Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
Sedimentasi Sosial
Prie GS |
Kini saya mengerti, kenapa di bantaran sungai banyak berdiri rumah-rumah darurat yang akhirnya malah berubah menjadi benar-benar rumah. Selain karena persoalan sosial, ini juga hasil isntink alamiah saja: mereka tidak melihat ancaman. Dan ancaman itu bukan peraturan, melainkan air. Mereka membangun rumah karena memang sungai itu telah menjadi daratan. Air itu kini tak lagi mengancam lewat aliran resmi. Air itu kini ingin menempuh alirannya sendiri dengan cara yang mulai sulit diprediksi. Mungkin karena ia kecewa karena di seluruh aliran resmi, air cuma menghadapi bermacam-macam hambatan.
Seluruh aliran resmi itu kini ramai-ramai mengalami pendangkalan dan selebihnya pendaratan. Eloknya, watak sungai ini seperti cuma hendak mengabarkan watak pendangkalan di segenap urusan. Di Indonesia, sepak bola saja bisa berubah menjadi bukan sebak bola tetapi telah menjadi intrik politik dan pertunjukkan organisasi yang ruwet. Sepak bolanya sendiri tiba-tiba lenyap entah ke mana. Maka kepada negaranya, sepak bola Indonesia jauh lebih banyak menyumbang persoalan katimbang prestasi.
Politik juga menunjukkan gejala yang sama. Banyak partai didirikan cuma atas nama kecewa. Maka sebelum sebuah partai sempat berkontribusi membangun bangsa sudah keburu sibuk dengan pertengkarannya sendiri. Berdiri partai baru lagi, kecewa lagi, partai baru lagi, begitu seterusnya. Begitu banyak sekarang ini pihak yang terpaksa menjadi sangat sibuk tetapi cuma untuk mengurus persolannya sendiri. Begitu besar konsentrasi kepada diri sendiri itu, sehingga urusan bersama mengalami ketelantaran di mana-mana. Fasilitas umum selalu mengalami fandalisme sehingga orang-orang umum lebih memilih bersikap tidak sebagai umum.
Di hampir semua tempat rekreasi yang saya datangi saya selalu dikejutkan olah masalah sampah. Begitu merdeka sampah itu menghuni apa saja sehinga separoh dari tempat rekreasi itu benar-benar telah berubah menjadi TPA. Yang terlihat akhirnya bukan cuma betapa merdeka orang-orang dalam membuang sampah, tetapi juga betapa merdeka petugas kebersihan untuk tidak menjalankan tugasnya dan juga betapa merdeka perda sampah untuk tidak dijalankan sebagaimana perintahnya. Jadi sedang ada ruang kemerdekaan yang begitu luas sekarang ini untuk melangsungkan seluruh tindakan yang pusatnya hanya kepentingan diri sendiri. Lihat saja, hampir seluruh kerumitan berbangsa dan bernegara ini tidak besumber dari kebodohan dan kemiskinan, melainkan bersumber pada pemujaan yang sangat kepada kepentingan sendiri. Sekarang jelas, kenapa krisis kepemimpinan terjadi karena di mana-mana, publik tidak melihat kepemimpinan melainkan sekadar pihak yang sibuk digelayuti pamrih-pamrihnya sendiri.
Sandal Demokrasi
Prie GS |
Terus mencari titik terjauh, itulah laju demokrasi Indonesia. Apa saja kini diamati oleh demokrasi. Di bidang hukum, para pelanggar tak mudah lolos begitu saja dari jerat hukum mulai dari koruptor hingga pencuri sandal. Siapa saja pelanggar hukum, harus berhadapan dengan hukum. Siapa saja penunggak listrik harus diputus tak peduli itu kantor Pemerintah tempat PLN menjalankan perintah. Pemerintah menyuruh PLN untuk memutus listrik milik Pemerintah, itu luar biasa dan itu bisa terjadi. Dan itulah kehebatan demokrasi.
Tetapi tak seluruh dari demokrasi berisi kabar gembira. Karena kekuatan demokrasi itulah sekaligus kelemahannya. Sepanjang cara-caranya demokratis, apa saja boleh ada dan boleh berlangsung, tak peduli apakah ia adalah sesuatu yang kita benci. Kealpaan rata-rata bangsa yang sedang puber demokrasi di dunia ialah: mereka membayangkan cuma kebebasannya, kemudahannya, kemerdekaannya, tak terkecuali kita. Bayangan itu nyaris tidak pernah ada di kebalikannya: kerumitannya, kerepotannya dan paradoks-paradoksnya.
Untuk mengatasi situasi paradoks itu saja kita tidak memiliki persiapan secukupnya. Hasilnya, setiap matra selalu berkonotasi ganda, dan itu amat membingungkan publik. Contoh mudahnya begini: jika seorang pejabat publik membeli mobil buatan dalam negeri langsung menimbulkan komplikasi tafsir yang tak sederhana. Yang satu memuji sebagai praktek hidup sederhana, yang lain menganggap ini tendensi politik dan cari muka. Malangnya, delapan puluh persen penduduk sebuah negara berkembang selalu berisi para awam tak terkecuali kita. Jadi kebingungan tafsir selalu menjadi soal yang nyata.
Di sebagian sisi, beginilah mestinya pejabat publik, dan beginilah mestinya adab konsumsi kita kepada barang-barang dalam negeri. Ia hanya bisa bertumbuh kalau dicintai. Benar, ada banyak sekali persoalan kemerosotan daya saing. Ada saja persoalan tentang apa yang disebut kualitas dalam negeri itu. Jika ia bernama jembatan (tiruan) misalnya, kita meniru cuma sekadar bentuknya, tetapi tidak keseluruhan dari etosnya. Hasilnya yang ditiru masih megah berdiri, penirunya sudah ambrol lebih dulu.
Tetapi bukti bahwa kita sudah sanggup meniru dan bahwa jembatan itu benar-benar jadi dan pernah benar-benar berfungsi, adalah bukti bahwa kemampuan dalam negeri itu, secara teknikal ada, walau secara fundamental masih terkendala. Tetapi kecerdasan teknis adalah kecerdasan pertama yang sebetulnya layak terus diapresiasi. Siapa saja yang kekurangan pujian dan atensi akan beku dan mati. Semua kebudayaan maju selalu budaya yang dikelilingi oleh budaya menumbuhkan bukan budaya mematikan. Itulah budaya yang kelak akan mengokohkan kecerdasan fundamental. Pada saat kecerdasan fundamental itu menguat, itulah saat ketika paradoks dalam demokrasi akan menurun. Jelasnya begini:
Jika sebuah mobil dalam negeri laris, itu bukan transaksi politis, tapi benar-benar akan ditafsirkan sebagai sukses sebuah produk. Jika Tom Hanks membeli mobil hybrid, misalnya, bukan lagi karena ia ingin dianggap mulia, atau biar terpilih sebagai aktor terbaik di musim Oscar periode depan, melainkan karena ia memang dipercaya sebagai aktor dengan kepekaan lingkungan. Bisa saja keputusannya dianggap cari muka, tetapi Tom Hank saya kira akan baik-baik saja karena ia memang yakin pada mukanya. Sebaliknya, di dalam paradoks demokrasi yang masih tinggi, tak mudah menfasirkan segala sesuatu, karena memang tak mudah menyimpulkan niat.
Ku Masih Seperti yang Dulu
Priyanto Sunarto
Tempo, 13 Januari 2011
Peristiwa menggelikan, jaksa polisi, menhukham mengamini dibebaskannya Artalyta
(kasus suap kejaksaan) setelah menjalani KURANG dari 2/3 masa huluman 5 tahun
(remisi). Beberapa waktu sebelumnya digerebek satgas mafia hukum
mendapat fasilitas kemewahan di penjara...
