Bambang Haryanto |
"Rambut wanita mana yang paling lebat, paling hitam dan paling keriting ?"
Itu pertanyaan Gus Dur kepada saya. Momen itu terjadi di toko buku Gramedia Blok M, Jakarta, 25 Oktober 1986. Saya gelagepan dan tak bisa menjawabnya. Apa jawab Gus Dur sendiri ?
Tunggu dulu.
Mari kita segarkan ingatan kita tentang dirinya. Bahwa 30 Desember 2012, adalah tepat 3 tahun wafatnya beliau. Banyak kenangan ditulis tentang Gus Dur. Antara lain seorang wartawan senior majalah Tempo, Syubah Asa, pernah menulis kenangannya :
”Di masa-masa itu, ketika TEMPO masih berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, sekitar akhir 1970-an sampai 1980-an, Gus Dur kerap datang untuk menulis kolomnya. Produktif sekali. Kalau tidak salah, yang satu belum dimuat, sudah datang yang lain.
Andaipun terpaksa ada (tulisan –BH) kolom yang harus kembali, saya kira dia juga tidak peduli. Repot-repot amat. Tapi, saya lupa mengenai itu. Yang jelas, produktivitas Gus Dur membuat Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi ketika itu, menyarankan kepada saya agar mengurus satu meja khusus plus mesin ketik untuk dia.
Gus Dur orangnya segar. Datang dengan gaya seperti selalu siap untuk ngobrol, pakai sandal, tidak pernah sepatu, pakai hem lengan pendek, tidak pernah pakai peci, apalagi dasi. Selalu punya lelucon yang membuat orang tergelak-gelak. Setelah ger-geran sedikit, baru ia menuju mejanya dan mulai mengetik.”
Kisah kedekatan Gus Dur dengan perpustakaan antara lain petikannya : "Hanya, kalau mau mencari kelemahan Gus Dur, kelemahan itu ada pada hal-hal kecil. Bisa termasuk data teknis, meskipun ia orang yang akrab dengan perpustakaan. Percakapan saya dengan dia itu sendiri berlangsung di perpustakaan — dan perpustakaan TEMPO, kan, cukup bagus.
Gus Dur ke perpustakaan mencari ide, menimba, atau mengecek pikiran atau gagasan. Tokoh seperti dia kan suka ide-ide segar, termasuk yang bagi banyak orang terasa menyentak. Misalnya, yang terakhir, kata-katanya di perayaan Cap Go Meh bahwa sekarang inilah saat kita mengembangkan perbedaan. “Makin berbeda kita, makin jelas di mana titik-titik persatuan kita.” Komplitnya ada di : http://tinyurl.com/a4lugzx.
Kedekatan beliau dengan perpustakaan mungkin itu yang membuat para pendukungnya, Gusdurian, mendirikan Pojok Gus Dur di kantor pusat PBNU, Jakarta. Sebuah perpustakaan mini dan ruang diskusi. Saya pernah main-main kesana (foto). Laporannya ada di : http://komedian.blogspot.com/2011/10/pojok-gus-dur-warisan-guru-bangsa-dan.html
Sejak dua tahun lalu, untuk mengenang dan mengabadikan sosok Gus Dur sebagai humoris, saya memromosikan agar tanggal 30 Desember didaulat sebagai Hari Humor Nasional. Pada tahun 2001, pada tanggal yang sama, adalah saat seorang humoris, pelawak intelektual, Dono (Wahyu Sardono) Warkop meninggal dunia. Wacana tentang hal tersebut dapat Anda simak dalam tulisan pengamat humor, Darminto M Sudarmo, di : http://hiburan.kompasiana.com/humor/2011/12/30/tanggal-30-desember-hari-humor-nasional-425973.html
Usul-usil saya itu ikut pula menghias isi buku saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau (Imania, 2012). Buku ini dan edisi sebelumnya telah dikoleksi oleh Library of Congress di Amerika Serikat. Lokasi tepatnya di : http://lccn.loc.gov/2010441503.
Terakhir, silakan kunjungi tautan ini : http://tinyurl.com/7lkq673. Di dalamnya tersaji jawaban Gus Dur sendiri tentang teka-teki yang beliau lontarkan kepada saya 26 tahun yang lalu itu.
Selamat terbahak.
Semoga arwah beliau kini senantiasa sejahtera di sisiNya.
Wonogiri, 30 Desember 2012
0 comments:
Post a Comment