Sunday, November 3, 2013
REPUBLIK BADUT - Kartun Jitet Koestana |
Apa Pantas Rakyat Indonesia Susah?
Mari kita hitung kekayaan tanah dan airnya. Daratan sepertiga dari luas wilayah, berisi aneka tambang, aneka mineral, aneka logam, dst dst. Di bawah tanah terdapat raksasa panas bumi (buat energi terbarukan), di atasnya banyak gunung dan kaldera (potensi wisata, pertanian, tanaman obat-obatan dst dst). Di atas tanah juga tumbuh aneka hutan yg tumbuh alami maupun budidaya (potensi ekonominya tak terkira).
Laut, dua pertiga wilayah Indonesia. Di dalamnya selain ikan, biota laut, harta karun, tambang migas, dll melimpah buat budi daya aneka keperluan. Lautnya sendiri merupakan jalur pelayaran yg menghubungkan urat nadi antarwilayah yg nilai efektivitasnya tinggi. Di atas Indonesia ada udara. Modal yg nilai ekonominya dahsyat utk jalur penerbangan.
Dari laut saja, Indonesia kecurian ikan, minimal 35 triliun tiap tahunnya. Dari yang lain2 pasti banyak juga, kan? Konon, bila diurus dengan baik dan benar, dari laut saja, penghasilan dari laut saja, rakyat Ind cukup duduk manis tak perlu kerja, sudah bisa hidup makmur dan berkecukupan.
Kok ditunggu-tunggu, sekian puluh tahun merdeka, cuma begini-begini aja adanya? Begini kayanya Indonesia, tongkat kayu jadi tanama. Apa Pantas Rakyat Indonesia Susah?
Kartun Ifoed |
INI FAKTA, BUKAN PROVOKASIONG
Di negara2 yg udah SETABIL APRESIASINYA, pekerjaan boleh beda. Ada yg kasar (blue collar job), ada yg halus (white collar job), tapi soal penghasilan? Keduanya sama2 bisa nabung dan melancong ke luar negeri.
buruh butuh pengusaha - pengusaha butuh buruh - pemerintah butuh buruh dan pengusaha - buruh dan pengusaha butuh pemerintah - semua saling membutuhkan, masa nggak ada jalan keluar, sih?
BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA
Bukan Menafikan Bahasa Gaul dan Alay
Anggap saja ini logika sodrun. Andai otoritas bahasa kita mau bekerja sama dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), tentu bisa diciptakan semacam "strategi budaya" agar televisi yang bersiaran secara nasional (bukan Jabodetabek) menerbitkan semacam "aturan" agar untuk acara2 yg selama ini menggunakan bahasa lokal (gaul, alay dst) sementara sidang pemirsanya adalah masyarakat seluruh Indonesia, dapat membenahi diri untuk menggunakan bahasa nasional.
Keterlanjuran yang permisif dan dianggap sebagai signal lampu hijau trhdp apa yang terjadi selama ini tampaknya bakal mengubah paradigma pemikiran masyarakat bahwa yang lokal bakal menjadi nasional dan yg nasional akan dilokalkan. Tanda2 itu tak dapat dianggap sebagai angin lalu belaka.
Polisi bahasa memang tidak diperlukan, namun politik bahasa, strategi budaya (kaitannya dg bahasa) tetap harus ada dan diefektifkan. itu kalau kita masih menganggap bahwa BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA.
Penyair- (sasterawan?) lah yang paling gigih dan konsisten menyelamatkan bahasa Indonesia dari berbagai pengaruh dan erosi yang merusak. - Remy Sylado.
*ironisnya, menurut Prof Abdul Hadi WM, eksistensi sasterawan kurang diakui oleh badan otoritas bahasa. hopo tumon?*
Kartun Joko Luwarso |
Tipologi SDM Terdidik dan out put-nya:
1. Ilmuwan, dosen/guru, cendekiawan, jurnalis, ekspert di berbagai bidang, dan sejenis: layak dan relevan menempuh pendidikan S1, S2, S3
2. Manajer, pelaksana, praktisi/bidang keterampilan tertentu cukup di politeknik, D3, bahkan SMK. Peningkatan kompetensi/kapabilitas/pendidikan dapat dilanjutkan setelah keprofesiannya stabil.
3. Karyawan dan tenaga teknis umum: SMK/SMA, kuliah bisa dipikirkan setelah tabungan memadai.
4. Program Bea Siswa: bagi yg kompetensi IPA (sains n teknologinya) super bagus, cari sekolah berbea siswa seperti STAN, (sekolah tinggi yg diselenggarakan BPS), dan penyelenggaran bea siswa lainnya. Kuliah di sini selain gratis, dapat uang saku, belum lulus kalau IP-nya bagus sudah di-inden oleh perusahaan atau lembaga/badan yang siap menampung mereka bekerja setelah lulus nanti.
Di program ini biasanya siswa tak bisa main-main atau celelekan, karena sekali HER, maka dia langsung di-DO.
Jadi tahu kan di mana tempat yang cocok dan tepat buat kalian? Masa depan tidak harus lewat S1..... itu yang harus diluruskan....
Bahasa Anak Muda Kita
Saya pernah mampir ke seorang teman (direktur sebuah rumah produksi). Kami asyik ngobrol soal rekruetmen. Ia memperlihatkan sebuah lamaran pekerjaan yang ditulis seorang cewek. Bunyinya begini:
Hallo Bos,
Gw udah lama nganggur nih, padahal gw lulusan fakultas ekonomi perguruan tinggi ternama lho. Kasih kerjaan ya Bos, biar gw bisa beliin Mama baju dan kebaya baru. Bla-bla-bla ..... Kesel deh, udah tiga taon ngelamar kerja, kagak ada kabarnya mulu!
Salam kompak,
Cewek
*nah, hebat, kan bahasa anak muda kita?*
Pingin membuat lamaran pekerjaan yang dapat menarik perhatian perusahaan? Buatlah lamaran pekerjaan dalam bahasa Inggris, Mandarin, Jepang atau Korea (tentu disertai terjemahannya). Bukan pakai bahasa Gaul, apalagi Alay.... perusahaan bisa salah sangka bahwa ente manja dan childish. Itulah!
Konsekuensi seorang public figure, ia akan paling awal menikmati puji sanjung maupun caci-cerca saat fenomena baik-buruk tentang dirinya menyeruak ke permukaan. Itu "hukum" mass publication.
*Tak ingin kecebur dalam jebakan dan perangkap itu, jadilah orang-orang biasa saja. Begitu biasa dan sederhananya, sehingga orang2 malas mengingat apalagi menyebut namanya."
Ada semangat baru yang tak dapat dinafikan begitu saja. "Semua akan menjadi baik jika pendidikan di negeri ini baik."
*pendidikan yang baik itu seperti apa? di sini dibutuhkan perspektif yang fair dan obyektif*
Nah, di Surabya ada Caleg yang mencuri ponsel dan uang para santri di sebuah pondok pesantren. Rencananya hasil curian itu akan digunakan untuk sosialisasi. Ini bukan hanya gila, tapi benar-benar absurd!
Beberapa hari ini, hujan turun di petang atau malam hari. Cukup rutin. Bagi saya ia lebih menerbitkan harapan daripada janji-janji politik yg belakangan juga terlihat cukup deras meluncur ke muka bumi tapi membuat hati justru makin deg-degan dan cemas.
Kharisma terjadi karena pengakuan orang lain atas daya tarik (pesona) seseorang secara tulus dan tanpa rekayasa.
*Hampir mirip tapi beda, dibangun lewat doktrin, iklan dan survey berbiaya besar dan tanpa rasa malu....*
Realisme para pelukis Semarang yang di-"goda" Prof Tjetjep Rohendi sebagai karya "Mangga Pisang Jambu" hanya memerlukan satu langkah saja untuk keluar dari "stigma" itu, yaitu memulai dengan mengisi ide-ide di karya-karya mereka.....selanjutnya wacana pasti akan segera menganga!