Kartun Sibarani |
Oleh Indra Tranggono
Ada garong konvensional, ada garong
inkonvensional.
Garong konvensional yang ada di
tingkat hilir dimaknai perampok, kawanan pencuri/penyamun. Adapun garong
inkonvensional identik dengan garong halus yang bekerja secara tersistem dan
terkait dengan jabatan serta kekuasaan di level negara.
Garong konvensional identik garong
kasar. Perampokan/penjarahan/pembegalan harta benda yang dilakukan berlangsung
secara terbuka, bahkan dramatis dan mengandung unsur kekerasan fisik dan
pembunuhan. Nyawa dan darah jadi realitas ikutan. Sebelum diadili, garong kasar
ini lebih akrab berurusan dengan pihak keamanan level bawah: polsek dan
polresta.
Adapun garong inkonvensional jauh
lebih terhormat dibandingkan dengan garong konvensional. Kedudukan dan
kekuasaan mereka secara struktural dalam sistem atau birokrasi penyelenggaraan
negara jadi salah satu penyebabnya, di samping latar belakang mereka: kelas sosial
menengah, pendidikan S-1, S-2, S-3, karier politik, akademik, birokratik, dan
lainnya. Juga tingkat kedekatannya dengan kekuasaan atau para penguasa politik
dan ekonomi. Faktor lainnya, umumnya mereka kaya, punya banyak aset, baik
deposito tak terhitung maupun benda-benda lainnya. Kehidupan mereka kental
dengan aroma jetset tetapi bisa sangat cair luluh berinteraksi dengan berbagai
komunitas.
Etos kriminal mereka tak jauh
berbeda dengan etos kaum mafioso. Jika garong konvensional merampok secara
terbuka, transparan, dan langsung, bisa dilihat, kaum garong inkonvensional
melakukannya secara tertutup, bahkan penuh cita rasa etika dan estetika tinggi.
Perampokan dilakukan dengan sopan santun, penuh ”penalaran”, rasionalisasi
(pembenaran), sehingga terkesan wajar. Misalnya, dalam merampok APBN atau APBD
hingga mencapai triliunan rupiah.
Garong inkonvensional memiliki
”kreativitas” tinggi untuk mengakali sistem. Misalnya, sistem politik anggaran
negara untuk rakyat/masyarakat. Mereka menguasai regulasi dari filosofi,
penafsiran, pemaknaan, hingga pengoperasiannya yang memungkinkan dana besar
bisa dibelokkan dan digenggam, sementara rakyat hanya mendapatkan
remah-remahnya.
Dalam soal membuat fiksi, kemampuan
mereka mampu ”mengalahkan” penyair, cerpenis, dan novelis papan atas sekalipun.
Jika para sastrawan berprinsip ”berbohong” dalam penciptaan demi kebenaran,
mereka justru bicara ”kebenaran” demi kebohongan. Tak ada kebenaran otentik
bagi mereka. ”Kebenaran” bagi mereka sejatinya tak lebih dari ”pembenaran” yang
melabrak nilai, moral, norma, dan hukum dan menyembah kepentingan secara
sepihak, subyektif.
Imajinasi mereka pun sangat liar.
Mereka mampu mengubah hal-hal fiksional jadi ”realitas”. Mereka bisa membuat
praktik lelang proyek sandiwara, membuat perseroan, CV, dan lembaga bisnis
palsu, atau membuat proyek-proyek fiktif, ”rakyat” fiktif, dan lainnya.
Pencinta koruptor
Jangan mengira garong inkonvensional
ini dikutuk. Mereka justru ”dihormati”, baik secara sosial maupun yuridis. Di
masyarakat mereka bisa ”membeli” citra sebagai ”orang terhormat” dengan banyak
bederma. Di tingkat elite, mereka punya banyak pendukung dari politisi,
konglomerat, birokrat, sampai penegak hukum. Maka, jangan heran jika remisi
terhadap koruptor sangat progresif dan tinggi.
Para pencinta koruptor mendadak lupa
atas kebengisan para garong inkonvensional yang tidak hanya membuat negara
pailit dan tak berdaya, juga membunuh rakyat melalui perampokan hak- hak sipil
warga. Para pencinta koruptor yang pintar mengakali pasal-pasal hukum pidana
berdalih koruptor pun punya hak asasi manusia dan tidak boleh didiskriminasi.
Kenapa justru kepada kaum garong inkonvensional toleransi mereka sangat tinggi,
sementara kepada rakyat yang jadi korban justru tidak dibela?
HAM atau hak-hak sipil, hak politik,
semestinya hanya milik masyarakat yang memiliki tingkat keadaban dan peradaban
tinggi, bukan masyarakat garong yang anti keadaban dan peradaban. Hukum formal
sering beku, gagap, dan gugup sehingga tidak memiliki kemampuan serta
keberanian menerapkan hukuman berbasis keadilan dan rasa keadilan publik.
Inilah kehebatan kaum garong inkonvensional yang mampu menciptakan sistem yang
nyaman bagi mereka.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi
akhirnya hanya jadi dongeng ninabobo, yang tampaknya menenteramkan, tetapi
membuka mara bahaya bagi rakyat. Ironisnya, ini terjadi di dalam praktik rezim
yang semula berniat mulia memberantas korupsi. Adakah kaum garong
inkonvensional jadi prioritas?
Indra Tranggono,
Pemerhati Kebudayaan
Versi cetak artikel ini terbit di
harian Kompas edisi 4 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Garong
Terhormat".
0 comments:
Post a Comment