<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Mengapa Terjadi Kemerosotan Lawak di Indonesia?

Mengapa Terjadi Kemerosotan Lawak di Indonesia?


Oleh Odios Arminto

Tak mudah menjawab pertanyaan di atas. Yang dapat dilakukan hanya adanya rasa kesal dan gemas karena kemerosotan yang ada begitu signifikan dan tak terbantahkan. Bagi anda yang pernah menjadi saksi bagaimana dunia lawak di tahun akhir 1970-an hingga 1990-an, dapat merasakan betul perbedaan yang ada.

Antara akhir tahun 1970-an hingga ujung tahun 1985-an, di Jakarta, di bawah bendera Lembaga Humor Indonesia (LHI) pimpinan Arwah Setiawan, dunia lawak (bahkan event seni humor secara umum) begitu bergairah dan tumbuh subur. Berbagai festival lawak dan seni humor (termasuk lomba kartun, musik, tari, pidato dan lain-lain) begitu membahana dan menyedot perhatian masyarakat secara nasional. Dari lomba musik humor itulah, salah satunya, LHI menjadi “ibu momentum” lahirnya musikus kelas legenda, Iwan Fals.
Antara 1985 hingga 1988-an, di Semarang, Jawa Tengah, di bawah bendera Pertamor (Perhimpunan Pencinta Humor) pimpinan Jaya Suprana, kegiatan seperti Seminar Humor, Lomba Merayu, Lomba Siul, Lomba Tertawa, bahkan Festival dan Lomba Kartun Internasional (Candalaga Mancanegara) terjadi secara susul-menyusul tanpa henti. Khusus tentang lomba kartun internasional (1987/1988 – pertama kali di tingkat Asia Tenggara), yang semula diperkirakan diikuti delapan atau sembilan Negara, ternyata di luar dugaan yang terjadi justru diikuti oleh 29 negara, termasuk Indonesia. Dengan jumlah karya partisipan yang masuk lebih dari 11 ribu kartun. Sebuah potensi yang menggembirakan.

Kembali ke kemerosotan seni lawak Indonesia dalam tiga dekade ini, tercatat pertunjukan lawak serius dan kolosal, terakhir dijumpai pada tahun 1989: Kolaborasi antara Teater Koma dan Bagito Gorup. Pergelaran hampir lima jam itu dilakukan di Gelora Senayan (sekarang: Gelora Bung Karno). Seluruh tempat duduk penuh. Seluruh penonton menyimak seluruh pertunjukan dengan suka cita hingga menit terakhir.

Festival lawak versi LHI, yang sangat layak dicatat adalah bertemunya grup-grup lawak kelas bangkotan yang memuat gagasan-gagasan bergizi, tampilan genuine, dan kelucuan maksimal. Salah satu grup lawak peserta yang membuat beberapa grup lawak di Jakarta “gemetaran” berasal dari Jawa Timur. Namanya Kuartet S dari Malang. Festival lawak bergengsi ini dalam catatan saya bukan lagi sekadar entertain, tetapi sudah masuk ke kelas seni. Seni lawak yang digarap serius. Seluruh instrument yang ada. Dari konsep hingga pelaksanaannya. Salah satu lakon yang juga layak dicatat berjudul: Ratu Jadi Petruk. Bayangkan, dalam situasi yang sedang dibayangi represi rezim Orde Baru, sebuah grup lawak mampu menyuguhkan tontonan lawak yang bertabur satire namun tetap kocak menghentak dan bisa lolos dari sensor penguasa.

LHI, kini sudah tinggal nama (Arwah Setiawan meninggal 1995). Pertamor mungkin masih ada tapi praktis tidak terdengar lagi kegiatan humor-humornya dalam beberapa dekade ini. Pada tahun 1985 – 1990-an sebenarnya ada juga payung organisasi lawak yang menamakan diri Paguyuban Lawak Indonesia (PLI) di bawah pimpinan Eddy Sud. Aktivitas PLI cukup banyak menyelenggaralan event lawak. Ada yang off air, namun sebagian besar terkait dengan program acara di TVRI (hanya satu, siaran nasional). Setelah acara Anekaria TVR tidak tayang lagi, tampaknya PLI juga ikut surut dari percaturan publik. Di tahun 2000-an ke atas (maaf saya lupa persisnya), berdirilah organisasi lawak resmi dan merupakan representasi dari profesi lawak beserta seluruh derivatnya (termasuk produser, tim kreatif, penulis lelucon, pemusik, set developers, kameraman, sutradara lawak dst. dst.) yang sepakat membentuk PaSKI (Persatuan Seniman Komedi Indonesia). Nama-nama pengurus awal di antaranya Indro Warkop dan Miing Bagito.

Kini, konon PaSKI telah melakukan pergantian pengurus baru sesuai instruksi AD-ART organisasi. Saya tak memantau banyak aktivitas organisasi ini. Sebagai orang luar, saya hanya mengandalkan radar perhatian lewat pemberitaan media dan issue yang muncul ke permukaan. Kira-kira bila digambarkan dalam sebuah doa, akan berbunyi, “Engkau sepi, aku sepi. Engkau ramai, aku ramai.”

Dan saya berharap, kalau betul PaSKI memang masih eksis, saya kok rindu keramaian kelas akbar dan nasional itu agar momentum yang telah dirintis para “pejuang” seni humor di masa lalu, bisa dibangkitkan lagi. Bisa dihidupkan lagi. Sehingga tontonan lawak pilihan yang bisa dinikmati masyarakat dapat lebih mencerdaskan dan mencerahkan. Tidak semata-mata tergantung pada yang ada di TV.

We miss you PaSKI!” doa saya penuh harap. Semoga anggapan adanya kemerosotan lawak di Indonesia,  tidak benar, sama sekali.
 

Mengapa Terjadi Kemerosotan Lawak di Indonesia?

OPINI | 29 October 2014 | 02:02 Dibaca: 46   Komentar: 0   1
Oleh Odios Arminto
Tak mudah menjawab pertanyaan di atas. Yang dapat dilakukan hanya adanya rasa kesal dan gemas karena kemerosotan yang ada begitu signifikan dan tak terbantahkan. Bagi anda yang pernah menjadi saksi bagaimana dunia lawak di tahun akhir 1970-an hingga 1990-an, dapat merasakan betul perbedaan yang ada.
Antara akhir tahun 1970-an hingga ujung tahun 1985-an, di Jakarta, di bawah bendera Lembaga Humor Indonesia (LHI) pimpinan Arwah Setiawan, dunia lawak (bahkan event seni humor secara umum) begitu bergairah dan tumbuh subur. Berbagai festival lawak dan seni humor (termasuk lomba kartun, musik, tari, pidato dan lain-lain) begitu membahana dan menyedot perhatian masyarakat secara nasional. Dari lomba musik humor itulah, salah satunya, LHI menjadi “ibu momentum” lahirnya musikus kelas legenda, Iwan Fals.
Antara 1985 hingga 1988-an, di Semarang, Jawa Tengah, di bawah bendera Pertamor (Perhimpunan Pencinta Humor) pimpinan Jaya Suprana, kegiatan seperti Seminar Humor, Lomba Merayu, Lomba Siul, Lomba Tertawa, bahkan Festival dan Lomba Kartun Internasional (Candalaga Mancanegara) terjadi secara susul-menyusul tanpa henti. Khusus tentang lomba kartun internasional (1987/1988 – pertama kali di tingkat Asia Tenggara), yang semula diperkirakan diikuti delapan atau sembilan Negara, ternyata di luar dugaan yang terjadi justru diikuti oleh 29 negara, termasuk Indonesia. Dengan jumlah karya partisipan yang masuk lebih dari 11 ribu kartun. Sebuah potensi yang menggembirakan.
Kembali ke kemerosotan seni lawak Indonesia dalam tiga dekade ini, tercatat pertunjukan lawak serius dan kolosal, terakhir dijumpai pada tahun 1989: Kolaborasi antara Teater Koma dan Bagito Gorup. Pergelaran hampir lima jam itu dilakukan di Gelora Senayan (sekarang: Gelora Bung Karno). Seluruh tempat duduk penuh. Seluruh penonton menyimak seluruh pertunjukan dengan suka cita hingga menit terakhir.
Festival lawak versi LHI, yang sangat layak dicatat adalah bertemunya grup-grup lawak kelas bangkotan yang memuat gagasan-gagasan bergizi, tampilan genuine, dan kelucuan maksimal. Salah satu grup lawak peserta yang membuat beberapa grup lawak di Jakarta “gemetaran” berasal dari Jawa Timur. Namanya Kuartet S dari Malang. Festival lawak bergengsi ini dalam catatan saya bukan lagi sekadar entertain, tetapi sudah masuk ke kelas seni. Seni lawak yang digarap serius. Seluruh instrument yang ada. Dari konsep hingga pelaksanaannya. Salah satu lakon yang juga layak dicatat berjudul: Ratu Jadi Petruk. Bayangkan, dalam situasi yang sedang dibayangi represi rezim Orde Baru, sebuah grup lawak mampu menyuguhkan tontonan lawak yang bertabur satire namun tetap kocak menghentak dan bisa lolos dari sensor penguasa.
LHI, kini sudah tinggal nama (Arwah Setiawan meninggal 1995). Pertamor mungkin masih ada tapi praktis tidak terdengar lagi kegiatan humor-humornya dalam beberapa dekade ini. Pada tahun 1985 – 1990-an sebenarnya ada juga payung organisasi lawak yang menamakan diri Paguyuban Lawak Indonesia (PLI) di bawah pimpinan Eddy Sud. Aktivitas PLI cukup banyak menyelenggaralan event lawak. Ada yang off air, namun sebagian besar terkait dengan program acara di TVRI (hanya satu, siaran nasional). Setelah acara Anekaria TVR tidak tayang lagi, tampaknya PLI juga ikut surut dari percaturan publik. Di tahun 2000-an ke atas (maaf saya lupa persisnya), berdirilah organisasi lawak resmi dan merupakan representasi dari profesi lawak beserta seluruh derivatnya (termasuk produser, tim kreatif, penulis lelucon, pemusik, set developers, kameraman, sutradara lawak dst. dst.) yang sepakat membentuk PaSKI (Persatuan Seniman Komedi Indonesia). Nama-nama pengurus awal di antaranya Indro Warkop dan Miing Bagito.
Kini, konon PaSKI telah melakukan pergantian pengurus baru sesuai instruksi AD-ART organisasi. Saya tak memantau banyak aktivitas organisasi ini. Sebagai orang luar, saya hanya mengandalkan radar perhatian lewat pemberitaan media dan issue yang muncul ke permukaan. Kira-kira bila digambarkan dalam sebuah doa, akan berbunyi, “Engkau sepi, aku sepi. Engkau ramai, aku ramai.”
Dan saya berharap, kalau betul PaSKI memang masih eksis, saya kok rindu keramaian kelas akbar dan nasional itu agar momentum yang telah dirintis para “pejuang” seni humor di masa lalu, bisa dibangkitkan lagi. Bisa dihidupkan lagi. Sehingga tontonan lawak pilihan yang bisa dinikmati masyarakat dapat lebih mencerdaskan dan mencerahkan. Tidak semata-mata tergantung pada yang ada di TV.
We miss you PaSKI!” doa saya penuh harap. Semoga anggapan adanya kemerosotan lawak di Indonesia,  tidak benar, sama sekali.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger