<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Wawancara Imajiner dengan Bung Karno n Pak Harto

Wawancara Imajiner dengan Bung Karno n Pak Harto


Darminto M Sudarmo

MALAM ini langit agak mendung. Terus terang saya agak gelisah. Bulu kuduk berdiri. Bukan karena melihat hantu; tetapi karena melihat proyeksi bayangan sendiri. Orang yang rutin membaca koran, majalah atau tabloid apalagi, pasti merasakan itu. Mendengarkan radio, menonton berita di televisi, hampir tak ada bedanya. Negeri ini seperti tengah diancam oleh suatu kekuatan tak terlihat yang sedang bergerak. Begitu dramatiknya pers melukiskan proyeksi-proyeksi itu. Saya hanya bisa bertanya dalam hati, benarkah negara kesatuan Republik Indonesia yang elok ini berada dalam situasi bagai telor  di ujung tanduk? Atau justru sebaliknya, bagai  tanduk di ujung telor?
            Seorang rekan menyarankan agar saya “iseng-iseng”  mencoba bertanya pada pendiri dan “pembangun” negeri ini lewat obrolan lintas ruang alias imajiner, siapa tahu bisa ditemukan nalar dan pencerahan. Menarik juga usul itu. Saya pun mencobanya. Tapi bagaimana caranya? Setelah saya mempelajari beberapa metode yang ada; misalnya dengan meditasi sebagaimana disarankan Prof. DR. dr. Luh Ketut Suryani, Anand Krishna, Merta Ada, tampak juga tanda-tandanya. Dan kunci persoalannya terletak pada bagaimana mengelola nafas dan konsentrasi. Di barat, salah satunya dikenal dengan istilah Metode Silva; yaitu melakukan proses penurunan gelombang otak dari kondisi sadar ke kondisi Alfa. Suatu kondisi setengah sadar dan setengah tidak sadar. Seperti orang yang riyep-riyep mau tidur tapi waskita. Dalam bahasa sehari-hari di lingkungan saya dikenal dengan istilah: khusuk.
            Setelah melewati sejumlah tahapan dan proses, saya mulai melihat sebuah wilayah di ujung cakrawala. Meskipun remang-remang, tapi bisa terdeteksi tanda-tanda yang khas. Ya, wilayah itu ternyata sebuah daerah istimewa yang resmi berdiri pada 7 Desember 1956. Dasar hukum pendiriannya berdasarkan Undang-undang No. 24/1956. Luas wilayahnya saat itu, 55.390 km2 atau 2,88% dari wilayah Indonesia. Mayoritas penduduknya beragama Islam (97, 8%). Ya, dan ada yang sangat menarik, lambang daerahnya dinamakan Pancacita atau lima cita; muatan maknanya, keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan dan kesejahteraan. Tetapi mengapa dari makna-makna yang bagus itu tiba-tiba melintas gambaran gelisahnya manusia yang berjumlah ribuan itu tampak sedang  berlarian ke berbagai jurusan; ada yang  ke selatan, utara, timur, barat dan lain-lainnya? Sedang apa mereka? Mengapa mereka tampak marah-marah, menangis dan menuntut sesuatu yang rupanya telah lama tidak mereka miliki lagi.
            Saya meningkatkan voltase konsentrasi untuk mencapai channel yang lebih tinggi; yakni, sebuah wilayah gelombang yang mampu menampilkan visual lebih jelas -- sebut saja sebuah fasilitas mega digital --  sehingga kami dapat secara intens berinteraksi. Benar!  Layaknya tubuh dan jiwa  saya tersedot ke dalam layar CD games tiga dimensi, langsung berhadapan dengan sang jagoan; sungguh peristiwa ini membuat saya nervous setengah mati. Sang jagoan yang saya maksudkan di alam yang tak saya ketahui itu adalah Bung Karno.
            “Heh! Gedubrakan kayak orang sableng; kamu ini siapa?” tanya Bung Karno.
            “Maaf, Bung! Saya orang biasa, seorang hamba Allah,” jawab saya masih kemanjon.
            “Mau apa blusukan ke mari. Mau niru-niru Christianto Wibisono yang sekarang ngambeg dan tinggal di Amerika Serikat, itu?”
            “Secara teknis memang iya, tetapi secara substansi, tidak.”
            “Tidak bagaimana? Memangnya aku bodoh? Aku tahu, kerjamu itu usil, tukang tanya pada orang lain; lalu jawaban orang yang kamu tanya, kamu siarkan ke orang yang lain lagi. Tumbak cucukan. Begitu, kan? Bukan hanya itu. Setahu saya kamu juga suka bikin plesetan. Apa aku ini juga akan kamu plesetkan?”
            “Wah, kalau yang itu saya tidak tahu, Bung. Saya cuma menjalani pekerjaan yang memang sudah digariskan takdir.”
            “Ha-ha-ha…Tuhan memang maha jenius; dunia juga diisi orang-orang gendheng macam kamu supaya yang lain  bisa ketawa. Ibarat senar gitar tidak mudah putus karena  sehabis dipakai dikendorkan lagi; ha-ha-ha!”
            Saya cuma bisa celingak-celinguk. Tapi apa boleh buat. Saya sudah sampai di sini. Pantang untuk surut kembali.
            “Tapi, Bung. Pertanyaan yang akan saya ajukan ini serius, lho. Mohon Bung, bisa jawab serius, juga.”
            “Lho, humor itu juga serius, lho. Humor yang tidak serius itu tempatnya di RSJ; di sana,  kontrol tak ada, sudah dol. Jangan under estimate sama humor; kuwalat sama profesimu sendiri, lho!”
            Ceilaaa! Bahagia juga hati saya; ada orang yang bisa mengapresiasi humor dengan baik. Sense of humor beliau boleh juga.
            “Baik, Bung. Saya telah melihat sebuah wilayah yang rakyatnya -- atau paling tidak sejumlah pihak yang mengaku mewakili suara hati nurani rakyatnya – kini tampak tengah sibuk menyanyikan lagu berjudul referendum. Saya tidak tahu pasti, apakah syairnya berbunyi: federasi, merdeka penuh, atau kesatuan; tetapi saya hanya merasakan sesuatu yang tak enak di hati. Sebagai salah seorang pendiri republik ini, bagaimana pendapat Anda melihat situasi yang seperti itu?”
            “Kamu mestinya menyimak secara seksama pidato saya pada 17 Agustus 1950. Saat itu adalah momentum kembalinya seluruh bangsa Indonesia ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengapa RIS (Republik Indonesia Serikat)  yang berbau federalisme itu tak bertahan lama?  Mengapa pada saat itu semua dengan rela hati menggabungkan diri ke Negara Kesatuan? Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Madura, Jawa Tengah, daerah-daerah di Kalimantan, Padang, Sabang, Sumatera Timur hingga Indonesia Timur menggabungkan diri? Ide Negara Kesatuan itu meliputi dari Sabang sampai Merauke; dari Ulusiau sampai Kupang. Mengapa mereka bisa memiliki niat yang sama? Bukan saya yang harus menjawabnya. Kalau sekarang misalnya, Aceh mbalelo; Papua bertingkah, Maluku gelisah; secara ide niat itu berarti mementahkan kesepakatan Negara Kesatuan RI; tetapi secara moral, mengapa mereka sampai memunculkan gagasan seperti itu? Apa saja yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya? Itulah kunci persoalannya.”
            “Kalau persoalan ketidakadilan dan ketidakmerataan bukankah pemerintah sudah punya niat baik untuk merealisasikannya? Tetapi mengapa situasinya tetap juga mengkhawatirkan?”
            “Ah, kamu ini. Kamu paksa saya untuk bicara masalah yang klise dan klasik. Apakah yang disebut sebagai masyarakat yang berkeadilan sosial? Masyarakat keadilan sosial, kecuali berdasar atas pembagian bekal-bekal hidup dan alat-alat hidup secara adil tetapi juga tersedianya bekal-bekal hidup dan alat-alat hidup itu sebanyak-banyaknya. Mereka, bukan saja meminta distribusi secara adil tetapi juga meminta adanya produksi yang secukupnya. Mereka meminta adanya pertanian yang luas dan tinggi mutu. Juga meminta adanya pabrik-pabrik yang berefisiensi tinggi. Mereka meminta adanya komunikasi dan lalu-lintas perhubungan yang sempurna; meminta adanya rakyat yang tidak buta huruf atau SDM yang memadai; meminta adanya teknologi tepat-guna; meminta adanya keamanan dan ketenteraman; meminta adanya semangat kebersamaan yang membawa berkah bagi seluruh masyarakat. Dan semua itu tidak dengan sendirinya jatuh dari langit. Pemerintah pusat berkewajiban mewujudkannya; menjelmakannya!”
            Berhubung halaman sangat terbatas, saya buru-buru pamit pada Bung Karno dan putar channel ke gelombangnya Pak Harto.
            “Sugeng ndalu, Pak?” sapa saya sesuai kaidah adat istiadat Jawa.
            “Oh, selamat malam. Ada apa, Mas?” tanya Pak Harto tetap dengan senyum full pede.
            “Meskipun tersirat, Bung Karno sempat menyinggung soal gelombang sparatisme yang belakangan melanda Indonesia karena perilaku salah pemerintah yang lalu; maksudnya pemerintahan Orde Baru. Bagaimana menurut pendapat Bapak?”
            “He-he-he…namanya daripada pembangunan itu, memang butuh daripada pengorbanan. Jer basuki mawa beya. Ya, to? Jadi sudah sepantasnya sebagai saudara sebangsa dan setanah air, pihak yang kuat harus membantu daripada pihak yang lemah. Jadi kita harus ambeg parama arta. Mulat sarira angrasa wani. Sigra tan magita. Sadumuk bathuk, sanyari bumi. Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh, aja gugupan. Ya, to? Ya, to?”
            “Saran Bapak untuk pemerintahan sekarang?”
            “Kita ini kan bangsa daripada yang berbudi luhur. Jadi ya harus bisa melakukan daripada  mikul dhuwur, mendhem jero. Menghormati daripada jasa-jasa senior dan menyembunyikan serapat-rapatnya dosa-dosa dan kesalahan daripada sang senior itu. Sebagai pemimpin harus bisa mengamalkan daripada delapan kebajikan, seperti yang termuat dalam serat  daripada Hasta Brata, begitu. Pemimpin harus bertindak seperti daripada Matahari, Bulan, Bintang, Bumi, Angin, Laut, Api dan Air.”
            “Kok Bapak nyontek Raden Ngabehi Ronggowarsito?”
            “Ah, nggak apa-apa. Dia juga nyontek daripada Prabu Rama Wijaya.”
            Saya balik ke keadaan sadar. Malam sudah makin larut.

                Bahan: Anatomi Lelucon di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2004.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger