Prie GS |
Saat itu, di ruang transit sebuah televisi di Jakarta, saya bertemu seorang politikus, yang juga sahabat Jokowi, juga sedang merasakan sensasi serupa. Setengah tak percaya, setengah kagum, setengah geli. Itupun dalam konteks saat Jokowi baru hendak maju sebagai calon Gubernur DKI. Politikus ini secara formal pendukung Jokowi, tetapi secara naluriah sulit membayangkan bahwa gubernur DKI kelak adalah Jokowi. Jadi untuk kursi
gubernur saja, tak dibayangkan, apalagi untuk jabatan presiden. Sang politikus itu rasanya juga tak sendiri, karena kami dan sejumlah rekan di ruangan itu, seperti sedang mengimajinasikan soal
yang sama.
Tetapi apa yang terjadi? Gubernur DKI itu akhirnya adalah seorang Jokowi. Imajinasi kami, saya terutama, keliru. Sekali lagi ini juga bukan kekeliruan politis. Ini kekeliruan instinktif. Seperti ketika saya masuk rumah makan ayam goreng tekenal, tetapi setelah di dalam, baru sadar bahwa rumah makan ini juga menyediakan gado-gado. Saya iseng mencobanya dan apa yang terjadi? Enak sekali. Kini jika ingin gado-gado, ke rumah makan khusus ayam goreng inilah saya menuju. Itulah yang saya sebut kaget instinktif.
Rasa kaget itu saya kira juga melanda Fauzi Bowo, Foke, saat harus kalah oleh Jokowi. Untuk ini saya malah butuh mengujinya sendiri. Pasca pilgub DKI itu saya mendatangi rumahnya. Bersama serombongan kru Prie GS Show, acara saya di sebuah televisi kabel, saya wawancarai Foke dari hati ke hati. Tidak terlalu terbuka, tetapi terasa, betapa hasil akhir itu mengejutkan.
Tapi inilah hebatnya, menurut saya indikasi kaget itu bukan cuma milik Foke dan kami, tetapi juga Jokowi sendiri. Untuk duduk sebagai Gubernur DKI saja ia pasti tak membayangkan apalagi sebagai Presiden NKRI. Itulah kenapa ungkapan copras-capres yang terkenal itu, ia lontarkan sebagi bagian dari ketidakterdugaan yang bahkan bisa muncul dari dirinya sendiri. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Jokowi telah digariskan menjadi bagian dari sejarah besar negeri ini. Ia yang tak disangka-sangka itu kini ada di puncak sana. Inilah yang mendebarkan: rasa kaget itu, agar berubah benar-benar menjadi kegembiraan, harus bermuatan azas kesepadanan. Karena lihatlah sederetan tugas kebangsaan itu: bahkan belum pula dilantik, pemerintahan baru sudah harus memecahkan dilema BBM yang kusut itu. Seluruh kekusutan ini membutuhkan kepemimpinan, yang tak peduli kedatangannya mengagetkan, tetapi hasil akhirnya sepadan. Ini harapan.
0 comments:
Post a Comment