M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung
TANGGAL 10 Oktober lalu ada perayaan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Aneh, tidak ada sambutan gegap gempita. Biasanya orang Indonesia suka latah, perayaan hari kucing, tikus, atau kecoak sedunia selalu dirayakan heboh-hebohan oleh orang-orang sok borjuis, tanpa kenal atau peduli maknanya. Tanggal 10 Oktober lalu tidak! Ini ironis sekali, padahal negeri ini punya potensi besar untuk merayakan itu. Ya, Hari Kesehatan Jiwa. Berhubung ilmu jiwa itu ruwet dan sulit dipahami ada baiknya kita sebut saja Hari Gila Internasional. Lebih lugas dan jujur. Aneh, orang-orang gila di Indonesia cuek-cuek saja. Mereka yang “dikandangkan” di Rumah Sakit Jiwa sudah tentu “tidak nyambung”. Tapi, kenapa orang-orang gila di luar itu tenang-tenang saja? Barangkali, menurut analisis komunitas warung kopi, mereka sudah tidak aneh dan sangat familiar dengan kegilaan sehingga hari perayaan itu dianggap biasa saja.
Kita percaya, mengingat selain kaya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), kita pun kaya sumber daya gila (SDG). Nyaris tak ada sisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang tidak dijadikan objek kegilaan. Bisakah kita membayangkan bagaimana kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mampu pergi ke alam baka guna mencatat pemilih di sana, lalu balik lagi ke dunia? Lihat saja, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyebutkan, dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) itu terdapat 27.000 lebih tercantum nama orang yang sudah mati.
Kerja KPU selama 15 tahun belakangan ini memang aneh dan gila. Dari korupsi perlengkapan, sampai dugaan manipulasi suara di teknologi informasinya, tidak banyak terbongkar. Tokoh-tokohnya yagn semula 'common people', tidak dikenal, lantas naik ditarik oleh partai besar jadi-jadian. Lebih gila lagi KPU sekarang menggandeng Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) satu lembaga pemerintah untuk melakukan sesuatu yang mereka sebut guna mengamankan suara. Lucu, jelasnya: gila. Seharusnya angka-angka itu terbuka supaya publik ikut mengawasi.
Sejak dulu pun, keterlibatan institusi intelijen sudah cukup terdengar di proses pemilihan, tapi sulit dibuktikan apalagi dibongkar, seolah itu hak prerogatif pemerintahan petahana atau yang punya banyak dana, serta yang punya koneksi kuat dengan negeri 'super power'.
Contoh lain yang cukup mencolok adalah keterlibatan para abdi hukum, polisi, kejaksaan, dan yang belakangan favorit bagi pers; hakim terlibat kasus korupsi, suap-menyuap. Lebih gila, ldipakainya lokasi instalasi pemerintah untuk pabrik narkoba! Bisa dibayangkan apa tidak oleh orang waras, ada ebuah Lembaga Pemasyarakatan justru memproduksi ekstasi atau apa pun produk narkoba? Tepat di bawah hidung penegak hukum, pembimbing “warga binaan” yang justru sering kesetanan bersekongkol dengan napi? Demi uang tentu saja. Untuk apa lagi?
Kegilaan lain adalah politik dinasti. Seseorang yang berhasil menduduki tahta kekuasaan berusaha menggandeng, menarik saudara-saudaranya, anaknya, istrinya, suaminya, iparnya untuk ikut duduk menikmati keringat rakyat yang sekarat lewat modus korupsi. Tak peduli apakah kadernya itu kelas lurah di pelosok ataukah juru tulis desa yang lembah lembut. Apa bukan “budaya gila” selain mental kéré? Peminta-minta, kaum jajahan hina-dina, tidak bermartabat, tak bermoral sekaligus gila segila-gilanya? Karena mereka mengabaikan esensi utama pemimpin yaitu yang memiliki kemampuan dan kewibawaan memimpin? Lebih gila lagi para bandit itu justru tegar menghadapi publik, seolah malaikat tak bersalah yang dizalimi dan mendapat cobaan dari Tuhan? Sungguh mental gila parah bila ia berlari berlindung di balik nama Tuhan ketika mereka malah melanggar perintahNya. Negeri ini betul-betul penuh orang sakit jiwa parah. Apakah bukan sakit jiwa kelas berat jika kemudian ada setan yang berbaju pemuka agama lantas pura-pura bersyiar tapi buntutnya adalah memenuhi nafsu seksual, nafsu kebendaan yang parah? Malah ikut korupsi gede-gedean? Bolehkah kita menyebut ini SUPER GILA? Dan, yang lebih gila lagi adalah kehilangan pandangan logis, waras, seimbang, nalar publik yang gampang terpukau para politisi loyo, pemimpin agama atau motivator yang sejujurnya cuma jual kecap untuk jadi kaya dari muda-mudi yang terpukau istilah-istilah sok ilmiah yang tidak jelas maksud atau artinya?
Apakah tidak gila kalau orientasi rakyat kemudian sekadar mengumpulkan harta sebagai syarat simbol keberhasilan, lalu ada pemimpin yang sekadar numpang nikmat terpilih duduk di kursi empuk lalu tidak berorientasi pada kepentingan rakyat? Lalu sang pemimpin itu suka melempar tanggung jawab bila ada masalah? Cuci tangan dengan mengatakan itu bukan domain saya, misalnya. Maka sungguh super aneh kalau rakyat Indonesia tidak merayakan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, tepatnya Hari Gila tempo hari. Ah, sudah terlalu banyak pertanyaan. Barangkali slogan ini yang tepat: AYO! BERSAMA KITA GILA!
0 comments:
Post a Comment