Prie GS |
Bagi masyarakat yang terkontraksi, ia akan kaget dan gundah. Msayarakat ini jenis pihak yang sangat hormat kepada figur guru dan panutan. Ketika para panutan berbeda haluan, mereka butuh bekerja keras untuk menenentukan pilihan. Sungguh tidak mudah, karena setiap guru bagi mereka mengagumkan. Pada kekaguman mana pilihan akan dijatuhan?
Bagi masayarakat terkontroversi, mereka akan dilanda perdebatan hebat. Mereka bukan masyarakat pengagum, melainkan masyarakat kritis dan para kritikus. Mereka bukan tidak punya guru dan tokoh panutan, tetapi bahkan guru pun lebih mereka tempatkan sebagai rekan debat. Masayarakat kritikus ini pada akhirnya tetap akan menjatuhkan pilihan tetapi setelah mereka kenyang berdebat dan dahaga intelektual mereka terpuaskan.
Sementara bagi masyarakat yang terdemokrasi mereka akan menangkap perbedaan fatwa ini sebagai bagian dari keniscayaan berdemokrasi. Mereka adalah kaum yang yakin kepada pilihan tetapi tenang kepada perbedaan. Di dalam keyakinan mereka sebenarnya jauh-jauh hari pilihan telah bulat dijatuhkan, sebelum perbedaan itu dilahirkan. Mereka adalah pihak yang telah decided, pihak yang telah memutuskan tetapi karena kesadaran berdemokrasi, mereka memberi ruang sangat terbuka kepada para un-decided.
Golongan terakhir, adalah pihak yang terpragmatisasi. Saya menduga golongan ini sangat banyak, kalau tidak malah yang terbanyak. Mereka adalah pihak yang masih terlalu dini untuk diajak berdebat soal halal haram, baik karena alasan pengetahuan maupun alasan penghasilan. Alasan itu adalah argumentasi logis mereka untuk masuk dala zona ‘’darurat’’. Di dalam keadaan darurat, semua keketatan hukum mendapat aneka dispensasi dan kelonggaran. Bagi masyarakat jenis ini yang halal, haram, sunah, makruh dan mubah bertali-temali dengan sangat dinamis.
Saya menduga, jumlah yang mengalami kedaruratan semacam inilah pihak yang paling dulu harus diprioritaskan oleh negara. Di dalam skala kehidupan sosial, para awam adalah pihak yang paling harus dibela leih dulu karena aneka keterbatasan mereka. Biarlah mereka urut menjalani tahapannya. Biarlah mereka lebih dulu sehat raganya, baru pelan-pelan sehat jiwanya. Masuk kategori manakah Anda?
Kolom Tambahan...
Gendongan Ayah
Banyak kenangan atas ayah tetapi kenangan satu ini sangat jarang muncul dan baru muncul lepas subuh tadi. Tak jelas detailnya kenapa dulu aku suka menangis hebat. Mungkin meminta sesuatu yang ayah dan ibu gagal memenuhi karena kemiskinan kami. Tangisku bisa jadi bukan tangis yang vandalistik. Itulah bisa jadi walaupun aku bisa memangis amat lama tetapi suara tangisku adalah suara anak yang merintih bukan anak yang memberontak membuat ayah jatuh iba.
Jika ibu sudah tak sanggup meredakan, ayah biasanya langsung mengambil selendang dan menggendongku untuk meredekan tangisku dengan kesabaran mengagumkan. Mengagumkan karena dalam keseharian beliau adalah prajurit dan pendekar. Jika wajah tentaranya muncul ia figur yang amat kami takuti. Tetapi kepadaku, sebagai bungsu, wajah itu jarang sekali muncul.
Malah sering sekali jika ayah marah, dan sesisi rumah ketakutan, hanya dengan kemunculanku, kemarahan itu reda pelahan. Mungkin karena wajahku memelas. Mataku yang sipit saat aku kecil sungguh anugerah. Sambil menggendongku ayah biasa menyenandungkan tembang tembang Jawa yang lembut. Suara beliau.merdu karena pada eranya ayah adalah aktor ketoprak garda depan. Sambil menembang ayah mengambil daun umbi "uwi" kami menyebutnya, memilinnya sedemikian rupa dan menjadikannya sebagai balon. Balon sederhana yang indah karena balon yang di sana tak terjangkau di masa kanak kanakku.
Gendongan ayah itu membuat ketentraman hebat dalam jiwaku. Catatan ini kutulis karena ayah muncul dalam mimpiku semalam. Aku menulis ini dengan sekuat mungkin menahan agar airmataku tak jatuh dan terlihat anak anakku. Lohor telah tiba.....
0 comments:
Post a Comment