Terpajang di rak toko buku beneran atau cuma hoax? |
Oleh
Darminto M Sudarmo
Tiba-tiba masyarakat Indonesia
dikejutkan oleh berita terbitnya majalah Charlie Heboh, Salah satu media sosial
menulis: Sebuah akun facebook Charlie Heboh dengan alamat
www.facebook.com/charlieheboh/ telah muncul dan dinilai telah melakukan
pelecehan terhadap Islam. Akun ini mengaku telah mengeluarkan produk majalah
yang sampelnya telah dipajang di sejumlah toko buku terkemuka, di Jakarta.
Akun ini menampilkan sejumlah produk,
di antaranya foto majalah Charlie Heboh yang berada di sebuah rak
majalah bersama dengan sejumlah majalah lainnya. Cover depan majalah dalam rak
buku itu adalah karikatur seorang mengenakan peci putih berjenggot yang
menyetubuhi seorang anak, yang disebelahnya terdapat boneka dan tas sekolah.
Dst. dst. Selanjutnya anda dapat merujuk sendiri ke link berikut: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/04/03/o51l1k318-majalah-charlie-heboh-lecehkan-islam-beredar-di-indonesia.
Di tengah
polemik perbedaan pandangan tentang kebebasan berekspresi, banyak pihak
berpendapat bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti tanpa batas. Dalam ranah
global, kebebasan berekspresi perlu disesuaikan dengan konteks masyarakat atau
bangsa dengan beragam budaya. Diskusi tentang kasus Charlie Hebdo baik di Semarang (medio Desember 2014) maupun Jakarta (26 Januari 2015)
mengisyaratkan itu.
”Kasus
penembakan di kantor majalah Charlie
Hebdo (di Perancis) sangat tidak dibenarkan. Tidak ada toleransi apa pun
untuk kekerasan. Di lain sisi, isu kebebasan berpendapat dan berekspresi (tidak
hanya terkait kasus Charlie Hebdo)
juga tidak berarti tanpa batas. Kekerasan tidak hanya bersifat fisik, tetapi
bisa juga secara verbal,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah M Din
Syamsuddin saat membuka diskusi di Jakarta.
Pemuatan
kembali kartun Nabi Muhammad oleh majalah satir Perancis Charlie Hebdo (Rabu, 14 Januari 2015), menuai kemarahan dan
kritikan. Rilis edisi perdana setelah penyerangan yang menampilkan kartun Nabi
Muhammad pada sampulnya itu terjual habis lima juta eksemplar, hanya dalam
waktu beberapa menit.
Kebebasan
berekspresi memang harus diapresiasi, penyerangan teroris
yang menewaskan 12 orang awak
Charlie Hebdo termasuk seorang polisi
muslim, harus dikutuk dan disesalkan, namun peta “politik” yang kemudian
berkembang tak terprediksi. Salah satu justifikasi yang menyimpulkan bahwa aksi
Charlie Hebdo dengan deklarasi
terbuka dan dinilai provokatif tersebut di atas ditafsirkan sebagai “perang”
terhadap umat muslim sedunia; ini yang perlu dicermati dan disikapi dengan
hati-hati, khususnya bagi para kartunis Indonesia.
Majalah ini terbit pertama kali pada 1970, mendapat
inspirasi namanya dari tokoh kartun Amerika Charlie Brown, salah satu kartun
karya Charles M Schulz yang legendaris. Sejak awal, sesuai konsepnya, majalah satir
ini diterbitkan untuk "meledek" tokoh-tokoh selebriti, politisi,
bahkan juga (berbagai) agama. Satir biasanya dimaksudkan untuk melucu, meskipun dalam praktiknya lebih cenderung ke kritik sosial yang konstruktif, dengan
menggunakan kecerdasan sebagai
senjata dan alat untuk menarik perhatian kepada masalah-masalah
tertentu yang lebih luas di masyarakat.
Kini, satir digolongkan sebagai
salah satu
genre sastra,
termasuk
seni grafis
(kartun). Satir secara umum selalu menampilkan sisi kejahatan, kebodohan, pelanggaran,
kekurangan hingga cemoohan, idealnya dimaksudkan
untuk mempermalukan individu, perusahaan, lembaga,
pemerintah maupun
masyarakat itu
sendiri, agar tergerak untuk
melakukan perbaikan.
