M Djoko Yuwono |
ADA dua tema kita bahas pada tulisan ini, yakni citra pemimpin dan citra pengemis. Simak!
A. Citra Pemimpin
Langkah heroik ditunjukkan oleh sang pemimpin dari Republik Undur-Undur. Ia meminta maaf kepada dua negara tetangganya karena mengirimi dua negara itu kabut asap. Alih-alih mengkritik peran perusahaan swasta asal dua negara tetangganya itu, sang pemimpin malah ‘memarahi’ para menterinya yang sudah pasang dada mengecam dua negara yang tidak pernah ramah pada Republik Undur-Undur ini.
Negara Singaparah dituduh cuma pandai memanfaatkan kelemahan Republik Undur-Undur. Padahal, menurut kabar, 85% ekspor negeri itu berasal dari Republik Undur-Undur yang naif (kalau tidak bisa disebut bodoh). Jadi, hidup negara Singaparah tergantung pada Republik Bodoh, eh, Negeri Undur-Undur ini. Wisatawan Republik Undur-Undur yang sok, lebih suka menghabiskan liburan di negeri yang suka menyimpan koruptor, bajingan, dan garong dari negerinya tanpa mau meratifikasi perjanjian ekstradisi. Wisatawan yang sekadar banyak duit ini mejeng dan pasang fotonya di facebook untuk pencitraan dirinya sebagai orang kaya.
Negeri Malangsia juga negeri yang pintar mengakali negeri besar yang bodoh, eh, Negeri Undur-Undur ini, dengan mengakali investasi, mencaplok produk seni budaya, dan mengomersialkannya. “Bodohnya, orang-orang Negeri Undur-Undur itu tak mampu menjual produk seni budayanya ke luar negeri,” begitu celoteh di negeri itu.
Langkah heroik sang Pemimpin Republik Undur-Undur disambut sinis di dalam negeri. “Tak usah minta maaf, cukup kasih instruksi untuk mengatasi asap, sudah,” ujar Dul Kemplo. Dia bilang, kalau minta maaf maka kelihatan bodohnya, eh, kelemahannya. Di tangan orang Yahudi yang jadi supervisor Singaparah, permintaan maaf bisa untuk menekan Republik Undur-Undur buat membayar ganti rugi. Duit dari mana? Sedangkan untuk dana BLSM alias Balsem cap Citra saja sempoyongan.
Permintaan maaf itu muncul mungkin khawatir citranya sebagai pemimpin yang memperoleh berbagai penghargaan dunia lantas luntur. Tapi, para pendiri bangsa, terutama Bung Karno, pasti marah besar karena sikap seperti itu menurunkan derajat bangsa. Indonesia dibangun untuk menjadi bangsa yang bermartabat, berwibawa, berdaulat, bukan negara bermental tikus dan bertekuk lutut di depan bangsa lain.
B. Citra Pengemis
Entah kenapa tiba-tiba saja muncul berita yang menghebohkan dari Jakarta (Selatan). Pejabat setempat bilang pengemis di wilayah ini ada yang berpenghasilan Rp750.000 hingga Rp1 juta per hari. Bayangkan, setiap bulan mereka mendapatkan kira-kira Rp30 juta! Di bawah itu ada yang Rp450.000 hingga Rp500.000 per hari. Gaji eksekutif perusahaan besar lulusan S-1 atau S-2 yang diraih dengan susah-payah selama bertahun-tahun dengan waktu, biaya, tenaga, dan pikiran yang begitu banyak paling cuma Rp16 juta.
Sudah lama diketahui, a.l. berkat investigasi wartawan SKH Pos Kota di awal tahun 80-an dan SKH Suara Karya di pertengahan era 80-an, para pengemis Jakarta kaya raya, punya rumah mewah dan sawah luas di kampung halamannya.
Pengemis menjual citra sebagai orang melarat, tidak berdaya, dan berhasil mengelabui publik lantas hidup sejahtera. Ini mirip Pemimpin yang menjual citra sebagai santun, anggun, intelektual, baik hati tapi (maaf) mungkin naif sebagai “pemain lapangan”, dan berhasil hidup sejahtera. Jangan-jangan ini mengandung unsur mental pengemis yang lemah, tidak bermartabat dan tak punya harga diri, asal hidup sejahtera.
Itu baru teori orang ngawur, sebab perlu pembuktian pada saatnya nanti. Bukan sekarang, sebab akan ada yang tersinggung, dan bakal gawat, wat, wat. Oke?
0 comments:
Post a Comment