<div style='background-color: none transparent;'></div>

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
HumOr Edisi: 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 Januari - Desember 2018 - Tahun ke VII

HumOr edisi V Mei 2012

Monday, April 30, 2012

Kartun Jitet Koestana - Design: dms

Gaji
Mula-mula orang mengenalnya sebagai upah, lalu pendapatan, lalu salary. Tapi orang sekarang lebih suka dengan istilah take home pay. Artinya, gaji yang bersih dan berwibawa.

Naik
Kelakuannya bisa ditebak; kalau ia berhubungan dengan gaji, orang jingkrak-jingkrak kegirangan, tapi kalau berkaitan dengan harga kebutuhan sehari-hari, langsung orang mencak-mencak kegerahan.

Harga
Sebenarnya ia netral dan fleksibel; celakanya, justru karena begitu itu, nasibnya lebih banyak susah dan jadi kambing hitam.

Disesuaikan
Cara halus untuk menonjolkan kesan, betapapun sakitnya "siksaan" harga naik, kalau diucapkan dengan santun dan berbudi, rasanya pasti lain, deh.

Bengong
Cara terbaik untuk merespon pameran lomba kejar-mengejar antara gaji dan harga naik!

Proteksi
Perlindungan pemerintah terhadap swasta dalam bidang niaga. Berhubung kesepakatan APEC: perlu adanya persaingan terbuka di pasar bebas, istilah itu langsung jadi masa lalu, gitcuuu!

Proposal
Benda ini repot membuatnya, tapi sekarang citranya lebih banyak jadi bahan guyonan.

Problem
Penggemar bidang ini biasanya suka ngomong, "No Problem" ke orang lain dan memang betul; karena, dia sendirilah yang menjadi biang segala masalah.


Ekonomi
Ilmu mengenai asas-asas pemanfaatan uang, tenaga, waktu, usaha dan sebagainya dengan idealisasi: modal dengkul untung berkarung-karung.

Ekonomis
Bersifat hati-hati di pengeluaran; tapi di pemasukan, ramahnya minta ampun.

Ekonom
Mestinya sih, ahli ekonomi; tapi kalau lagi sakit gigi, bawaannya marah-marah melulu.


Ekosistem
Lingkaran lucu: si kuat memangsa si lemah, tapi pada batas tertentu yang terjadi justru, si "lemah" memangsa si "kuat".

Eko
Emang apa lagi kalau bukan nama orang? Lagian artinya pun: cuma atuk!

Listrik
Sering diartikan bolam. Kalau bolamnya tidak nyala, orang bilang, "Wah, listriknya mati!"

Katoda
Tak ada hubungannya dengan Kateda. Kalau dipaksa juga artinya adalah: karate tonaga dasar.

Anoda
Sama dengan katoda, cuma jenis kelamin arusnya beda. Lha, Afrizal Anoda, lain lagi; ia, pernah main film.

Setrum
Perkawinan antara anoda dan katoda; kalau dipencet berbunyi: wouwwwwww!!!

Naik
Alasannya selalu berbunyi: berhubung kebutuhan bahan-bahan baku meningkat dan adanya laju inflasi, maka dengan ini: kami naik!

Turun
Ah, mustahil!

Swasta
Bukan negeri, bukan juga negara. Jadi...ya artinya begitu itu.

Kredit
Kredit adalah pinjaman lunak atau keras oleh bank atau perseorangan dengan jaminan: beres, deh!

Macet
Kredit macet adalah kredit yang ketahuan macet. Yang tidak, ya tenang-tenang saja.

Bank
Bank adalah terminal tempat uang nasabah datang dan pergi dengan aturan main tak lebih lucu dari terminal bus kota.

Referensi
Referensi adalah jaminan sakti meskipun abstrak, namun pengaruhnya, bisa membuat gemetar para bankir.

Bankir
Bankir adalah penguasa bank, meskipun pada praktiknya, ia adalah pelaksana dari sejumlah memo, referensi dan katebelece lainnya.

Suksesi
Suksesi adalah kata lain untuk: gantian, dong!

Sukses
Sukses adalah suka-suka terus walau ada ekses.

Sesi
Sesi adalah bagian daripada kesatuan. Isinya, obrolan yang bikin risi.

Seksi
Seksi adalah bagian daripada kesesatan. Penyebabnya, padat dan berisi.

Seks
Seks adalah bagian daripada lelucon. Suka ngelantur dan agak brengseks.

Sarjana
Konon sih termasuk kelompok orang-orang pandai, walaupun tidak selalu harus pandai menciptakan pekerjaan.

Balada Penganggur
Sungguh malang, sudah tak punya penghasilan; ketambahan lagi tak punya hari libur.

Pemeras
Sejak tugasnya digantikan mesin cuci, apa boleh buat, cari korban lain.

TKI
Kelompok manusia pemberani; berani menderita, berani makmur, berani miskin dan berani mati!

Oknum
Tugasnya selalu jelas: cari untung dari kemalangan pihak lain.
Continue Reading | comments

Dunia Ramai Karena Ini


Jitet Koestana

Gaji
Mula-mula orang mengenalnya sebagai upah, lalu pendapatan, lalu salary. Tapi orang sekarang lebih suka dengan istilah take home pay. Artinya, gaji yang bersih dan berwibawa.


Naik
Kelakuannya bisa ditebak; kalau ia berhubungan dengan gaji, orang jingkrak-jingkrak kegirangan, tapi kalau berkaitan dengan harga kebutuhan sehari-hari, langsung orang mencak-mencak kegerahan.


Harga
Sebenarnya ia netral dan fleksibel; celakanya, justru karena begitu itu, nasibnya lebih banyak susah dan jadi kambing hitam.


Disesuaikan
Cara halus untuk menonjolkan kesan, betapapun sakitnya "siksaan" harga naik, kalau diucapkan dengan santun dan berbudi, rasanya pasti lain, deh.

 
Bengong
Cara terbaik untuk merespon pameran lomba kejar-mengejar antara gaji dan harga naik!


Proteksi
Perlindungan pemerintah terhadap swasta dalam bidang niaga. Berhubung kesepakatan APEC: perlu adanya persaingan terbuka di pasar bebas, istilah itu langsung jadi masa lalu, gitcuuu!


Proposal
Benda ini repot membuatnya, tapi sekarang citranya lebih banyak jadi bahan guyonan.



Proyek
Sebuah nama yang jadi rebutan banyak orang; begitu dahsyat daya tariknya, sehingga lebih menarik daripada gadis yang paling cantik sekalipun. Bahkan, kadang kala seorang gadis dikorbankan supaya bisa mendapatkannya.


Program
Salah satu mata acara yang paling banyak penggemarnya. Setiap rapat kantor, pertama-tama pasti menyebut dia. Sebanyak-banyaknya, karena realisasi, biasanya kurang digemari.


Problem
Penggemar bidang ini biasanya suka ngomong, "No Problem" ke orang lain dan memang betul; karena, dia sendirilah yang menjadi biang segala masalah.


Tahun
Mengapa isinya 12 bulan dan dimulai Januari lalu diakhiri Desember? Ini pasti kerjaan orang-orang dulu yang iseng; padahal, boleh saja satu tahun sama dengan 18 bulan, contohnya: gaji pegawai swasta bonafid.


Baru
Sulit dibuat pengertian yang pas, karena sangat tergantung kapan dan bagaimana kita mengatakannya.


Bulan
Contoh pemberian porsi yang lucu. Ada yang dijatah 28, ada yang 29,  30, ada pula yang 31.


Minggu
Sering membuat orang bingung membedakan nama hari atau kumpulan hari yang jumlahnya tujuh.

 
Hari
Ternyata bukan monopoli waktu, karena hari Mukti, hari Roesli, hariman Siregar dan lain-lain juga suka dipanggil hari.