Tempo, 13 Januari 2011
Peristiwa menggelikan, jaksa polisi, menhukham mengamini dibebaskannya Artalyta
(kasus suap kejaksaan) setelah menjalani KURANG dari 2/3 masa huluman 5 tahun
(remisi). Beberapa waktu sebelumnya digerebek satgas mafia hukum
mendapat fasilitas kemewahan di penjara...
Quo Vadis Nazaruddin?
Priyanto Sunarto
Tempo 18 agustus 2011
Nazaruddin yang beberapa bulan jadi 'headline' media selama buron di luar negeri,
Tempo 18 agustus 2011
Nazaruddin yang beberapa bulan jadi 'headline' media selama buron di luar negeri,
karena ocehannya sekitar korupsi di eksekutif dan legislatif, begitu tertangkap
mendadak jadi jinak menjilati boss besar...
Wabah Masa Depan: Lapar
Prie GS |
Secara tampilan orang ini sepenuhnya sangat sah untuk disalahpahami. Kecil, hitam, dan belel. Kemana pun pergi hanya ransel di punggung itu saja bawaanya. Berhari-hari pergi, cuma kaos hitam bergambar Bung Hatta dan jaket hitam itu saja yang dia pakai. Tapi pergaulan orang ini sepenuhnya menakjubkan. Dengan cuma bersandal ia bisa berbincang secara pribadi dengan Darmin Nasution di ruang kerjanya. Bisa serius berdua dengan Arifin Panigoro bicara soal nasib petani. Ia pernah menjemput ekonom Faisal Basri untuk ia boncengkan dengan motor masuk desa pedalaman Sumatera Barat dan anehnya Faisal mau saja untuk seminar di tengah sawah tanpa bayaran pula. Orang ini Masril Koto namanya, bersama Sandiaga Uno, ia baru saja kami undang untuk berbagi pengalaman di Forum Wedangan, sebuah forum tempat komunitas UMKM bertemu.
Masril adalah seorang penggerak petani yang menakjubkan di wilayahnya. Kini ia seorang miliader pengelana. Tapi ia bepergian dengan merdeka karena meningalkan keluarga yang tercukupi dan komunitas petani di wilayahnya yang kuat dan mandiri. Masril kini sibuk berkeliling Indonesia untuk menyerap apa saja dengan pertanian dan lingkungan sebagai minat besarnya. Darinyalah saya menangkap semangat yang menyala untuk sebuah kabar yang celakanya mencemaskan: krisis pangan. Jika tak ada aral melintang waktunya tak akan lama, tinggal 2020. Persoalannya ialah, bagaimana agar masyarakat Indonesia berkontribusi menyiapakan aral melintang itu agar krisis tertunda. Tulisan ini adalah bagian dari upaya itu walau mungkin tak banyak artinya. Tetapi inilah saatnya, semua bergerak secara bersama-sama untuk soal yang memang cuma bisa di hadapi secara bersama.
Untuk data-data teknis menyangkut tentang ancaman lapar itu biarlah menjadi tugas para ahli. Kepada kita para awam cukup dengan menangkap keganjilan yang mulai jamak dan mudah dilihat saja. Anomali iklim adalah yang terjelas dari seluruhnya. Di Indonesia kini mulai terasa betapa musim tinggal definsi. Kemarau dan penghujan bisa bertukar waktu kapan saja. Dan cukup hanya dengan ketidakjelasan musim semacam ini, petani akan lumpuh siklusnya.
Ini baru satu hal. Hal lain adalah penyusutan lahan pertanian yang agresif. Di Jawa, areal sawah terbaik ramai-ramai diuruk untuk dijadikan tempat usaha. Kenapa selemah ini petani mempertahankan tanahnya? Karena sawah bagi mereka tidak keramat lagi. Migrasi profesi sekarang ini terjadi secara besar-besaran karena alasan yang nyaris lengkap. Petani lama yang sukses tidak selalu sukses melahirkan anak-anak yang mau jadi petani. Karena terbiasa hidup enak, generasi baru itu lalu memilih menjadi anak kota yang gaya. Mereka lalu asing dengan sawahnya sendiri. Akhirnya, katimbang mengolah sawah, generasi baru ini lebih pintar menjual sawah. Kebangkrutan keluarga petani adalah gejala kebudayaan yang nyata saat ini.
Bagaimana dengan patani yang masih bertahan? Mereka hidup dalam tekanan yang besar karena guncangan abad informasi. Kini pragmatisme adalah wabah yang menakutkan yang menjangkiti seluruh profesi, tak terekcuali petani. Pestisida telah menjadi praktis, pola tanam telah menjadi parktis. Pemakaian pestisida yang agresif membuat bahkan hama pun mudah melakukan mutasi genetik. Hama baru muncul seperti monster yang tiba-tiba. Dan hama itu dipermudah oleh pola tanam petani yang seragam dan tak lagi bervarisi seperti anjuran kearifan. Jadi seluruh penyebab kelangkaan pangan di masa depan itu sedang terjadi dengan sangat lengkap dan serempak. Karenanya tugas kita seluruhnya, negara terutama, adalah memutus siklus itu sekuat yang kita bisa.
Supremasi Hukum
Selamat Datang di HumOr edisi Perdana
Tuesday, January 24, 2012
HumOr Edisi Januari 2012
Seperti cucuran air yang turun dari langit, begitu saja dia mengguyur seluruh isi bumi.
Seperti cucuran air yang turun dari langit, begitu saja dia mengguyur seluruh isi bumi.
Majalah versi online ini terbit begitu tiba-tiba, begitu tak sengaja dan terkesan guyonan saja; namun setelah mempertimbangkan situasi negeri yang berlumur lelucon baik yang aneh, tak lucu maupun bermutu, rasanya sayang melewatkan momentum yang langka tersebut; setidaknya agar anak-cucu kelak dapat melihat jejak negeri ini dari kaca mata yang lain. Kaca mata yang hanjriiit dan hwuarakadah!!!
Selamat Menikmati
Semoga Anda Menderita Kebahagiaan!
Kematian Akal Sehat
Catatan Redaksi:
Mulai edisi ini, kami akan memuat secara berkala atau selang-seling Kolom Prie GS. Seperti yang Anda tahu, Prie adalah sosok unik yang di dalam dirinya mengalir berbagai arus sungai talenta. Ada musik, seni rupa (kartun), teater, tulis-menulis dan public speaking. Komplet dah, pokoknya! Tapi, tampaknya Prie tak mau larut dalam silang arus sungainya sendiri. Ia memutuskan untuk mengambil prioritas. Akhirnya ia tajam meniti pilihannya di public speaking dan tulis menulis. Sebagai kolomnis Prie mampu mengusili tatanan nilai sosial-budaya yang bolong argumen dan ambigu; ia gerus daerah itu sedalam-dalamnya; seasyik-asyikanya. Ia tergolong Ice-Breaker yang hadir tepat dalam setiap kesenyapan. Juga motivator humoris yg cerdas menyiasati situasi. Selamat menikmati!
Prie GS |
Di tengah ingar-bingar kontes musik itu, Adie MS, salah seorang juri mencoba tetap tenang dan hening. Dengan musikalitasnya yang tajam ia mengerti, betapa penampil itu, seorang gitaris yang bergaya di bawah guyuran histeria fans, menyimpan kekeliruan diam-diam. Petikan gitar anak muda itu memang cepat ( ia memang musisi berbakat karena itulah ia ada di pangung itu), tetapi telinga Adie peka menangkap kesalahan walau sekelebat. Kecepatannya masih terdengar kotor. Artinya gitaris ini butuh menaklukkan zona pelan lebih dulu sebelum ngebut di jalur cepat. Kalau dibuat lebih tegas, pernyataan Adie itu bisa berbunyi, jangan uru-buru bergaya kalau belum benar-benar ahli.
Tentu, bahasa Adie tak selangsung itu. Ia adalah pribadi yang sopan dan elegan seperti orkestranya. Ia mengatakan dengan bahasa seorang kakak, dan yang terpenting, ia berkata sebagai seorang ahli. Tak banyak musisi mencapai kedudukan seperti yang ia capai. Tetapi, seperti yang mudah diduga dari kebiasaan kontes serupa, setiap nasihat kepada idola, apalagi kritik, cuma akan mendulang teriakan huuu... Pemujaaan, tidak di ranah agama, ranah politik, dan ranah pangung pop, akan mendatangkan fanatisme yang sama. Ia tak butuh nasihat, hanya butuh menuruti keyakinannya sendiri.
Adie itu tidak cuma sedang menawarkan akal sehat, tetapi juga ilmu dan nasihat. Tetapi sejarah nabi-nabi memang selalu berulang dalam berbagai versi. Tak mudah menasihati umat sendiri. Akhirnya nasihat itu lebih memilih beredar di tempat-tempat yang jauh dan hidup justru di kejauhan. Kebaya Encim Semarangan sekarang ramai dipertontonkan di Singapura karena ia gagal hidup di kotanya sendiri. Malaysia tiba-tiba mengaku sebagai Truly Asia padahal seluruh nilai Asia hampir setengahnya ada di Indonesia. Untuk menikmati taman-taman dan budaya jalan kaki yang nyaman, orang Indonesia harus terbang ke Eropa padahal negerinya sendiri disebut sebagai Zamrud Kathulistiwa.
Inilah risiko kemerosotan akal sehat itu. Jika akal sehat mulai tak dihargai, para pemilik akal akan menempuh cara-cara yang radikal, yakni memilih sakit akal dengan sengaja. Jika sakit ini menguntungkan maka kesakitan bisa terus dilanjutkan, sakit ingatan. Lalu kematian akal dan kematian ingatan akan menjadi kewajaran. Lalu akan banyak sekali kehidupan yang berjalan tanpa kontrol akal dan ingatan. Hasilnya, banyak soal-soal yang tak masuk akal menjadi biasa. Banyak kejadian tak perlu diingat sebagai bahan pelajaran. Hasi berikutnya akan banyak pengulangan atas kesalahan demi kesalahan yang sama. Hasil berikutnya, akan ada jenis kesibukan yang lebih sibuk mengurus soal-soal yang ada di belakang katimbang mengurus yang di depan. Utang kepada masa silam mengunung dalam tumpulan sehingga jangankan berpikir soal yang depan, untuk membayar tunggakan hutang di belakang saja gagal memilki kesanggupan. Maka mendesak: budaya akal sehat harus kembali dihidupkan!
Yang Gila dan Aneh-aneh dari Semarang
Monday, January 23, 2012
Tulisan ini terjadi dan berkaitan dengan masa yang a long-long time ago banget. Saat walikotanya bukan walikota sekarang. Saat irigasi kota, juga bukan irigasi kota sekarang. Saat orang-orang lucunya, juga bukan orang sekarang. Jadi ya, beginilah, kisahnya.
Gereja Blenduk, Semarang |
Setinggi-tingginya volume banjir yang ada, apalagi kalau dikolaborasi dengan rob, maka perasaan yang ada bagi warga kota tetap saja senang dan hepi-hepi aja. Bukankah warga Semarang dikenal warga yang paling hepi di antara warga kota-kota besar di Indonesia lainnya. Kurang apa?
Bagaimana tidak hepi, wong latar belakang “budaya”-nya saja bertabur keanehan dan keunikan. Dari mana argumen itu muncul, dari produknya. Di kota ini, kartun tumbuh subur. Pelawak, menghentak; lihat Tukul Arwana yang asal Semarang itu. Event-event yang masuk kategori “gila” meraja lela. Bahkan salah satu museum yang memberikan apresiasi prestasi dan atraksi aneh, unik, langka, juga ada di Semarang. Jadi, memang, klop!
Makin klop lagi kalau itu dihubungkan dengan fenomana Tukul Arwana. Pelawak asal Semarang ini dari Senin sampai Jumat tiap pukul 21.30 membuat banyak penghuni rumah tangga heboh karena rebutan remote control. Akhirnya yang menang ya itu-itu saja, yang menonton “atraksi” Tukul di televisi. Ketambahan lagi bintang tamunya cakep-cakep, maka lengkap sudah, Tukul memang berhasil membikin geger layar kaca se-nusantara.
Begitulah! Ingat Tukul Arwana, saya jadi ingat Semarang. Ingat Semarang, saya makin ingat sebuah kota yang di dalamnya menyimpan banyak potensi khas. Khas di sini, artinya berbeda dari arus kelaziman. Sejak awal tahun 1980-an, khususnya setelah Jaya Suprana pulang dari studi di Jerman, kota yang oleh pengamat dari luar Semarang disebut sebagai kota dagang dan sepi dari isu kesenian ini, tiba-tiba langsung berbeda.
Dengan segala akal dan strategi, Jaya Suprana “menyebarkan” virus humor. Mulai dari rajin menulis di berbagai media tentang humor dan segala thetek-bengek-nya, hingga menyelenggarakan seminar humor dengan pembicara para tokoh yang punya kompetensi di bidang tersebut. Sebut saja misalnya: Arwah Setiawan (Ketua Lembaga Humor Indonesia), Romo Mangun (rohaniwan, budayawan dan novelis YB Mangunwijya), David Anderson (peneliti warga Amerika Serikat yang sangat doyan Budaya Jawa dan penggemar Ki Nartosabdo), Permadi, SH (saat itu Ketua Yayasan Lembaga Konsumen) dan banyak lagi tokoh “gila” yang membuat Semarang menjadi tergelitik dan menggeliat.
Bukan hanya itu, seiring dengan lahirnya para kartunis baru dan para pelawak dadakan, terselenggara pula berbagai event gila yang benar-benar mengagetkan warga Semarang dan sekitarnya. Event gila itu misalnya, Lomba Tertawa, Lomba Merayu, Lomba Siul dan lain-lain lomba yang sangat tidak lazim.
Virus humor yang menjalar-jalar itu jadi semakin “nyambung” ketika tahun 1982-an hingga 1987, berkibaran “bendera” para kartunis dan kelompok lawak. Dimulai dari deklarasi Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu), lalu disusul Secac (Semarang Cartoon Club), Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran), Wak Semar (Wadah Kartunis Semarang) dan lain-lain yang serius maupun sekadar latah.
Di bidang seni lawak, tercata paling konsisten adalah PLS (Paguyuban Lawak Semarang) yang rajin menyelenggarakan saresehan dan lomba lawak. Tukul Arwana dan Joko Dewo, diakui atau tidak, sedikitnya pada periode itulah awal mula terkena virus lucu dan mengenal komunitas lawak. Maka mau bagaimanapun, Tukul Arwana tak dapat dipisahkan dari habitat awalnya, di komunitas Paguyuban Lawak Semarang dan para pelawak Semarang sendiri.
Belum lagi orang selesai menarik nafas, Semarang diguncang lagi oleh lahirnya sebuah lembaga yang khusus memberi ruang ekspresi untuk masyarakat yang menggemari segala hal yang serba super. Super besar atau super kecil. Super aneh, super beda dan sejenisnya. Lembaga itu adalah MURI (Museum Rekor Indonesia).
Dan puncak dari “kegilaan” para pekerja dan penggemar humor terjadi pada awal tahun 1988, saat diselenggarakannya Festival Kartun Internasional dan Pameran Kartun Sejagad yang diselenggarakan di kota Semarang. Gawe yang mengambil nama Candalaga Mancanegara itu diikuti oleh 29 negara, termasuk Indonesia dan melibatkan puluhan kartunis sedunia dengan jumlah karya mencapai belasan ribu kartun. Gawe itu juga tercatat di MURI sebagai yang pertama di Asia Tenggara.
Selanjutnya, Semarang masih juga diisi berbagai pameran kartun dan lomba lawak. Pameran kartun oleh Hoesie yang mengisi seluas lingkar Simpang Lima, kemudian di Taman Budaya Raden Saleh dengan tajuk Kartun Tiga Dimensi (Instalasi) dan keanehan-keanehan lain.
Lepas dari kontroversi yang berkembang, yang mengatakan bahwa fenomena itu tak lebih dari spirit pragmatisme dan permukaan belaka, dan itu tetap sah sebagai pendapat; dari virus humor yang disebarkan Jaya Suprana, tetap saja ada hal menarik untuk dicatat. Misalnya, pada suatu ketika entah kapan pernah muncul istilah: Jakarta memang Ibukota Indonesia, tapi Semarang adalah Ibukota Kartunis Indonesia. Jakarta Ibukota Humor Indonesia, tapi Semarang adalah Bibikota Humor Indonesia dan lain-lain yang dapat ditanggapi secara serius dapat pula dianggap sebagai lelucon belaka.
Makna lain yang dapat dicatat, dari atmosfer yang tampaknya dolanan dan main-main itu, ternyata ia menjadi pemicu lahirnya makhluk-makhluk “tak lazim” yang kini berperan serta dalam berbagai bidang. Di seni lawak ada nama Tukul Arwana yang debutnya cukup mengguncang, bukan saja di tingkat Semarang atau Jawa Tengah, tetapi nasional.
Di seni kartun, ada nama Goen (Goenawan Pranyoto), Koesnan Hoesie, Jitet Koestana (kartunis harian terkemuka ibukota) padahal ia memulai semua itu dari seorang anak muda penjual buku loak di Semarang. Di Kokkang, ada sejumlah nama seperti M. Najib, Tiyok, Ifoed, Nasir, Muslih, Mukhid R, Zaenal Abidin dan tentu saja Itos Boedy Santosa dan Odios.
Salah satu makhluk yang paling unik menurut saya adalah Prie GS. Anak muda asli Sukorejo, Weleri ini, memulai dari bergabung sebagai kartunis di Kokkang, kemudian ia menjadi wartawan, penulis, penyiar radio, presenter TV Semarang, dan pembicara di berbagai seminar. Prie GS unik karena ia multitalenta dan berbagai karyanya menjadi pembicaraan publik penggemarnya.
Begitulah Semarang. Ternyata ia biang dari segala biang keladi inspirasi itu. Semoga tulisan ini tidak ditanggapi sebagai membakar-bakar kenangan lama, tetapi dapat dilihat sebagai pemecah keheningan bagi kota Semarang yang sejak tahun 1990 hingga 2007, kelihataannya tidak lagi terlihat menonjol kegilaan dan ketidaklazimannya itu.
Kegilaan dan keanehan di dunia sastra dan seni rupa Semarang sebenarnya juga tak kalah menghebohkan; seprti kita ketahui di bidang sastra kita kenal nama-nama yang berkibar seperti Triyanto Triwikromo, Gunoto Saparie, Handry TM, Eko Tunas, Heru Emka, Timur Sinar Suprabana, Beno Siang Pamungkas, Agoes Dhewa dan beberapa yang lain; di bidang seni rupa (lukis, terutama) kita kenal AS Kurnia, yang pada tahun 1980-an akhir memenangkan Lomba Lukis Nasional yang diselenggarakan ITB (Institut Teknologi Bandung) dengan hadiah jalan-jalan ke Eropa, ada pula nama Kokok Hari Subandi, yang karya-karyanya masuk sekian besar dari peserta lomba Philip Morris Art Award, tak terkecuali seorang pelukis yang sangat mantap di posisinya seperti Agus Sudarta, yang kini harga lukisaanya di kisaran ratusan juta; semua itu sungguh fakta yang menarik yang ada di perut budaya kota Semarang; hanya sayang, domain saya tidak mampu menjangkau ke sana dan tak dapat berkisah panjang tentang "makhluk-makhluk" dahsyat dari ranah ini.
Akhirnya hanya luapan rasa kangen dan grenengan seperti ini yang dapat saya sampaikan. Sekian. Salam SPA (seharusnya: Semarang Pesona Asia). Tapi salam yang ini: SPA adalah Semarang Pesona Aneh-aneh! (dms)
Subscribe to:
Posts (Atom)