap khusus buat memantau progress
Mega. Targetnya? Kalau ocehan peramal itu tidak terbukti, maka baik Negara atau
parpol rival akan gampang saja melakukan “pukulan” ampuh supaya posisi Mega
makin rapuh; kalau perlu jadi total lumpuh. Sehingga yang lain bisa melenggang
dengan tenang di Pemilu 2014 ini.
RUU KUHAP dan KUHP terbaru yang diusulkan Pemerintah ke DPR
di dalamnya mengandung muatan yang sarat akan penggembosan pada kewenangan KPK.
Masyarakat dan berbagai pihak (termasuk KPK sendiri) langsung bereaksi meminta
agar RUU itu ditunda. Hemat saya, masyarakat yang peduli pada pemberantasan
korupsi di negeri ini tidak perlu risau-risau amat. Faktanya, KPK bukan bola
karet, bukan ban mobil, bukan kasur angin, atau benda lain semacamnya. Jadi,
mustahil ia bisa digembosi!
Semua runutan kejadian atau perkara di atas bermuara pada
target akhir: to be or not to be. Di
zaman perjuangan sebelum kemerdekaan, para pejuang meneriakkan slogan: Merdeka
atau Mati. Di masa lalu kedaulatan politik negeri ini bertumpu pada sikap
politik: Bebas-Aktif. Bebas menentukan sikap, namun tetap aktif menjaga
perdamaian dunia. Di masa kini, slogannya keren, tapi utopis banget: Million friends zero enemy (sejuta kawan
tanpa musuh). Akibatnya, beberapa Negara Asean (Malaysia, Singapura) tak
ketinggalan Australia, tergoda untuk menguji dan mengambil keuntungan issue dari Indonesia. Emang enaaakkk?
Niatnya sih, mau berbagi “kebanggaan” dan eksistensi. Karena
memang demikianlah habit dari sosok atau pribadi yang selalu berkeyakinan bahwa
hidup itu adalah wacana dan pencitraan. Tetapi, negeri-negeri tetangga yang
logis, praktis, bahkan pragmatis, seperti melihat peluang dalam kelengahan
pihak lain. Maka mereka langsung menyongsongnya dengan lahap.
Membagi atau berbagi ternyata tidak lagi seasyik yang terjadi
di zaman baheula dulu. Kini, berbagi dalam situasi yang disebut sebagai
serangan fajar dalam pemilukada atau pemilu nasional, ternyata sarat bermuatan
pamrih dan interest. Fakta yang anomalistik itu diabadikan oleh seorang penyair
kondang Chaerul Anwari yang menulis dalam sajak pendek: Sekali berbagi, sudah
itu mati!
Darminto M Sudarmo, Satiris,
penulis buku “Republik Badut”
0 comments:
Post a Comment