 
Ekonomi
Ilmu mengenai asas-asas pemanfaatan uang, tenaga, waktu, usaha dan sebagainya dengan idealisasi: modal dengkul untung berkarung-karung.



Ekonomis
Bersifat hati-hati di pengeluaran; tapi di pemasukan, ramahnya minta ampun.

 
Ekonom
Mestinya sih, ahli ekonomi; tapi kalau lagi sakit gigi, bawaannya marah-marah melulu.

 
Ekosistem
Lingkaran lucu: si kuat memangsa si lemah, tapi pada batas tertentu yang terjadi justru, si "lemah" memangsa si "kuat".

 
Eko
Emang apa lagi kalau bukan nama orang? Lagian artinya pun: cuma atuk!



Listrik
Sering diartikan bolam. Kalau bolamnya tidak nyala, orang bilang, "Wah, listriknya mati!"



Katoda
Tak ada hubungannya dengan Kateda. Kalau dipaksa juga artinya adalah: karate tonaga dasar.

 
Anoda
Sama dengan katoda, cuma jenis kelamin arusnya beda. Lha, Afrizal Anoda, lain lagi; ia, pernah main film.

 
Setrum
Perkawinan antara anoda dan katoda; kalau dipencet berbunyi: wouwwwwww!!!

 
Naik
Alasannya selalu berbunyi: berhubung kebutuhan bahan-bahan baku meningkat dan adanya laju inflasi, maka dengan ini: kami naik!

 
Turun
Ah, mustahil!



Swasta
Bukan negeri, bukan juga negara. Jadi...ya artinya begitu itu.




Swadaya
Upaya sendiri, tidak pake bantuan, apalagi ngutang dari negara lain. Kalo Niaga Swadaya itu nama distributor di Gunung Sahari, Jakarta.

 
Swa Sembada
Biasanya sih, nama majalah bisnis; bukan bisnis majalah.

 
Swalayan
Buat nama toko sih, enak. Tapi untuk yang lajang, duda dan janda, sungguh terkesan gimana gitu.

 
Swami
Nama grup musik country yang sekali muncul, dan ternyata nggak muncul-muncul lagi.

 
Kredit
Kredit adalah pinjaman lunak atau keras oleh bank atau perseorangan dengan jaminan: beres, deh!


 
Macet
Kredit macet adalah kredit yang ketahuan macet. Yang tidak, ya tenang-tenang saja.



Bank
Bank adalah terminal tempat uang nasabah datang dan pergi dengan aturan main tak lebih lucu dari terminal bus kota.



Referensi
Referensi adalah jaminan sakti meskipun abstrak, namun pengaruhnya, bisa membuat gemetar para bankir.

 
Bankir
Bankir adalah penguasa bank, meskipun pada praktiknya, ia adalah pelaksana dari sejumlah memo, referensi dan katebelece lainnya.

 
Suksesi
Suksesi adalah kata lain untuk: gantian, dong!

 
Sukses
Sukses adalah suka-suka terus walau ada ekses.

 
Sesi
Sesi adalah bagian daripada kesatuan. Isinya, obrolan yang bikin risi.

 
Seksi
Seksi adalah bagian daripada kesesatan. Penyebabnya, padat dan berisi.



Seks
Seks adalah bagian daripada lelucon. Suka ngelantur dan agak brengseks.

 
Sarjana
Konon sih termasuk kelompok orang-orang pandai, walaupun tidak selalu harus pandai menciptakan pekerjaan.


Balada Penganggur
Sungguh malang, sudah tak punya penghasilan; ketambahan lagi tak punya hari libur.

 
Pemeras
Sejak tugasnya digantikan mesin cuci, apa boleh buat, cari korban lain.

 
TKI
Kelompok manusia pemberani; berani menderita, berani makmur, berani miskin dan berani mati!

 
Oknum
Tugasnya selalu jelas: cari untung dari kemalangan pihak lain.

(dms)
Continue Reading | comments

Krisis Budi Pekerti


Prie GS
Sudah lama pendidikan budi pekerti dilenyapkan dari sekolah, sudah tak terhitung berapa banyak pihak yang meratapi kehilangan ini, tetapi sekolah kita tetap pada pendiriannya. Mata pelajaran itu tak layak ada. Ini artinya, di mata sekolah, pelajaran itu remeh adanya. Kini, secara sosial, Indonesia harus menghadapi realitas yang amat mencengangkan: krisis budi pekerti yang dari ke hari grafiknya terus meninggi.
Kolom ini ditulis bersamaan dengan kematian dua orang remaja (dan kematian remaja lainnya yang luput dari media) hanya gara-gara mempertahankan handphone-nya. Akibatnya: para perayah handphone itu langsung mencabut celurit dan memburai usus korbannya. Belum cukup, datang lagi temannya, ikut mencincang tubuh itu sebagai pesta solidaritas bersama, dan setelah itu ia mandi dan tidur sangat nyenyak. Ia baru bangun setelah polisi mencokoknya. Sambil digelandang pun anak itu masih belum penuh kesadarannya. Hampir selalu, seluruh cerita berdarah semacam ini ditutup dengan satu tersangka utama: alkohol.
Benar, anak-anak itu memang menggila karena pengaruh alkohol. Tetapi alkokol itu hanya sebuah titik dari sederet panjang garis yang tidak sederhana, yang panjang prosesnya, dan bertali-temali variabelnya. Saya bayangkan, anak-anak yang diasuh alkohol itu adalah anak-anak yang nyaris tanpa asuhan sama sekali di manapun dia berada.
Di rumah, mereka tidak pernah bertemu pendidikan melainkan hanya bertemu kemiskinan dan kekacauan. Ada bapak yang sudah miskin, menganggur, masih pemalas pula. Sudah pemalas, masih doyan berjudi pula. Sudah judi gemar mabok pula dengan rajin memukuli istri sebagai selingan hariannya.
Di televisi, anak-anak ini bertemu acara dengan rating sebagai tujuan akhirnya. Maka apapun isinya, asal tingi ratingnya, ia akan menjadi hiasan abadi di televisi. Karenanya anak-anak yang bahkan kesulitan membayar uang sekolah itu, harus histeris mengirm SMS untuk memenangkan idola mereka di berbagai lomba. Lalu mereka dilatih untuk cuma sibuk terpana pada prestasi pihak lain sambil lupa mengurus prestasi mereka sendiri.
Di koran-koran, mereka membaca aneka berita tentang pejabat negara yang hampir setiap kali menjadi terangka. Mereka mendengar ada jembatan ambrol sebelum waktunya, ada anggota dewan nyabu di sana, terima suap di sini, dan berforo mesra di situ. Di jalan, mereka melihat motor kreditan merajalela dan adab berkendara yang nyaris kanibal pada etika.
Di sekolah, mereka hanya sanggup bertemu dengan sekolah-sekolah murah, karena cuma sekolah itu yang mau menerima. Apakah sekolah ini berbaik hati? Tidak, karena memang cuma anak-anak terpaksa saja yang datang pada mereka. Tetapi adakah sekolah ini layak diberi beban mengasuh anak-anak yang bahkan keluarganya sendiri gagal mengurusnya? Jangankan mengurus murid, bahkan membayar gaji guru-gurunya saja, sekolah ini sudah sangat bersusah payah.
Tetapi jangankan sekolah yang dianggap buruk mutu, di sekolah yang dianggap baik mutu saja, mudah saja ditemukan aneka praktek tidak bermutu. Tapi jangankan cuma sebuah sekolah, semutu apapun sebuah, jika cuma sebuah, kuat apa ia melawan sistem pendidikan yang kepalang kaprah, yang sibuk mengurus proyek katimbang mengurus budi pekerti. Jadi, pelajaran yang amat kita butuhkan itulah yang justru pejaran yang secara sadar kita lenyapkan.
Continue Reading | comments

