Prie GS |
Maka, menghentikan bayangan hanya sebatas pada soal-soal yang terbayangkan adalah soal gampang. Jadi jangan heran jika hasilnya juga terbatas pada soal-soal yang berkelas gampangan, yang orang lain mudah meniru dan mendapatkan juga tak perlu latihan. Itulah rezeki para penonton yang bisa diperoleh tanpa harus berusaha kecuali kesanggupannya untuk menonton.
Tapi hasilnya, cuma sebegitulah kelas rezeki penonton. Sudah masuk harus membeli tiket, di dalam harus berisiko menjadi korban tawuran. Sudah rugi duit, rugi pula keselamatan. Beda nian dengan pemain apalagi pemain bintang. Rezekinya sungguh berkebalikan. Apa yang tak diperoleh penonton adalah apa yang diberikan kepada pemain termasuk pujian. Jika ada pemain pujaaan rasanya belum ada penonton pujaan. Bahkan soal pujian saja penonton tak kebagian. Hidup yang tak pernah dipuji sungguh setara dengan mati.
Mudah sekali membayangkan menjadi penonton tapi tak mudah membayangkan menjadi pemain apalagi pemain bintang. Karenanya sedikit saja orang yang mau bersusah-payah bahkan hanya soal membayangkan. Makin sedikit membayangkan, makin sedikit kemungkinan. Makin sedikit kemungkinan makin sedikit peluang. Makin sedikit peluang makin sedikit yang bisa dikerjakan. Makin sedikit pekerjaan makin sedikit yang bisa dihasilkan. Dan itulah asal-usul kemiskinan.
Jadi jelas, betapa prinsipil kedudukan sebuah bayangan. Maka ketrampilan membayangkan benar-benar rezeki besar bagi sebuah peradaban. Bangsa yang terampil membayangkan selalu memimpin di barisan depan. Jika cuma bergantung pada rezeki definitif negara-negara yang miskin sumber daya alam itu sudah otomatis akan dicekik kemiskinan. Tapi anehnya otomatisasi itu tak selalu terjadi sepanjang mereka memiliki imajinasi. Latihan membayangkan soal-soal yang tak terbayangkan benar-benar akan mendatangkan rezeki dalam skala tak terbayangkan. Persoalannya, apa yang sekarang ini sedang kita bayangkan?
0 comments:
Post a Comment