Oleh Radhar Panca Dahana |
Sebagian
dari amatan itu juga mencoba melihat, mempelajari, atau bahkan meneladani
bagaimana bangsa-bangsa lain memperadabkan dirinya. Beberapa bangsa/negara,
yang sebelumnya justru belajar dari kita, dijadikan acuan.
Dalam
pergaulan internasional, semangat koreksi diri adalah hal yang wajar. Namun,
apa pun hasil amatan dan analisis itu tetap meninggalkan pertanyaan dasar
yang—pada akhirnya—menentukan pertanyaan dan jawaban berikutnya: apa dan
bagaimana kita melihat diri sendiri, dan akhirnya juga melihat orang lain?
Semua
kecenderungan mental dan perilaku manusia yang destruktif dan instingtif
primitif sesungguhnya bukan milik spesifik bangsa kita. Logika psikososial dan
psikokultural semacam ini sebenarnya sudah umum dipahami. Setiap bangsa punya
riwayat kekerasan manusia, perilaku negatif yang bahkan kadang begitu
mengerikan. Adab keras dan negatif adalah sisi lain dari mata uang kebudayaan:
di mana pun dan kapan pun.
Persoalannya
tinggal bagaimana (produk) kebudayaan positif dapat jadi penyeimbang atau
alat/mekanisme untuk mencegah, menanggulangi, atau memberi sanksi bagi
negativitas destruktif di atas. Tak bisa dielak, bangsa Indonesia juga memiliki
warisan kekerasan yang merusak. Namun, harus diakui juga, bahkan di tingkat
kekerabatan (komunitas) terkecil, sebenarnya bagian-bagian dari bangsa ini
memiliki alat dan mekanismenya masing-masing menghadapi kecenderungan negatif
dan destruktif tersebut.
Tuntutan
material dan lupa diri
Karena itu,
taklah elok jika kita melihat kedegilan manusia Indonesia sekarang dari faktor
intrinsik alamiahnya saja. Jika dengan jernih dan jujur kita identifikasi, di
tingkat pertama penyebab dari semua kekerasan, tindak negatif dan destruktif
sebagian dari saudara-saudara kita itu sebenarnya ada pada tuntutan (kebutuhan)
material yang kian besar dan menekan. Situasi psikologis dari adab modern
inilah yang ada di balik korupsi, manipulasi, kolusi, perampokan, pembunuhan,
penjarahan, hingga kekerasan institusional (baik negara maupun non-negara).
Bahkan pada beberapa tindakan super-ekstrem seperti separatisme atau terorisme.
Tentu ini
bukan simplifikasi yang meniadakan beberapa faktor non-material, seperti
ideologi, agama, dan adat-tradisi. Namun, tanpa kelindan faktor material di
atas, kondisinya tak akan mencapai tingkat kerumitan dan kesulitan setinggi apa
yang terjadi saat ini. Faktor atau tuntutan material di sini dapat ditegaskan
bermuara pada persoalan finansial, dasar ekonomi dari mulai tingkat personal
hingga komunal atau institusional.
Setiap orang
di negeri ini, terutama di daerah urban, sub-urban dan sekitarnya, setiap hari
disodori tawaran-tawaran mencengangkan dari gaya hidup yang berkembang saat
ini. Dengan semua tawaran yang tak terbendung oleh tanggul moral (agama, adat,
hukum, dan lain-lain) itu sesungguhnya telah menguras lebih separuh dari
penghasilan rutin kita.
Katakanlah
dari penggunaan telepon. Jika dahulu cukup hanya satu telepon dari Telkom, kini
satu keluarga bisa memiliki 10, yang semua dibayar oleh orangtua penghasil
uangnya. Dengan angka ajaib 175 juta pelanggan seluler, puluhan triliun kita
habiskan setiap tahunnya hanya untuk pulsa dari miliaran SMS, yang sebagian
besar tidak produktif.
Mereka yang
kaya raya mengganti mobilnya setiap tahun (bisa beberapa kali), yang menengah
mengganti televisi atau stereonya, yang lebih bawah mengganti telepon seluler,
busana, atau sandalnya beberapa kali dalam setahun. Bayangkan juga konsumsi
produk-produk impor, barang dan jasa yang harganya berlipat-lipat dari nilai
produksinya.
Tidak
mengherankan jika kita sampai kehilangan peluang Rp 26,42 triliun lebih dari
bisnis buah, atau hilang 2,34 juta lapangan kerja karena kegilaan kelas
menengah-atas pada buah dan sayuran impor. Tak mengherankan pula jika kita
adalah negara unggul dalam akses pelbagai media sosial global. Juga tak
mengherankan lebih banyak turis kita pergi ke satu negara ketimbang sebaliknya.
Mengapa kita
begitu lupa diri? Tampaknya semua itu bukti kegagalan kita, sebagai bangsa dan
negara, menyiapkan modal mental dan kultural yang tangguh untuk menghadapi
kekuatan yang mengglobal itu. Harus diakui, ini bukan kegagalan di tingkat
sub-sistem atau etnik, tapi kegagalan di tingkat nasional, sebagai universe
dari lokal-lokal yang ada.
Sebagai
bangsa, juga negara sebagai obligor utama, kita belum berhasil membangun
dasar-dasar moral, nilai, dan peradatan—juga peradaban—yang membuat tiap warga
negara tahu bagaimana merespons semua infiltrasi dan intervensi kultural di
atas. Bahkan untuk soal sepenting ini kita serahkan kepada pasar.
Adab
Indonesia
Untuk
mengatasinya, negara melalui pemerintah patut menjadi inisiator utama dan
pertama. Kementerian Informasi, bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan,
misalnya, dapat menyebarluaskan tentang nilai-nilai utama hingga praksisnya
dari budaya hidup di alam posmodern ini. Dari melihat nilai guna sebuah barang
dan jasa, cara dan pola konsumsi, keuntungan dan kerugiannya, cara berkonflik,
kesantunan dalam bersosialisasi, hingga berlalu lintas.
Ini beban
kerja lintas sektoral/kementerian. Setiap kementerian mengeluarkan semacam kode
etik yang bisa berlaku umum. Persoalan ini harus diatasi dan diselenggarakan
secara komprehensif di mana semua instansi terlibat.
Di bagian
utama, kebudayaan, kementerian yang membawahinya mesti segera menemukan atau
mengidentifikasi nilai-nilai utama dari adat dan istiadat lokal kita yang dapat
dipekerjakan secara nasional/universal. Lalu, biarkan publik memprosesnya
secara alamiah melalui proses akulturasi yang sudah mereka kukuhi sejak lama,
untuk menjadikan semua itu sebuah kultur dan adab baru: kultur dan adab
Indonesia, yang (maaf!) memang belum kita miliki.
Radhar Panca
Dahana Budayawan (Kompas, Senin, 26 Desember 2011).
0 comments:
Post a Comment