Mengapa kartunis Perancis lebih suka memilih satir
untuk ekspresi idealisme mereka? Kartunis Perancis memang memiliki acuan nilai
tersendiri tentang makna kebebasan berekspresi. Pemimpin redaksi Charlie
Hebdo, Stephane Charbonnier, atau yang lebih dikenal dengan
nama Charb, tampaknya juga sudah siap dengan kredonya. Sebelum tewas, ia telah
merasakan suatu saat ia akan berhadapan dengan situasi yang membuatnya bisa
mati. Dan kalau ia mati, ia minta agar jasadnya dikremasi dan abunya dibuang ke
laut. Konon itu dimaksudkan supaya kelak siapapun yang melihat laut atau sedang
berlayar selalu ingat spirit Charlie Hebdo yang tak mudah takluk oleh
intimidasi atau tekanan atas nama kekerasan dan fanatisme.
Sikap Kartunis Indonesia
Kebebasan
berekspresi bagi kartunis Indonesia kini (pascareformasi) sangat melimpah.
Berbeda sekali bila dibandingkan dengan masa ketika rezim Orde Baru berkuasa.
Meskipun demikian, sebebas-bebasnya kartunis Indonesia berekspresi, secara
moral etik, baik sebagai pribadi atau bagian dari kelompok, diharapkan selalu
mempertimbangkan aspek yang sangat peka dan krusial bak realitas rumput kering
yang mudah terbakar, yaitu soal SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Salah satu contoh, kalau benar
ada, penerbitan majalah Charlie Heboh, telah dengan terang-terangan melukai
rasa budaya bangsa Indonesia, khususnya yang terkait dengan kesepakatan
mengenai SARA yang telah dilanggar.
Istilah
SARA ini sangat khas negeri kita, karena suprakemajemukan Indonesia (NKRI)
membutuhkan perekat nasionalisme ekstra supra juga, dan itu lebih penting dari
apapun. Dalam bahasa “gaul” (padahal dogmatis) “NKRI Harga Mati”. Pilihan
ekspresi itu berlaku tidak hanya untuk seni kartun, bahkan untuk seluruh seni
yang ada di negeri ini. Tak terkecuali beragam media dengan berbagai jenis
ekspresinya.
Ini
artinya persoalan para kartunis/jurnalis Perancis, secara ideologis, memiliki
konteks persoalan dengan masalah mereka sendiri. Kalau mereka memahami bahwa
mengormati bagian-bagian yang disakralkan atau disucikan oleh pemeluk agama
tertentu, sebagai suatu sikap tenggang rasa dan menghargai privasi pihak lain,
mengapa hal itu enggan mereka lakukan?
Dalam satu
hal, Barat mengagung-agungkan privasi, artinya segala hal yang menyangkut
urusan pribadi dan privat mereka bikin garis demarkasi tegas, tidak bisa diganggu-gugat.
Namun di sisi lain, mereka atas nama kebebasan berekspresi, gemar mengusik,
mengolok-olok, meledek keyakinan dan kepercayaan pihak lain. Padahal tiap
keyakinan atau kepercayaan atau agama selalu memiliki bagian yang disebut
sakral atau suci, dan itu lebih dari sekadar privat atau privasi. Bukankah
sikap anomalistik ini hanya menyulut persoalan dan mencari pembenaran dari sisi
pandang spesifik versi mereka.
Tentang
Barat, budayawan Romo Mangun (YB Mangunwijaya) pernah berseloroh, mereka memang
terbiasa menikmati hidup hipokrit, dari pusar ke atas selalu berteriak-teriak
tentang HAM dan demokrasi, tetapi dari pusar ke bawah mereka bikin runyam
negara-negara kecil (berkembang) yang makmur dan tenteram, lalu mengambil
keuntungan dari air yang keruh itu. Baik jualan senjata maupun menyedot
tambang-tambang potensial yang ada. Karena memang dari sanalah pendapatan
terbesar mereka.
Atas nama
kemanusiaan, kemelut yang menimpa rekan-rekan kartunis dan jurnalis Charlie Hebdo, menjadi keprihatinan kita
semua. Namun show of force yang
terjadi pada edisi perdana setelah penyerangan itu terkesan seperti sebuah
gelar pasukan untuk suatu kesedihan, kemarahan atau tantangan terbukakah? Ia
seperti menghadirkan bayangan masa depan yang sulit diprediksi bagaimana “ideologi”
mencari solusi dan pencerahannya.
Pilihan
jurnalistik tidak terlalu banyak. Ada dua kebajikan yang memberi kesempatan
kita tiba pada pertanyaan, memilih kebebasan berekspresi dengan konsekuensi
terburuk: malapetaka atau memilih zona aman dan kompromi dengan konsekuensi
hidup dalam basa-basi?
Uniknya,
ternyata Indonesia tidak harus terjebak dalam dua pilihan frontal itu, tersedia
juga pilihan lain, yaitu: kebebasan berekspresi minus SARA dan pornografi.
Bagaimana menurut Anda?
Darminto M Sudarmo, pemerhati humor dan bergiat di Institut Humor Indonesia Kini
(Ihik3.com)
0 comments:
Post a Comment