|
Sindhunata |
Oleh Sindhunata
Padamu
negeri,
kujanjikan
kebohongan,
kubaktikan
keserakahan,
kusujudkan kepalsuan.
Kata-kata di
atas dibuat oleh penulis untuk merespons lukisan 13 pelukis senior yang
tergabung dalam Kelompok Cibubur Art.
Para pelukis
tersebut—antara lain Haris Purnomo, Bonyong Munny Ardhie, Umbu Tanggela, Hari
Budiono, dan Bambang Sudarto—merasa gerah atas situasi sosial-politik
akhir-akhir ini, lebih-lebih terkait masalah korupsi. Mereka ingin membuat
karya bersama. Namun, mereka merasa belum punya ide dan simbol yang bisa
mengikat mereka untuk menumpahkan kegerahan dan kegeramannya.
Akhirnya
mereka sepakat untuk merespons artikel ”Negeri Para Celeng” (Kompas, 31 Mei
2011). Lalu jadilah sebuah lukisan besar, terdiri atas tiga panel, yang akan
dipamerkan awal Desember ini di Jakarta. Lukisan itu menggambarkan
manusia-manusia yang merangkak, membungkuk, dan bersujud-sembah. Format sujud
mereka membentuk postur-postur celeng. Tapi sudah tiada lagi kelihatan rupa
celeng di sana, yang ada adalah manusia- manusia yang tidak merasa lagi dirinya
adalah celeng, walau perilakunya seperti celeng: perilaku yang tak tahu malu,
hedonis, serakah, dan rakus.
Lebih dari
satu dekade, dunia seni rupa sempat dibayang-bayangi oleh ’celeng’-nya perupa
Djokopekik. Sekarang celeng Djokopekik itu sudah tiada. Ia menjelma jadi
manusia-manusia: laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Tak kelihatan
lagi muka celeng. Yang kelihatan muka manusia-manusia berdasi, perempuan seksi,
anak-anak, manusia yang bersujud-sembah. Semua menampilkan selera serakah,
rakus, dan penuh nafsu.
Mengancam
kemanusiaan
Kebohongan,
keserakahan, dan kepalsuan adalah ”bawah sadar” di balik korupsi, yang
habis-habisan menggerogoti bangsa ini. ”Bawah sadar” itu sedemikian kuat
berakar dalam diri para pelaku korupsi, sampai ”bawah sadar” itu menjadi
semacam naluri yang harus ditaati dan dituruti. Korupsi telah menggerogoti
nurani manusia, dan mendegradasikannya jadi sekadar naluri yang tak tahu malu,
meski dirinya bohong, serakah, dan palsu. Untuk tidak mengatakan ”manusia telah
menjadi binatang”, mitos Jawa mempunyai kata ”celeng” bagi orang yang hanya
menuruti naluri keserakahannya itu.
Untuk
memperjelasnya, meminjam istilah Peter Sloterdijk, korupsi yang menggerogoti
nurani manusia itu adalah semacam bestialisasi atau pembinatangan manusia.
Bestialisasi terang-terangan mengancam sivilisasi. Memang tak mungkin peradaban
dibangun jika masyarakat kita digerogoti bestialisasi warganya dengan
terus-menerus korupsi, tanpa nurani lagi. Jika demikian, dalam waktu dekat
masyarakat kita akan ambruk, seperti ambruknya Jembatan Kartanegara Mahakam
yang, walaupun menelan biaya miliaran rupiah, ternyata sangat rapuh.
Korupsi
sebagai bestialisasi juga mengancam sendi-sendi humanisme. Dana pendidikan
disunat sehingga terganggu pula cita-cita pencerdasan dan pembangunan karakter
bangsa yang diharapkan untuk membuat bangsa ini makin human. Dana untuk orang
miskin dikorup sehingga makin menderitalah kaum tak berada yang sebenarnya
berhak mendapatkan bantuan negara. Pengadilan kasus korupsi kelihatan
menginjak-injak rasa keadilan masyarakat sehingga makin tak acuhlah masyarakat
terhadap kewibawaan hukum, yang sebenarnya amat diperlukan untuk membangun
humanisme masyarakat.
Lewat
kelihaian dan trik-trik korupsi, partai-partai politik tampak memperkaya
pundi-pundinya sehingga tiadalah fairness dalam demokrasi, di mana nilai-nilai
kemanusiaan ingin ditegakkan. Praktik korupsi juga terus-menerus membentuk kita
jadi manusia suka berdusta, munafik, dan palsu. Di wilayah agama, korupsi
bahkan bisa menipu orang untuk tampak saleh, walau telah menilep uang negara.
Jelas,
sebagai bestialisasi, korupsi adalah potensi barbaristis bagi humanisme.
Humanisme akan runtuh karena korupsi. Karena lewat korupsi, manusia diam-diam
dibestialisasikan setiap hari, dalam segala aspek dan aktivitas kehidupannya.
Maka korupsi adalah hama bagi kemanusiaan, seperti celeng adalah hama bagi
petani. Yang dimakan dan dilahap oleh korupsi bukan hanya uang, tetapi
lebih-lebih kemanusiaan. Adalah parah jika uang negara habis karena korupsi,
tapi lebih parah lagi apabila kemanusiaan bangsa kita hancur karena bestialisasi
korupsi yang menghancurkan nurani tadi.
Belum lama
ini ada wacana, bagaimana jika pelaku korupsi berat dihukum mati. Betapa pun
kita kurang atau tak menyetujui wacana itu, kita kiranya bisa memaklumi alasan
mengapa wacana itu sampai timbul. Pelaku korupsi memang layak diganjar hukuman
seberat-beratnya. Mereka tak hanya penjahat keuangan, tetapi juga penjahat
kemanusiaan. Celeng adalah hama tanaman, karena itu petani membunuhnya. Korupsi
hama kemanusiaan, karena itu maklum juga jika para pelakunya pernah diwacanakan
dihukum mati.
Gerakan
rakyat
Korupsi
adalah hama bagi kemanusiaan. Karena itu, seluruh bangsa harus bersama-sama
menghadapi korupsi. Tak cukup penanganan korupsi hanya diserahkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Itulah yang kiranya terjadi dalam gerakan Anna
Hazare di India, Agustus lalu. Kisan Baburao Hazare (74 tahun) mogok makan
menuntut dibentuknya perundang-perundangan yang keras terhadap korupsi.
Perundangan-undangan itu harus membentuk pilar-pilar yang baru, kuat, dan bebas
dalam perang melawan korupsi. Dituntutnya pula agar parlemen mengesahkan
undang-undang yang berani memberikan hukuman berat dan keras kepada penyuap dan
pegawai pemerintahan yang suka main suap.
Dalam waktu
dekat ternyata orang- orang berbondong-bondong mendukung Hazare. Tak kurang
80.000 warga bergabung dalam demonstrasi di Delhi, menyerukan agar pemerintah
mengabulkan tuntutan Hazare. Mereka berteriak-teriak: Anna, Anna. Anna, artinya
saudara tua, begitulah mereka menyebut Hazare.
Sebelumnya
Hazare hanyalah aktivis petani. Ia mengajak warga desanya bersama-sama
membangun suatu desa percontohan, di mana mereka dapat hidup saling menolong
dan jujur dalam persaudaraan. Hazare sendiri hidup amat sederhana. Ia tinggal
di bilik kecil, hanya ada dipan dan lemari kecil di dalamnya. Ia berusaha
meresapkan ajaran Gandhi dan filsuf India, Swami Vivekanda.
Dari seorang
aktivis petani, Hazare mendadak jadi pejuang nasional. Itu terjadi karena ia
berjuang melawan korupsi dengan berani mogok makan 12 hari.
”Anna, hidup
perjuanganmu. Kami berdiri di belakang kamu. Hidup India,” demikian teriakan
orang-orang di kota-kota besar India. Pendukungnya bukan hanya kelas bawah,
juga kelas menengah. Kalangan menengah ini semula apatis, tiba-tiba mereka
bangkit dan menyatakan sanggup meninggalkan kenyamanan dan kepentingannya
sendiri, lalu turun ke jalan, ikut berjuang melawan korupsi. Mereka tak lagi
memikirkan kepentingan sendiri, tetapi kepentingan negeri India yang mereka
cintai.
Demokrasi
yang korup
Mengapa
mendadak inisiatif Hazare menjadi gerakan Anna Hazare yang meluas di India?
Jawabnya: karena masyarakat sudah jenuh, gerah, dan marah. Mereka sadar,
korupsi sangat membahayakan dan bisa menghancurkan negara. Mereka tinggal
menunggu kapan kejengkelan mereka bisa meledak menjadi gerakan protes nasional.
Ini hanya persoalan waktu. Maka, begitu Hazare muncul, mereka pun
berduyun-duyun mendukungnya. Dalam hal ini Hazare adalah simbol yang bisa
menghimpun dan mendinamisasi kekesalan rakyat itu menjadi gerakan.
”Bersama-sama
kami membangkitkan kepercayaan bahwa negara kami dapat menumbangkan korupsi,
dan kami dapat mengusahakan perubahan undang-undang yang kami perlukan untuk
melawan korupsi,” kata Hazare.
Gerakan
Hazare memang bisa dituduh membahayakan demokrasi karena gerakan itu di luar
parlemen dan tata peraturan yang sudah disepakati untuk kehidupan demokrasi.
Akan tetapi, kalau demokrasi itu adalah demokrasi yang korup, bagaimana
demokrasi itu bisa berjuang melawan korupsi? Maka rakyat sendiri akan berjuang
secara langsung melawan korupsi, seperti terjadi dalam gerakan Anna Hazare.
Kalau itu terjadi, janganlah buru-buru rakyat dituduh melakukan anarki terhadap
demokrasi. Elite politik yang harus mawas diri, jangan-jangan gerakan rakyat
adalah protes karena tiada kelihatan lagi gereget dan tanggung jawab moral
pemimpin mereka melawan korupsi.
DPR baru
saja memilih ketua KPK. Jangan dikira peristiwa ini tidak ditanggapi dengan
sinis oleh masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin lembaga perwakilan rakyat yang
juga terkenal amat dijangkiti wabah bestialisasi korupsi itu masih mempunyai
integritas moral untuk menentukan orang yang paling jujur, bersih, dan tegas
sebagai ketua KPK?
Kita
membutuhkan seorang ketua KPK yang berjiwa, bersikap, dan beraga seperti Anna
Hazare. Akan tetapi, harap diingat, dalam kondisi bestialisasi korupsi sekarang
ini, yang bisa menentukan siapakah yang layak menjadi ”Anna Hazare” bukanlah
DPR, melainkan rakyat sendiri. Sayang rasanya tokoh itu belum muncul sehingga
rakyat juga belum bisa menilainya. Anna Hazare, di mana kamu?
Ataukah Anna
Hazare pada hakikatnya tak diperlukan karena kita sebenarnya sudah jengkel,
kesal, marah, dan geram terhadap korupsi? Kalau demikian, kita tinggal menunggu
lahirnya people power yang akan menumbangkan korupsi. Hanya di sini pun kita
mesti waspada, janganlah people power itu dimanfaatkan Anna Hazare-Anna Hazare
palsu.
Sindhunata Pemimpin
Redaksi Majalah Basis
(Kompas, Senin, 5
Desember 2011)