<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Tirakat Sepihak

Tirakat Sepihak

Prie GS

Naik salah, tidak naik salah. Tegas salah, tidak tegas salah.  Menyegerakan salah, menunda salah. Tegasnya, tidak ada yang benar di dalam keadaan serba salah. Tapi apakah benar ada hasil yang sama dari sebuah keadaan yang berbeda? Jawabnya pasti salah. Karena antara memutuskan dan tidak memutuskan jelas dua perbuatan berbeda. Antara menunda dan menyegerakan pasti dua keputusan yang berbeda. Antara menaikkan dan menurunkan juga dua kegiatan berbeda. Jadi mustahil  jika dari  dua  tindakan berbeda bisa menghasilkan risiko yang sama: sama-sama salah. Dari dua keadaan itu pasti ada salah satu yang salah, dan satu yang benar.

            Kenaikan BBM itu untuk sebuah kesehatan jangka panjang, bagi sementara pendapat, bukan cuma valid dan benar, tapi  harus.  Dan pemilik pendapat itu adalah tokoh-tokoh dengan reputasi tinggi. ‘’Kalau tidak naik, Agustus kita akan kesulitan,’’ kata Dahlan Iskan.  Karena saya percaya pada tokoh ini, sampai-sampai saya tidak perlu belajar ekonomi untuk mengerti logikanya. Yang terjadi ialah saya percaya saja. Itulah enaknya orang yang percaya. Tidak punya ilmunya saja bisa percaya. Itulah juga enaknya orang yang dipercaya. Bicara apa saja dipercaya.

            Tapi kenapa  gagasan yang dianggap benar itu menimbulkan penolakan sedemikian rupa? Karena ternyata yang menaikkan BBM bukan Dahlan Iskan tapi Pemerintah.  Kepercayaan kepada seorang Dahlan ternyata tidak otomatis kepercayaan kepada Pemerintah.  Jadi ini bukan soal ide, ini soal reputasi.  Ada sebuah reputasi yang sedemikian rupa, sehingga apapun yang dikerjakan, terkesan salah. Inilah soal utamanya.

            BBM naik berkali-kali, tetapi kenapa rencana kenaikan yang kali ini menimbulkan reaksi yang amat berbeda? Sebuah reaksi yang sebetulnya menakutkan. Keputusan belum dibuat, tapi rusuh sudah pecah di sana-sini. Presiden baru mengusulkan, dan DPR boleh menolak atau menyetujui, tetapi reaksi kemarahan  benar-benar telah menjadi. Sebagai awam, terlintas juga jangan-jangan ini berlebihan. Jangan-jangan ini dikendalikan dan disponsori.  Jangan-jangan ini memang bukan soal BBM tetapi soal alat saja untuk menghantam kekuasaan .

            Kalau skenario itu memang terjadi, bangsa ini sungguh  cuma akan terlibat bongkar pasang tak berkesudahan. Kalau kekuasaan ini dengan paksa diturunkan, kekuasaan yang  besok  juga akan menunggu giliran . Jadi jangan hanya gagah ketika menjadi pengganggu penguasa, tetapi akan sama bingungnya ketika sudah menjadi penguasa. Tak ada artinya.  Politik di Indonesia tidak perlu menyiapkan tradisi dendam turunan yang tak akan berkesudahan. Maka penting membatasi ekskalasi ini di tingkat pembelajaran, bukan untuk melancarkan syahwat  kekuasaan tandingan. Karena percayalah, kalau engkau mencari kekuasaan dengan cara mengganggu, kekuasaanmu juga cuma akan diganggu.

            Maka demo-demo yang  brutal itu, harus dibatasi sebagai kritik yang amat keras kepada pemerintah itu saja. Bukan alat penghancur negara yang sedang  terbata-bata kita bangun bersama ini. Semua pihak harus sepakat soal ini termasuk media. Selama ini media hanya berfokus kepada ‘’apa’’ dan tidak kepada ‘’bagaimana’’. Gambar-gambar kerusuhan itu sungguh dipajang dengan perasaan merdeka dan seolah-olah restu atasnya. Dan yang disebut pemerintah itu juga bukan cuma presiden tapi juga anggota dewan dengan segenap citranya itu. Bahwa penolakan atas kenaikan BBM itu, bukan penolakan atas ide, tetapi penolakan atas integritas. Tegasnya, walau bagus dan benar  idenya kalau datang dari pihak yang buruk reputasinya, tak banyak artinya. Sebaliknya, meskipun agak selebor caranya, sampai harus melempar kursi segala, kalau itu Dahlan Iskan yang melakukan, malah menimbulkan sensasi di media.

            Jadi betapa satu keputusan saja, untuk diterima dan ditolak membutuhkan mata rantai integritas yang panjang di sebaliknya. Untuk membuat  satu lemparan kursi yang melancarkan arus tol, seseorang harus membangun diri demikian lama sampai menjadi seorang Dahlan Iskan. Jadi, seandainya, korupsi tidak semerajalela ini, ide kenaikan BBM itu pasti akan dipahami sebagai tirakat bersama saja.  Tapi masalahnya sementara ada pihak yang dipaksa  melulu tirakat, ada pihak yang sibuk memainkan proyek dan membongkar pasang toilet mewahnya.  Nyaris tak ada bukti bahwa kita siap tirakat bersama-sama.

Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger