M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung - Tabloid O-Posisi
INFORMASI menyedihkan datang dari Kementerian Kesehatan: sekitar 20.000 orang dipasung karena sakit jiwa. Menyedihkan. Sebab, di tengah “pertumbuhan ekonomi nasional” 6,3%, rakyat tak mampu mengobati keluarganya yang sakit jiwa. Padahal, diduga kian banyak orang “gila” (sakit jiwa) karena tekanan ekonomi, lingkungan sosial, dan sejenisnya. Maka, tak heran kalau kemudian banyak kasus bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga, tawuran, “pengantin teroris”, dan lain-lainnya.
Pemasungan tentu tidak manusiawi. Penderita yang patut dikasihani itu malah dibelenggu kakinya memakai kayu. Orang dulu percaya kayu randu paling bagus buat menyembuhkan si gila, padahal kayu randu memang lebih lunak ketimbang jati, misalnya. Orang Jawa menyebut kayu alat pemasungan itu sebagai belok.
Metode “ala kampung” yang dipraktikkan pada zaman dulu adalah pasien diguyuri air dingin atau direndam siang malam, digosoki badannya, serta sering digebuki. Ada yang sembuh—mungkin karena tak tahan menderita kedinginan dan sakit lebam-lebam tiap hari—atau malah mati sekalian. Tak ada yang merasa rugi, sebab keluarganya toh sudah angkat tangan, capek merawat orang gila. Mungkin lebih baik orang lain yang “membunuh” kerabatnya yang sinting itu, sebab mau melakukannya sendiri jelas tak tega. Kalau tega, ya pasti sama-sama gilanyalah.
Kata para ahli, orang sakit jiwa banyak di sekitar kita. Mereka suka aneh-aneh, ganjil. Penderita psikopat suka menyakiti orang lain dengan kata dan tingkah lakunya, antisosial, lalu yang skizoprenia terbelah kepribadiannya. Suatu saat dia bilang antikorupsi, lain kali malah jadi “sponsor” kejahatan itu, dan menikmati hasilnya dengan tenang tanpa sesal tanpa perasaan berdosa.
Dipasung tentu tidak enak, bertentangan dengan prinsip perikemanusiaan. Tapi, yang memasung juga punya alasan kuat. Selain masalah ekonomi, mereka khawatir “si gila” itu mengamuk menyerang warga lainnya. Tidak jarang terjadi kasus pembunuhan oleh “si gila” pada keluarga atau tetangganya. Sudah miskin, tak mampu mengobati keluarganya yang sakit jiwa, apa lantas harus berurusan dengan polisi yang jelas membuat mereka sendiri malah ikut jadi gila karenanya.
Si terpasung umumnya ditempatkan di kandang luar rumah, mirip ternak atau binatang buas. Hujan, angin, panas terik jadi akrab dengan si penderita. Menyedihkan, pendek kata.
Negara dan Pemimpin Terpasung
Kita tak sadar negara kita terpasung oleh kepentingan kapitalis global dan negara adidaya yang kehausan kuasa maupun sumber daya. Semua keputusan strategis bangsa ini didikte dengan tidak semena-mena oleh negara adidaya. Bahkan, UUD ‘45 diobrak-abrik oleh antek-antek mereka di dalam negeri supaya kepentingan “bos besar”-nya dapat terakomodasi. Orang-orang seperti inilah yang oleh Bung Karno dulu disebut cecunguk (Sd, kecoak) bangsa.
Demi kekuasaan, harta benda, mereka tega mengabdi pada negara yang hebat, tempat segala kesenangan duniawi tersedia, tak peduli negara adidaya itu menuju kehancurannya seperti sejarah Mesopotamia, Mesir, Yunani, Babilonia, Atlantis, dan pencipta peradaban lainnya. Menyedihkan, pendek kata.
Yang paling berbahaya adalah jika saja para cecunguk itu kemudian berhasil berkuasa di negeri Zamrud Khatulistiwa ini, dengan segala caranya, dibantu manipulasi data dan trik-trik akal bulus dari kekuatan asing. Itu memasungkan diri, namanya. Sejarah di Nusantara—terutama Jawa—selalu menunjukkan bahwa para aristokrat, feodal, harus menerima tawaran asing seperti Belanda, Portugis, atau Inggris supaya mereka bisa berkuasa. Kebiasaan itu keterusan sampai sekarang.
Sekarang penjajah itu bernama Amerika Serikat yang merasa sok pintar, sok kuasa, sok demokratis, merasa dirinya paling baik dan harus jadi polisi dunia. Jelasnya saja, negara itu “gila” segalanya sehingga banyak orang frustrasi yang membunuhi warga lainnya dengan alasan tidak jelas sama sekali. Jadi, negara adidaya itu kini sudah 200% gila dan menuju kehancurannya sendiri, mengganyang peradabannya seperti sejarah kebudayaan dulu.
Perlu Pengobatan Kuno
Oleh karena itu, kalau saja ada [kalau ada] pemimpin yang menggantung pada kekuatan asing, kemudian didorong nafsu berkuasa untuk hidup enak, maka dia sudah terpasung. Apalagi jika dia punya latar belakang atau sejarah hidup yang kelam, maka faktor ini menjadi faktor kelemahan, sekaligus menjadi “kayu randu” pemasung yang efektif, selamanya jadi tertawaan dan mainan siapa saja yang jadi musuh dan “kawannya”.
Akibat terpasung, orang itu menjadi lembek, tak tegas, plinthat-plinthut, maju mundur, seolah tak peduli masalah rakyat, dan lebih suka menyenangkan dirinya. Untuk itu ia takluk sepenuhnya dan menuruti kehendak sang juragan. Ia sudah terpasung lahir dan batin. Kalau sudah begini, rakyatlah yang dirugikan. Naudzubillahmindzalik. Dia tampaknya perlu perlakuan pengobatan cara kuno: “diguyuri air dingin atau direndam siang malam, digosoki badannya, serta sering digebuki.” Gimana?
0 comments:
Post a Comment