Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
Memahami Humor dan Berpikir Kritis
Danny Septriadi |
Artikel ini saya dedikasikan untuk
Pak Nararya karena saya belajar banyak dari tulisan-tulisannya dan terus terang
saya ingin sekali berguru. Artikel ini berupa resensi buku-buku mengenai
filsafat yang saya miliki yang berkaitan dengan humor salah satu ilmu
pengetahuan yang saya coba tekuni dengan serius dalam waktu dekat.
Saya akan menulis lagi
artikel-artikel selanjutnya yang berkaitan dengan Humor yang akan saya
dedikasikan juga kepada Kompasianer-kompasianer yang telah menginspirasi saya
dari silent reader menjadi berinisiatif untuk registrasi, memberanikan diri
untuk pertama kali menulis, dan memberanikan diri pertama kali untuk melakukan
in-box.
Buku You’ve Got To Be
Kidding!- How Jokes Can Help You Think yang dipublikasi oleh penerbit
ternama Wiley-Blackwell pada tahun 2009 oleh John Capps dan Donald Capps
terbagi atas 5 bab: Why Thinking critically is important, Fallacies of
Relevance, Fallacies of Evidence, Fallacies of Assumption, Critical Thinking
and Objective Truth. Di kata pengantar penulis buku tersebut mengutip
pernyataan dari John Morreal: “Humor today goes hand in hand with our
rationality, and not just rationality in the sense of cognitive sophistication,
but also in the sense of a rational attitude toward the world. Part of this
attitude is viewing things critically, and people with a well-developed sense
of humor naturally look at things critically, because they are looking for
incongruity.”
Buku ini termasuk menarik karena
membahas mengenai cara berpikir kritis dengan menggunakan jokes-jokes sebagai
contoh. Buku ini tidak hanya memberi contoh-contoh yang lucu agar materi dalam
buku ini lebih mudah dipahami, akan tetapi menekankan bahwa seseorang yang
mempunyai sense of humor yang baik, cenderung lebih kritis dalam
berpikir.
Seorang wanita tidak pernah
mengunjungi keluarganya yang berada di luar negeri karena ketakutan akan adanya
bom di dalam pesawat terbang. Keluarganya sudah berusaha meyakinkan wanita
tersebut bahwa risikonya sangat kecil sehingga menyarankan untuk konsultasi ke
aktuaris. Wanita tersebut kemudian bertanya kepada aktuaris: “Berapa
kemungkinan ada sebuah bom di pesawat terbang?” Aktuaris tersebut berkata: “
Sangat Kecil!” Sekitar 1 diantara 10.000 kemungkinan. Wanita tersebut kemudian
berkata lagi:“ Bagaimana kemungkinan ada dua buah bom di pesawat terbang?”
Aktuaris itu kembali menjawab: “Lebih kecil lagi!” Bisa sekitar 1 diantara
100.000.000 kemungkinan”. Wanita tersebut tersenyum senang dan merencanakan
untuk mengunjungi keluarganya yang berada di luar negeri menggunakan pesawat
terbang dengan membawa sebuah bom.
Contoh tersebut menunjukkan cara
berpikir yang salah.
Buku Humorology yang
dipublikasikan oleh Media Elex Computindo pada tahun 2013 oleh Jaya Suprana
membahas bahwa salah satu manfaat Humor adalah meningkatkan kesadaran dan
mempertajam daya kritis terhadap daya pikir manusia yang terbatas.
Seorang Hakim sedang asyik memeriksa
seberkas arsip pengadilan sambil tertawa terpingkal-pingkal. “Ha-ha-ha” Seorang
jaksa merasa heran, lalu bertanya: “Sedang apa kamu? ”Sang hakim sambil
terkekeh-kekeh menjawab:” sedang membaca lelucon politik! Lucu, ya? Ha-ha-ha.
Lucu sekali! Ha-ha-ha!” “Jaksa menyahut:” cerita dong! Supaya aku bisa ikut
tertawa!” Mendadak sang hakim berhenti tertawa: “ jangan! Barusan saja aku
menjatuhkan hukuman penjara bagi pencipta dan pengedar humor politik itu!”
Buku Alasanologi yang
dipublikasikan oleh Media Elex Computindo pada tahun 2013 oleh Jaya Suprana
ditekankan adalah bukan merupakan suatu ilmu atau ketrampilan untuk membuat
alasan.
Buku tersebut juga membahas salah
satu definisi alasan dalam ranah semantika logika adalah: proses penyampaian
kesimpulan dari data. Alasan terdiri atas bukti [data],
tuntutan[kesimpulan], dan pemikiran yang membenarkan gerakan dari data menuju
kesimpulan. Di bidang hukum, definisi alasan dalam jalur semantika logika
memang jelas terasa sebab suatu proses hukum selalu melibatkan bukti (data) dan
tuntutan(yang ditarik dari kesimpulan) dan akhirnya menghadirkan vonis
(pemikiran) yang berusaha membenarkan gerakan dari bukti menuju tuntutan.
Selain dalam ranah logika, buku ini
juga membahas alasan dari ranah filsafat. Dalam ilmu barat, mereka cenderung
menggunakan kata reason. Menurut ilmu filsafat (Barat), kata reason
bermakna kemampuan manusia untuk memaknai benda-benda dan membakukan fakta,
mengubah atau memantapkan sikap, perilaku, dan keyakinan (the capacity of
human beings to have make sense of things, to establish and verify facts, and
to change or justify practices, institutions and beliefs).
Buku I Think, Therefore I
Laugh [The Flip Side of Philosophy] yang dipublikasikan
oleh penerbit Columbia University Press pada tahun 2000 oleh John Allen Paulos.
Buku ini saya tidak rekomendasikan bagi yang kurang tertarik dan memahami
matematika. Awalnya saya beli buku ini dengan harapan bahwa siapa tahu dengan
memahami humornya saya bisa menjadi tertarik dan paham matematika. Ternyata
saya salah besar. Akan tetapi ada beberapa humornya yang cukup menarik dari
buku ini. Salah satunya akan saya terjemahkan di bawah ini.
Buku Plato and Platypus Walk
into a Bar-Understanding Philosophy-Through Jokes yang dipublikasikan
oleh A Penguin Book Philosophy pada tahun 2008 oleh Thomas Cathcart dan Daniel
Klein. Buku ini membahas mengenai filsafat dengan menggunakan contoh-contoh
humor untuk mempermudah pemahaman.
Salah satu bab membahas mengenai Epistemology:
The Theory of Knowledge menggunakan referensi Rene Descartes.
Seorang tersangka pembunuhan sedang
dalam persidangan. Terdapat bukti yang kuat bahwa tersangka bersalah, akan
tetapi tidak diketemukan jenazah di korban. Dalam argumentasi penutupnya,
pengacara dari tersangka berupaya untuk menggunakan akal liciknya. “ Ladies
and Gentlemen of the jury”, katanya. “Saya mempunyai suatu kejutan untuk
hadirin semua- dalam satu menit-seseorang yang menurut kalian semua diduga telah
tewas-akan hadir dalam persidangan ini.” Si Pengacara kemudian melihat ke arah
pintu pengadilan. Semua jury terdiam dan semuanya dengan penuh
keingintahuan ikut melihat ke arah pintu pengadilan. Satu menit berlalu. Akan
tetapi, tidak terjadi apa-apa di pintu pengadilan.
Akhirnya, pengacara itu
berkata: “ Sebenarnya saya hanya mengarang cerita saja mengenai orang mati yang
masih bisa berjalan.” Tapi saya melihat anda semua melihat ke arah pintu dengan
penuh harap. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa kalian semua tidak yakin
terhadap kasus ini bahwa telah terjadi pembunuhan, dan saya harus memastikan
bahwa anda harus memutuskan tidak bersalah terhadap tersangka. Jury tidak
mau berdebat panjang lebar, tidak berapa lama mereka mengumumkan bahwa
tersangka dinyatakan “bersalah”. Pengacara sungguh kaget dengan putusan
tersebut sambil berkata:” Bagaimana anda bisa memutuskan tersangka itu
bersalah, padahal anda semua tidak yakin karena dalam proses persidangan
melihat ke arah pintu pengadilan.”
Dengan tenang salah satu jury berkata:”
oh memang benar kami melihat ke arah pintu pengadilan, akan tetapi klien anda
hanya terdiam dan tidak melihat ke arah pintu pengadilan.”
Salam.
Bahagia Bermula dari Pikiran
Tuesday, March 10, 2015
Oleh: M Zaid Wahyudi
Awal Februari lalu, Badan Pusat Statistik meluncurkan Indeks Kebahagiaan Indonesia 2014. Survei itu mengukur tingkat kepuasan hidup warga yang bisa dipakai untuk mengukur kesejahteraan warga. Hasilnya, orang Indonesia lebih puas dengan keharmonisan keluarga, keamanan, kondisi lingkungan, serta hubungan sosial yang mereka miliki. Namun, kepuasan terhadap pendidikan, pendapatan, papan, pekerjaan, dan kesehatan rendah.
Berdasarkan karakteristik demografi dan ekonomi warga, kelompok masyarakat paling bahagia adalah mereka yang tinggal di kota, perempuan, belum menikah, berusia 25-40 tahun, berpendidikan magister atau doktor, dan berpendapatan paling tinggi.
Indeks kebahagiaan juga dibuat secara global untuk menilai kesejahteraan masyarakat dunia. Selama ini, pembangunan ekonomi yang mengurangi kemiskinan dianggap sebagai pemicu utama kebahagiaan masyarakat. Kenyataannya, faktor ekonomi tak selalu menentukan.
Indeks Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report) 2013 yang disusun Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN SDSN) menunjukkan, dari 156 negara yang disurvei, masyarakat paling bahagia adalah warga Skandinavia dan Eropa Barat. Tingkat kebahagiaan warga di negara-negara adidaya ekonomi tak terlalu tinggi.
Selain disusun berdasarkan indeks kebahagiaan tiap negara, survei global itu digabungkan dengan angka harapan hidup sehat, persepsi atas korupsi, pendapatan per kapita, kebebasan berpendapat, dukungan sosial, dan kedermawanan.
Persepsi
Kehadiran indeks kebahagiaan itu menimbulkan pro kontra. Indeks yang diharapkan bisa mengukur mutu manusia lebih utuh dibandingkan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) itu dianggap masih terlalu menekankan aspek ekonomi dalam mengukur kebahagiaan manusia sebagai tujuan pembangunan. Terlebih, kebahagiaan bersifat fluktuatif dan sulit diukur.
”Berbagai riset menunjukkan, kepemilikan materi tak berkait langsung dengan kebahagiaan. Namun, berbagai riset konsisten menunjukkan kelompok mampu lebih bahagia dibanding yang kekurangan,” kata peneliti Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, Kamis (12/2).
Dalam mengukur kebahagiaan, faktor materialistik tak bisa diabaikan. Namun, itu bukan satu-satunya faktor penentu kebahagiaan seseorang.
Kebahagiaan diri ditentukan rujukan yang digunakan. Pemilihan rujukan amat bergantung pada cara kita menilai apa yang ada pada diri dan lingkungan serta apa yang kita miliki. ”Makin kompleks lingkungan tempat tinggal, kian banyak pembanding yang bisa jadi rujukan. Itu membuat seseorang rentan kurang bahagia,” katanya.
Faktor rujukan itu membuat mereka yang tinggal di negara- negara kecil, pulau terpencil, dan daerah tertinggal bisa merasa bahagia. Namun, adanya teknologi khususnya televisi membuat kadar bahagia mereka berkurang karena melimpahnya pasokan referensi kebahagiaan.
Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi yang juga Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia Taufiq Pasiak mengatakan, kebahagiaan terkait rasa hati, bagaimana seseorang melihat ke dalam diri. Adapun kepuasan yang jadi acuan penyusunan indeks kebahagiaan justru mendorong seseorang melihat keluar diri.
Kebahagiaan yang ditakar dengan hal-hal ekonomi tak bertahan lama. Menurut Taufiq, mengutip penelitian Sonja Lyubomirsky dari Universitas California Riverside, Amerika Serikat, kenaikan jabatan hanya memberi kebahagiaan tiga bulan. Setelah itu, rasa tak bahagia akan muncul karena menginginkan jabatan lebih tinggi.
Kemampuan seseorang menilai diri yang jadi kunci rasa bahagia amat dipengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Konsep bahagia berdasarkan kemampuan berpikir itu banyak diajarkan dalam filsafat, agama, dan budaya Timur. Cara pandang itu membuat kebahagiaan lebih bermakna filosofis dan teologis.
Karena itu, kebahagiaan amat terkait kemampuan otak. ”Kebahagiaan ditentukan kemampuan berpikir seseorang, bagaimana dia mempersepsi dan menafsirkan sesuatu,” ucap Taufiq.
Seseorang yang bahagia tecermin dari ketenangan dalam hidupnya, tangguh menghadapi tiap tekanan dan cobaan. Ia juga memiliki kehidupan spiritual baik yang membuatnya mampu bersyukur, sabar, dan ikhlas.
Budaya
Selain referensi dan kemampuan melihat diri, faktor budaya menentukan kebahagiaan seseorang. Sebagian kultur menekankan kepemilikan materi sebagai ukuran kebahagiaan. Namun, ada pula budaya yang mengajarkan untuk menerima apa adanya, menjadikan diri sendiri sebagai referensinya.
Dalam konteks berbangsa, Rahmat menilai, pandangan budaya yang menerima apa adanya tak mendukung usaha menjadikan bangsa kompetitif, berorientasi prestasi, dan tak pernah puas atas apa yang dicapai. Namun, konsep itu berisiko meningkatkan depresi warganya.
Karena itu, keseimbangan jadi kunci hidup bahagia. Mengejar materi berlebih tak salah asal diimbangi kehidupan sosial dan keluarga. ”Kebahagiaan hakiki adalah saat seseorang merasa diterima atau memberi manfaat bagi orang lain,” ujar Taufiq.
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Februari 2015
Subscribe to:
Posts (Atom)