Kemesraan Ini Semoga Cepat Berlalu by Joko Luwarso


Continue Reading | comments

Gemuruhnya Para Buruh

riekediahpitaloka.com

Continue Reading | comments

Musyawarah untuk Nekad

riekediahpitaloka.com

Continue Reading | comments

Berantas Korupsi

Jim B Aditya


Continue Reading | comments

Oh Bunda....!

sumber: sutiadi

Continue Reading | comments

Drama on Monday by Rw Mulyadi


Continue Reading | comments

Ini Ibu Budi Itu Bapak Budi

sumber: wdp

Continue Reading | comments

Sama-sama Kuning Beda Telor by Gom Tobing


Continue Reading | comments

Wawancara Imajiner dengan Bung Karno n Pak Harto


Darminto M Sudarmo

MALAM ini langit agak mendung. Terus terang saya agak gelisah. Bulu kuduk berdiri. Bukan karena melihat hantu; tetapi karena melihat proyeksi bayangan sendiri. Orang yang rutin membaca koran, majalah atau tabloid apalagi, pasti merasakan itu. Mendengarkan radio, menonton berita di televisi, hampir tak ada bedanya. Negeri ini seperti tengah diancam oleh suatu kekuatan tak terlihat yang sedang bergerak. Begitu dramatiknya pers melukiskan proyeksi-proyeksi itu. Saya hanya bisa bertanya dalam hati, benarkah negara kesatuan Republik Indonesia yang elok ini berada dalam situasi bagai telor  di ujung tanduk? Atau justru sebaliknya, bagai  tanduk di ujung telor?
            Seorang rekan menyarankan agar saya “iseng-iseng”  mencoba bertanya pada pendiri dan “pembangun” negeri ini lewat obrolan lintas ruang alias imajiner, siapa tahu bisa ditemukan nalar dan pencerahan. Menarik juga usul itu. Saya pun mencobanya. Tapi bagaimana caranya? Setelah saya mempelajari beberapa metode yang ada; misalnya dengan meditasi sebagaimana disarankan Prof. DR. dr. Luh Ketut Suryani, Anand Krishna, Merta Ada, tampak juga tanda-tandanya. Dan kunci persoalannya terletak pada bagaimana mengelola nafas dan konsentrasi. Di barat, salah satunya dikenal dengan istilah Metode Silva; yaitu melakukan proses penurunan gelombang otak dari kondisi sadar ke kondisi Alfa. Suatu kondisi setengah sadar dan setengah tidak sadar. Seperti orang yang riyep-riyep mau tidur tapi waskita. Dalam bahasa sehari-hari di lingkungan saya dikenal dengan istilah: khusuk.
            Setelah melewati sejumlah tahapan dan proses, saya mulai melihat sebuah wilayah di ujung cakrawala. Meskipun remang-remang, tapi bisa terdeteksi tanda-tanda yang khas. Ya, wilayah itu ternyata sebuah daerah istimewa yang resmi berdiri pada 7 Desember 1956. Dasar hukum pendiriannya berdasarkan Undang-undang No. 24/1956. Luas wilayahnya saat itu, 55.390 km2 atau 2,88% dari wilayah Indonesia. Mayoritas penduduknya beragama Islam (97, 8%). Ya, dan ada yang sangat menarik, lambang daerahnya dinamakan Pancacita atau lima cita; muatan maknanya, keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan dan kesejahteraan. Tetapi mengapa dari makna-makna yang bagus itu tiba-tiba melintas gambaran gelisahnya manusia yang berjumlah ribuan itu tampak sedang  berlarian ke berbagai jurusan; ada yang  ke selatan, utara, timur, barat dan lain-lainnya? Sedang apa mereka? Mengapa mereka tampak marah-marah, menangis dan menuntut sesuatu yang rupanya telah lama tidak mereka miliki lagi.
            Saya meningkatkan voltase konsentrasi untuk mencapai channel yang lebih tinggi; yakni, sebuah wilayah gelombang yang mampu menampilkan visual lebih jelas -- sebut saja sebuah fasilitas mega digital --  sehingga kami dapat secara intens berinteraksi. Benar!  Layaknya tubuh dan jiwa  saya tersedot ke dalam layar CD games tiga dimensi, langsung berhadapan dengan sang jagoan; sungguh peristiwa ini membuat saya nervous setengah mati. Sang jagoan yang saya maksudkan di alam yang tak saya ketahui itu adalah Bung Karno.
            “Heh! Gedubrakan kayak orang sableng; kamu ini siapa?” tanya Bung Karno.
            “Maaf, Bung! Saya orang biasa, seorang hamba Allah,” jawab saya masih kemanjon.
            “Mau apa blusukan ke mari. Mau niru-niru Christianto Wibisono yang sekarang ngambeg dan tinggal di Amerika Serikat, itu?”
            “Secara teknis memang iya, tetapi secara substansi, tidak.”
            “Tidak bagaimana? Memangnya aku bodoh? Aku tahu, kerjamu itu usil, tukang tanya pada orang lain; lalu jawaban orang yang kamu tanya, kamu siarkan ke orang yang lain lagi. Tumbak cucukan. Begitu, kan? Bukan hanya itu. Setahu saya kamu juga suka bikin plesetan. Apa aku ini juga akan kamu plesetkan?”
            “Wah, kalau yang itu saya tidak tahu, Bung. Saya cuma menjalani pekerjaan yang memang sudah digariskan takdir.”
            “Ha-ha-ha…Tuhan memang maha jenius; dunia juga diisi orang-orang gendheng macam kamu supaya yang lain  bisa ketawa. Ibarat senar gitar tidak mudah putus karena  sehabis dipakai dikendorkan lagi; ha-ha-ha!”
            Saya cuma bisa celingak-celinguk. Tapi apa boleh buat. Saya sudah sampai di sini. Pantang untuk surut kembali.
            “Tapi, Bung. Pertanyaan yang akan saya ajukan ini serius, lho. Mohon Bung, bisa jawab serius, juga.”
            “Lho, humor itu juga serius, lho. Humor yang tidak serius itu tempatnya di RSJ; di sana,  kontrol tak ada, sudah dol. Jangan under estimate sama humor; kuwalat sama profesimu sendiri, lho!”
            Ceilaaa! Bahagia juga hati saya; ada orang yang bisa mengapresiasi humor dengan baik. Sense of humor beliau boleh juga.
            “Baik, Bung. Saya telah melihat sebuah wilayah yang rakyatnya -- atau paling tidak sejumlah pihak yang mengaku mewakili suara hati nurani rakyatnya – kini tampak tengah sibuk menyanyikan lagu berjudul referendum. Saya tidak tahu pasti, apakah syairnya berbunyi: federasi, merdeka penuh, atau kesatuan; tetapi saya hanya merasakan sesuatu yang tak enak di hati. Sebagai salah seorang pendiri republik ini, bagaimana pendapat Anda melihat situasi yang seperti itu?”
            “Kamu mestinya menyimak secara seksama pidato saya pada 17 Agustus 1950. Saat itu adalah momentum kembalinya seluruh bangsa Indonesia ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengapa RIS (Republik Indonesia Serikat)  yang berbau federalisme itu tak bertahan lama?  Mengapa pada saat itu semua dengan rela hati menggabungkan diri ke Negara Kesatuan? Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Madura, Jawa Tengah, daerah-daerah di Kalimantan, Padang, Sabang, Sumatera Timur hingga Indonesia Timur menggabungkan diri? Ide Negara Kesatuan itu meliputi dari Sabang sampai Merauke; dari Ulusiau sampai Kupang. Mengapa mereka bisa memiliki niat yang sama? Bukan saya yang harus menjawabnya. Kalau sekarang misalnya, Aceh mbalelo; Papua bertingkah, Maluku gelisah; secara ide niat itu berarti mementahkan kesepakatan Negara Kesatuan RI; tetapi secara moral, mengapa mereka sampai memunculkan gagasan seperti itu? Apa saja yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya? Itulah kunci persoalannya.”
