Darminto M Sudarmo |
JULUKAN Indonesia sebagai negara agraris tampaknya akan terkikis. Lahan-lahan produktif, seperti sawah dan kebun telah berubah menjadi tempat tinggal. Menjadi rumah, rumah dan bangunan permanen lainnya. Para petani yang dulunya pemilik lahan kini telah banyak berubah nasibnya menjadi buruh tani di lahan “milik”-nya sendiri.
Apa yang terjadi di negeri ini? Produksi beras, apalagi kedelai dari waktu ke waktu makin mencemaskan. Bila ini berlangsung terus tanpa campur tangan pemerintah, maka negeri yang dulunya disebut sebagai agraris akan resmi menjadi negeri importir sembako paling bersemangat di dunia. Sementara itu, para spekulan yang tahunya hanya mengintip tiap inci peluang keuntungan selalu tak akan melewatkan momentum itu. Impor, impor dan impor.
Pasar adalah dunia realitas yang selalu absurd. Absurd karena ia merupakan representasi ketamakan manusia akan laba yang tiada batas tepinya. Ketamakan itu yang kemudian menggumpal menjadi kapitalisasi yang pada akhirnya duduk di singgasana kekuasaan harga. Ia yang berhak mendikte, kapan harga harus naik dan naik lagi. Peran pemerintah sebagai penjaga dan pengawal harga seperti diamanatkan Adam Smith, tidak berfungsi sama sekali. Alih-alih menegur dan memberikan sanksi, main mata dan colak-colek di bawah meja bukan mustahil terjadi. Urusan kepentingan masyarakat banyak? Ah, dengan dalih: “begitulah mekanisme pasar”, maka debat kusir tak akan terjadi lagi.
Tahu dan tempe adalah roh nyata akan spirit makanan khas Indonesia yang murah, bergizi dan sehat. Salah satu harapan masyarakat paling sederhana. Kini roh itu telah diobrak-abrik oleh praktik kapitalisme; sesuatu yang sangat memilukan sekaligus ironis. Begitu pemerintah tak mampu merawat dan melindungi “milik” masyarakat paling “mewah” sekaligus “murah” itu, maka kegeraman masyarakat yang harapan dan keinginannya tidak neko-neko terganggu, luapan kemarahan seperti apa yang dapat muncul ke permukaan.
Jangan sepelekan tahu dan tempe, bila kegentingan ini berlarut-larut, revolusi sosial dapat tak terelakkan lagi. Bayangkan berapa juta mulut dan perut yang bergantung padanya? Tak habis-habis kejadian remeh temeh dan katrok terjadi di negeri ini, namun uniknya pemerintah tampaknya tenang-tenang saja; beranggapan bahwa everyting is OK. Pada akhirnya timbul pertanyaan di masyarakat, lalu apa kerja kementerian-kementrian terkait?
Akankah ini jadi tanda bahwa pemerintahan SBY-Boediono juga sekaligus melengkapi sejarah penderitaan negeri ini sebagai saat-saat “Sandyakalaning Tahu Tempe” di Indonesia?
Darminto M Sudarmo
0 comments:
Post a Comment