            “Kalau persoalan ketidakadilan dan ketidakmerataan bukankah pemerintah sudah punya niat baik untuk merealisasikannya? Tetapi mengapa situasinya tetap juga mengkhawatirkan?”
            “Ah, kamu ini. Kamu paksa saya untuk bicara masalah yang klise dan klasik. Apakah yang disebut sebagai masyarakat yang berkeadilan sosial? Masyarakat keadilan sosial, kecuali berdasar atas pembagian bekal-bekal hidup dan alat-alat hidup secara adil tetapi juga tersedianya bekal-bekal hidup dan alat-alat hidup itu sebanyak-banyaknya. Mereka, bukan saja meminta distribusi secara adil tetapi juga meminta adanya produksi yang secukupnya. Mereka meminta adanya pertanian yang luas dan tinggi mutu. Juga meminta adanya pabrik-pabrik yang berefisiensi tinggi. Mereka meminta adanya komunikasi dan lalu-lintas perhubungan yang sempurna; meminta adanya rakyat yang tidak buta huruf atau SDM yang memadai; meminta adanya teknologi tepat-guna; meminta adanya keamanan dan ketenteraman; meminta adanya semangat kebersamaan yang membawa berkah bagi seluruh masyarakat. Dan semua itu tidak dengan sendirinya jatuh dari langit. Pemerintah pusat berkewajiban mewujudkannya; menjelmakannya!”
            Berhubung halaman sangat terbatas, saya buru-buru pamit pada Bung Karno dan putar channel ke gelombangnya Pak Harto.
            “Sugeng ndalu, Pak?” sapa saya sesuai kaidah adat istiadat Jawa.
            “Oh, selamat malam. Ada apa, Mas?” tanya Pak Harto tetap dengan senyum full pede.
            “Meskipun tersirat, Bung Karno sempat menyinggung soal gelombang sparatisme yang belakangan melanda Indonesia karena perilaku salah pemerintah yang lalu; maksudnya pemerintahan Orde Baru. Bagaimana menurut pendapat Bapak?”
            “He-he-he…namanya daripada pembangunan itu, memang butuh daripada pengorbanan. Jer basuki mawa beya. Ya, to? Jadi sudah sepantasnya sebagai saudara sebangsa dan setanah air, pihak yang kuat harus membantu daripada pihak yang lemah. Jadi kita harus ambeg parama arta. Mulat sarira angrasa wani. Sigra tan magita. Sadumuk bathuk, sanyari bumi. Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh, aja gugupan. Ya, to? Ya, to?”
            “Saran Bapak untuk pemerintahan sekarang?”
            “Kita ini kan bangsa daripada yang berbudi luhur. Jadi ya harus bisa melakukan daripada  mikul dhuwur, mendhem jero. Menghormati daripada jasa-jasa senior dan menyembunyikan serapat-rapatnya dosa-dosa dan kesalahan daripada sang senior itu. Sebagai pemimpin harus bisa mengamalkan daripada delapan kebajikan, seperti yang termuat dalam serat  daripada Hasta Brata, begitu. Pemimpin harus bertindak seperti daripada Matahari, Bulan, Bintang, Bumi, Angin, Laut, Api dan Air.”
            “Kok Bapak nyontek Raden Ngabehi Ronggowarsito?”
            “Ah, nggak apa-apa. Dia juga nyontek daripada Prabu Rama Wijaya.”
            Saya balik ke keadaan sadar. Malam sudah makin larut.

                Bahan: Anatomi Lelucon di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2004.
Continue Reading | comments

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger