<div style='background-color: none transparent;'></div>

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana

Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
HumOr Edisi: 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 Januari - Desember 2018 - Tahun ke VII

Lelucon dari Balik Terali Besi

Monday, April 30, 2012


Kartun Non-O S Purwono


"BERAPA lama pamanmu ditahan?"
"Dua bulan."
"Kenapa?"
"Membunuh istrinya."
"Dan mereka cuma menghukumnya dua bulan?"
"Ya, lalu mereka akan menembak mati pamanku."


"PEMUDA-pemuda itu memperkosa dan membunuh."
"O, ya? Lalu apa yang mereka dapat?"
"Head line di koran-koran pagi."


"KENAPA Anda tidak menangkap pencuri itu ketika Anda memergoki mereka?" tanya hakim pada saksi --seorang polisi.
"Bagaimana bisa? Saya memegang pentungan di tangan kanan dan pistol di tangan kiri!"


"APA! Kamu balik lagi?" hardik petugas pada napi kambuhan yang berhasil ditangkap.
"Ya, Pak," kata napi itu dengan tenang, "di sini saya merasa aman."


"KAMU dipenjara selama dua tahun karena memasuki toko musik dan mencuri piano. Apa ada yang ingin kamu katakan?"
"Saya melakukannya pada saat saya lemah."
"Saya kira jika kamu merasa kuat, kamu malah akan merampok bank!"


ISTRI seorang pencuri, ditanyai hakim dalam salah satu sidang perkara suaminya.
"Nyonya, apakah Anda istri dari tertuduh ini?" tanya hakim.
"Ya."
"Apa Anda tahu bahwa dia adalah pencuri kelas kakap ketika Anda menikahinya?" selidik hakim.
"Ya."
"Kenapa Anda mau menikah dengannya walaupun Anda sudah tahu dia seorang pencuri kelas kakap?" desak hakim.
"Begini, Pak Hakim. Saya kan sudah semakin tua dan dulu saya punya dua pilihan; menikah dengan pencuri kelas kakap atau dengan seorang pengacara."


SEORANG laki-laki dihentikan oleh dua orang pencopet.
"Maaf, Pak. Maukah Bapak menolong kami meminjami uang logam seratusan?" tanya salah seorang pencopet dengan sopan.
"Bagaimana?" sahut laki-laki itu, "Mmm, tentu saja boleh. Tapi bolehkah saya tahu untuk apa Anda meminjam uang receh?"
"O, tentu, Pak. Teman saya dan saya akan melempar koin untuk memutuskan perdebatan kami tadi, sehingga ketahuan siapa yang akan mendapat jam Anda dan siapa yang akan mendapat dompet Anda."


"APA yang membawamu ke penjara ini kawan?" tanya pengunjung penjara.
"Hanya karena kealpaan," jawab penghuni penjara.
"Kenapa? Bagaimana bisa begitu?"
"Aku lupa mengganti nomor plat mobil curianku sebelum aku menjualnya."


"SAYA mendendamu sepuluh ribu rupiah karena memecahkan kaca jendela," kata hakim.
"Ini uang dendanya, Pak," kata tertuduh sambil mengangsurkan lembaran dua puluh ribu rupiah.
"Saya tidak punya kembaliannya."
"Kalau begitu, saya akan pecahkan kaca jendela yang lain!"


"LANTAI berapa ini, Pak Hakim?"
"Lantai empat."
"Saya akan ke atas."
"Untuk apa?"
"Saya ingin mencoba ke pengadilan tinggi."


"ANDA bilang, petugas pemeriksa yang tangguh itu tidak mengganggu sedikit pun," kata pengacara ketika menjenguk kliennya di tahanan.
"Tidak. Tidak sama sekali," jawab kliennya.
"Tidakkah mereka memberondong dengan pertanyaan? Tidakkah mereka bertanya setiap jam dan setiap malam? Tidakkah mereka selalu minta keterangan?"
"Ya."
"Tidakkah mereka berusaha keras untuk membuat Anda mengaku? Tidakkah mereka mengatakan kepada Anda bahwa Anda tidak boleh merokok dan minum sebelum Anda mengatakan yang sebenarnya? Tidakkah mereka mengancam Anda?"
"Ya, mereka memang melakukan semuanya."
"Dan Anda tetap mengatakan tindakan mereka itu tidak mengganggu Anda. Apakah Anda manusia yang tidak berperasaan?"
"Tidak, saya sudah terbiasa. Istri saya melakukannya selama bertahun-tahun."


"AKU dengar kakakmu masuk penjara lagi"
"Ya. Dia dilaporkan mengambil serpihan kaca."
"Lho, mereka tidak bisa memasukkannya ke penjara hanya karena mengambil serpihan kaca."
"Iya, tapi serpihan kaca itu ternyata berlian."


"APAKAH kamu mengaku bersalah karena mengambil kuda?"
"Apa bebek bisa berenang?"
"Jangan mengalihkan persoalan."


"AKU punya paman yang sangat membenci sirine polisi."
"Kenapa?"
"Dia merasa sirine itu mengganggu pekerjaannya."


"KEPONAKANKU sedang belajar mencuri."
"Belajar mencuri... tapi kenapa?"
"Ya, supaya ia bisa mengikuti sidik jari ayahnya."


"APA ada kata-kata yang ingin kau sampaikan?" kata petugas kepada napi yang hendak menjalani hukum mati di kursi listrik.
"Ya," sahut napi itu cepat, "Saya ingin menghadiahkan kursi ini kepada orang yang mau menggantikan saya."


"YANG Anda maksud mereka akan menggantung saya?" tanya napi kepada pengacaranya.
"Ya, hari Senin pagi."
"Apakah mereka tidak bisa menggantung saya di hari Sabtu?"
"Kenapa Anda tidak ingin digantung hari Senin?"
"Hari yang buruk untuk membuka minggu."


"SAYA akan menjadi pengacara seperti paman saya. Dia seorang pengacara yang baik --dia banyak membebaskan orang-orang dari penjara."
"Hebat, ya..."
"Saya akan menemuinya."
"Di kantornya?"
"Tidak, di penjara. Saya sedang mencoba untuk mengeluarkannya dari sana."


"SAYA kira kemiskinanlah yang membawamu ke tempat ini," kata seorang pengunjung penjara kepada salah seorang napi.
"Sebaliknya, Nyonya," sahut napi itu, "Itu gara-gara saya terlalu banyak mengumpulkan uang receh."


NAPI itu ditempatkan dalam sel isolasi sebelum menjalani hukuman tembak mati. Petugas menanyakan kepadanya apakah ia suka rokok kretek. Napi itu menggelengkan kepalanya.
Petugas itu tentu saja sangat terkejut, "Kamu menolak semua yang ditawarkan. Kamu menolak makanan terakhir dan menolak pembimbing rohani. Apakah ada sesuatu lain yang bisa kami kerjakan untukmu?"
"Ada satu, sih. Saya suka berdeklamasi. Saya ingin mendeklamasikan puisi favorit saya sebelum mati," sahut napi itu.
"O, itu bukan permintaan yang terlalu sulit. Cobalah berdeklamasi dan aku akan mendengarkan."
Napi itu memulai deklamasinya, "Sepuluh ribu botol bir di dinding, sepuluh ribu botol bir di dinding..."


BRAM, napi yang dihukum tujuh tahun, duduk di ruang tamu penjara menemui Tracy, kekasihnya. Rencananya ia hendak melamar sang pacar.
"Aku bukan orang kaya," katanya merendah, "Tapi sebentar lagi aku akan menjadi kaya. Aku punya paman yang sangat kaya raya dan aku satu-satunya ahli warisnya. Dia benar-benar sudah tua dan sedang sakit berat sehingga ia tidak akan dapat bertahan hidup dalam beberapa bulan."
Beberapa minggu kemudian Tracy menjadi bibi Bram.


"DAN kamu biasanya berani merampok sendirian?" tanya pengunjung pada seorang napi, "Kenapa kamu tidak punya teman?"
"Habis, saya takut kalau mereka kemudian menjadi tidak jujur."


BENI lagi-lagi masuk penjara. Kali ini tuduhannya adalah perampokan. Tapi ternyata bukti-bukti kurang kuat sehingga hakim memutuskan, "Orang ini tidak bersalah!"
"Bagus!" teriak Beni, "Apakah artinya saya juga bisa menyimpan uang itu?"


"JADI, ini orang kelima yang kamu pukul tahun ini?" tanya hakim pada terdakwa yang sering masuk penjara karena membuat keributan.
"Nggak sepenuhnya benar, Pak!" sergah terdakwa, "Salah satu dari mereka saya pukul dua kali!"


RAMBO, napi yang dihukum sepuluh tahun karena kasus pembunuhan, mendapat kiriman wiski dari kawan akrab yang mengunjunginya. Wiski itu diminumnya bersama Conan, teman satu selnya.
"Pernahkah kamu mencoba mencampur wiski dengan obat?" tanya Conan. "Cobalah, setelah minum kamu akan merasa melayang-layang."
Begitulah, wiski pun dicampur dengan obat. Rambolah yang minum dulu. Setelah minum, Rambo mengomel sambil menangis.
"Apa yang kamu tangisi?" tanya Conan.
"Aku menangis karena ayahku digantung dan aku memikirkannya setelah minum wiski campur ini."
Kali ini giliran Conan yang minum dan ia pun menjadi tidak terkontrol.
"Dan apa yang kamu tangisi?" tanya Rambo.
"Aku menangis," sahut Conan sambil tersedu-sedu, "karena kamu tidak digantung bersama ayahmu."


GRINGO, napi sel 22, berpura-pura sakit perut hebat. Ia pun dibawa ke dokter penjara.
"Apa yang membuat perut Anda terganggu?" tanya dokter.
"Dua tahun lalu, saya menelan dua uang logam emas yang masing-masing bernilai lima ratus ribu rupiah. Dan sekarang saya ingin Anda mengeluarkannya."
"Gila! Kenapa Anda tidak datang pada saya dua tahun yang lalu?"
"Tentu saja tidak, Dok. Baru sekarang saya butuh uang itu!"


FIRMAN dan Dodo, dua tetangga yang sama-sama pernah masuk penjara, diajukan ke pengadilan karena baku hantam. Hakim pun bertanya kepada Firman, "Kenapa Anda tidak menyelesaikan kasus ini di luar pengadilan?"
"Itulah, Pak Hakim," sahut Firman, "kami sedang melakukannya ketika polisi datang dan ikut campur."


DARIO yang tengah menjalani masa tahanan, dikunjungi pacarnya.
"Darling, maukah kamu menikah denganku?" pinta Dario memelas.
"Apa kamu tahu beda antara aku dan angsa yang kamu pelihara di penjara?" pacarnya balik bertanya.
"Aku nggak tahu."
"Lalu kenapa kamu tidak menikahi angsa itu?"


SELAMA dalam penjara, Haris bersurat-suratan dengan sahabat pena yang dikenalnya di kolom "Teman Baru" di sebuah majalah. Ketika "copy darat", Haris sangat terkejut karena gadis yang dikenalnya dalam surat itu berwajah jelek, tubuhnya sangat gemuk dan cuma punya sebelah mata.
Maka ia pun menggamit kawan yang dibawa teman penanya itu ke sebuah ruangan dan berbisik, "Saya tidak bisa berpacaran dengannya. Dia benar-benar tidak pantas menjadi pacar saya."
"Anda tidak usah berbisik," kata kawan teman penanya itu, "Dia juga tuli, kok."


DUA orang napi tengah berbincang-bincang.
"Apa kamu pernah dengar nasib buruk Bambang?" tanya napi pertama.
"Tidak. Apa yang terjadi dengannya?"
"Dia lari bersama istriku!"


"ISTRIKU lari dengan sahabat karibku," keluh Hasan pada kawan satu selnya.
"Siapa namanya?" tanya kawannya.
"Nggak tahu," sahut Hasan, "Aku belum pernah ketemu dia, sih."


PAK RIO yang sudah lima tahun mendekam di penjara, dikunjungi oleh calon menantunya yang hendak melamar anak perempuannya.
"Apa kamu pikir kamu bisa menunjang kehidupan anak perempuanku kalau kamu menikahinya?" tanya Pak Rio.
"Ya, Pak."
"Apa kamu pernah melihat ia makan?"
"Ya, Pak."
"Apa kamu pernah melihat dia makan ketika orang lain tidak melihatnya?"
Continue Reading | comments

Sport yang Repot by Qomar Sosa











Continue Reading | comments

Joke Pelipur Lara


Grand-Prize-Gianfranco-Uber


"JADI, kamu tidak pernah membiarkan laki-laki memberimu ciuman selamat malam?"
"Tidak, soalnya dia meninggalkanku di pagi hari."


"APAKAH selama melayani laki-laki, Anda selalu memperoleh kenikmatan?" tanya seorang pengunjung baru di sebuah lokalisasi pada pramunikmat yang di-booking/-nya.
"Ah, biasa aja," jawab pramunikmat itu centil, "Habis, saya sudah disuntik kebal, sih!"


"MAS, cepat sedikit! Lambat banget, sih!" kata seorang istri pada suaminya yang pegang kemudi.
"Semalam, aku terlalu cepat, kamu marah!"
"Semalam kan kita tidak keluar!"


"RIN, aku bayangkan malam pertamamu pasti menyenangkan."
"Justru sebaliknya; tanpa kesan. Suamiku diam saja!"
"Kecapean, kali."
"Bukan! Dia takut melihat darah!"


"SUAMIMU pasti dingin di tempat tidur."
"Sok tahu, kamu!"
"Bukankah dia bekerja di pabrik es?"
"Justru karena itu, dia malah bertambah hot. Maklum, mencari kehangatan..."


"SEORANG pemuda memperkosa seorang gadis ingusan", bunyi head line  sebuah surat kabar.
Seorang anak SD yang membacanya berkomentar, "Ya, ampun! Kenapa ingusnya nggak dilap dulu, ya?"


"LARIS manis tanjung kimpul, dagangan habis duit kumpul," seorang pedagang buah berpantun.
"Laris asih tanjung kimpul, dagangan masih duit kumpul," kata seorang pramunikmat menimpali.


SEKSOLOG terkenal yang sering membuat tulisan di media massa itu dimintai pendapatnya oleh seorang wartawan, "Bagaimana supaya bisa menulis sebagus tulisan Anda?"
Sembari tersenyum, seksolog itu menjawab, "Saya minum obat kuat sebelum menulis."


"APA Anda tidak takut terserang penyakit kotor karena menggeluti pekerjaan ini?" tanya wartawan pada respondennya --kembang sebuah lokalisasi.
"Ihhhh," jawab pramunikmat itu sambil mencubit sang wartawan, "Mestinya Anda tanya konsumen saya, dong!"


"UNTUK menyenangkan pelanggan, rumah remang-remang 'Lolita' akhirnya menyediakan model 'paket'."
"Apa itu?"
"Pelayanan sekaligus suntik penicilin untuk para pelanggannya!"

"JAGALAH kesucian hubungan perkawinan kalian sampai akhir hayat," nasihat seorang kerabat kepada sepasang pengantin baru.
"Kalau soal itu jangan khawatir, Pak!" ujar Tini mantap, "Soalnya, sejak malam pertama sampai sekarang, suami saya tetap menjaga kesucian. Maklum, tidak berdaya..."


"KAMU hebat dibanding lelaki lain," ujar Lenny pada pria gundul yang mengencaninya, "dan siapa bilang kamu lemah tak berkemampuan?"
Dengan malu-malu laki-laki itu menyahut, "Ehm, itu bukan anu, melainkan kepalaku...!"


SEORANG suami merasa geram dan kecewa berat pada istrinya yang diperkosa seorang perampok di hadapannya.
Setelah perampok pergi, sang suami pun protes, "Kenapa kamu tersenyum simpul kepadaku waktu kamu diperkosa si biadab itu?"
"Tenanglah, Mas. Jangan emosi... Saya aman, kok. Ternyata si biadab itu impoten!"


KESAL oleh ulah suaminya yang berhidung belang, seorang istri minta pertolongan pada seorang dukun.
"Mau diapain suami Ibu ini? Mau dibikin lemah atau impoten   seketika? Silakan pilih."
"Bikin hidungnya belang-belang saja, Mbah Dukun."

 
JANDA yang berhati mulia itu menemui kekasihnya yang masih belia.
"Apakah engkau bahagia dengan bekas suamimu yang lemah itu?" tanya sang kekasih.
"Dari segi materi sih, cukup! Cuma, di bidang yang satu itu, tanganku setiap malam jadi pegal."
"Pengapiannya lama, ya?"


"WALAUPUN kamu impoten, aku ikhlas jadi istrimu sampai akir hayat," ujar seorang janda kaya pada perjaka tingting pujaannya.
"Bila ternyata nanti aku tidak impoten, berarti engkau ikhlas pula jika aku menambah seorang istri yang masih gadis!"


SELESAI melakukan tugas, seorang istri bertanya kepada suaminya, "Mas sekarang sudah sehat, ya. Apa obatnya?"
"Gampang, tadi aku membayangkan kamu sebagai artis pujaanku: Sharon Stone!"


"TERNYATA saat ini Ibu hamil di luar kandungan," kata dokter kandungan pada seorang pasiennya.
"Habis, suami saya suka main 'interupsi', sih!"


SASA dan Sisi saling berbagi pengalaman mereka dengan dosen yang terkenal sebagai buaya darat.
"Demi menambah nilai mata kuliah Pak Hendro, aku terpaksa mengorbankan bibirku dikecupnya selama lima menit," kata Sasa, "Dadaku sampai terasa mau pecah karena tidak bisa bernapas."
"Aku malah lebih dari itu," keluh Sisi, "Seluruh tubuhku serasa dicakar anak kucing kesayanganku."


"SUDAH berapa lelaki yang Anda layani hari ini?" tanya reporter sebuah majalah pada seorang pramunikmat di sebuah lokalisasi.
"Sudah lima orang, Mas," jawab pramunikmat itu malu-malu.
"Sudah banyak dong uangnya?" kejar sang wartawan.
"Dua orang gratis."
"Lho, kenapa?" wartawan melongo tak mengerti.
"Satu, gratis melayani Pak Germo sebagai panjar setoran," pramunikmat itu menerangkan pelan-pelan, "Kedua, mungkin dengan Anda yang katanya mau nulis jalan nasibku. Iya, to?"

Continue Reading | comments

BBM Masih Menantang by Qomar Sosa











Continue Reading | comments

HumOr Edisi Keempat, April 2012

Wednesday, March 28, 2012



“KENAPA Presiden berani mengambil keputusan yang tidak populer padahal biasanya ia sangat berhati-hati menjaga citra?”
“Gitu aja kok heran, kan sudah jelas tahun 2014 dia tak boleh nyalon lagi?”


“HARI ini DPR akan mengambil keputusan pleno terkait rencana Pemerintah menaikkan harga BBM, menurutmu mereka menolak atau menerima?”
“Kalau kujawab maka rakyat akan menangis pilu; kalau tidak kujawab, rakyat akan mengurut dada sambil bersimbah air mata; apa itu ada manfaatnya bagi kita yang bukan anggota dewan?”


"APAKAH Anda berencana jalan-jalan ke luar negeri masa reses nanti, Pak Benny?"
"Ah, tidak. Buat apa merencanakan jalan-jalan di sekitar orang yang tidak ngomong dengan bahasa kita, dan tidak mungkin memilih kita?"

SEBUAH rapat umum digelar oleh Partai Kambing Congek, di suatu tempat. Di antara pengunjungnya terlihat seorang bocah laki-laki menuntun empat ekor anak kucing untuk dijual.
Tiba-tiba seorang laki-laki dari partai tersebut menghampiri si bocah, lalu bertanya, "Apakah ini anak kucing Partai Kambing Congek?"
"Ya, Tuan, tentu."
"Bagus. Kalau begitu, aku beli dua ekor."
Kira-kira seminggu kemudian, Partai Tikus Berjamaah menggelar rapat partai di tempat yang sama. Di antara pengunjungnya terlihat si bocah menuntun dua ekor anak kucingnya yang belum laku. Cukup lama dia menunggu, namun tak seorang pun berminat membeli kucingnya.
Akhirnya, seorang pengurus partai mendekatinya, dan bertanya, "Hai, Nak, jenis apa kucingmu ini?"
"Tentulah jenis kucing Tikus Berjamaah, Tuan."
Secara kebetulam, pembeli kucing minggu lalu yang pengikut Partai Kambing Congek, melintas di tempat itu dan mendengar jawaban si bocah. Ia segera mencekal leher baju si anak, dan berteriak, "Anak macam apa kau! Seminggu yang lalu kau mengatakan kucing-kucing ini kucing Kambing Congek?!"
"Kemarin memang iya, Tuan," jawab si anak terbata-bata, "namun sekarang tidak lagi. Setelah... mata mereka terbuka!"

Dan banyak lagi lelucon "pahit" lainnya. Juga kartun opini yang menggelitik, foto lucu, kolom segar, gambar penuh kelakar dst dst. Selamat menikmati, semoga Anda menderita kebahagiaan!
Continue Reading | comments

Humor-humor Tokoh Indonesia

Darminto M Sudarmo

PENYANYI dangdut, Evie Tamala, beberapa waktu lalu pernah terang-terangan mengaku mengagumi Amien Rais karena tiga alasan; pertama, Amien itu orangnya lucu; kedua, pinter dan ketiga karena berani. Mengapa kata lucu harus diletakkan pada pilihan pertama? Benarkah Amien lucu? Anda dapat mengukur fakta itu sesuai kepekaan rasa humor masing-masing. Di televisi, seminar atau dalam percakapan sehari-hari, mudah dijumpai Amien sangat suka menggunakan idiom plesetan; tak peduli itu bahasa asing maupun bahasa daerah (Jawa); sehingga nuansa pembicaraannya terkesan lebih segar, basah dan akrab. 

Bagaimana dengan Gus Dur? Tokoh yang memiliki wawasan humaniora seabreg ini tak perlu diragukan lagi selera humornya. Jauh sebelum ia dikenal sebagai tokoh yang banyak mengeluarkan “konspirasi teka-teki” lewat lemparan singkatan nama orang yang “dimungkinkan” terlibat dengan berbagai peristiwa mencekam, Gus Dur telah sangat dikenal sebagai individu yang sangat doyan lelucon dan mempunyai simpanan joke luar biasa banyaknya. Jadi, sangat tidak bijaksana mengulas hubungan humor dan Gus Dur atau sebaliknya. Hanya menggarami air laut yang sudah asin.

Tetapi, mengapa Megawati Soekarnoputri terkesan sendu dan serius? Apakah Mega tak suka humor? Tunggu dulu. Antara Juli-Agustus 1999 sebenarnya ada niat dari sebuah pihak yang ingin menerbitkan buku “Megawati dalam Karikatur”; berisi aneka karikatur Mega atau PDI atau PDI Perjuangan yang telah termuat di berbagai media massa sejak 1994 hingga ke situasi paling akhir. Ini dimaksudkan agar memperoleh refleksi obyektif dari perjalanan Mega sebagai figur maupun bagian penting dari sebuah lembaga politik yang bernama PDI Perjuangan. Konon, Mega sudah sangat menyukai rencana itu walaupun banyak juga gambar yang agak meledek sikap diamnya; entah kenapa tiba-tiba rencana penerbitan itu tertunda dan tak terdengar lagi kabarnya sampai sekarang. Ada kabar yang mengatakan buku itu tetap diterbitkan walaupun dengan cetak terbatas, karena ternyata masih banyak kesalahan dan belum diloloskan oleh tim editor. Menurut orang-orang dekatnya, tidak benar kalau Megawati tak suka humor. Persoalannya karena dia wanita; sesuka apa pun pada lelucon, tentu tidak dia ekspresikan dalam bentuk tawa cekakak-cekikik yang kurang estetik dilihat dari sudut etik. Begitu katanya.
Bagaimana dengan Akbar Tandjung? Anda semua pasti juga sudah sangat paham. Dia bukan orang yang colorful atau orang yang suka guyon, ujar seorang rekan saya. Akbar itu orangnya lempeng-lempeng saja. Kalau mau ke kantor, ya ke kantor; tidak muter-muter atau mampir-mampir; apa adanya dan sedikit kurang romantis. Itu kata rekan saya. Lihat saja ketika ia menghadapi sergapan pertanyaan wartawan; jarang, bahkan hampir tak pernah dia berdiplomasi dengan joke atau lelucon yang berselera cerdas. Dan tipe seperti Akbar Tandjung itu banyak. Tak terkecuali Marzuki Darusman. Beda dengan Marzuki Usman yang mantan Menparsenibud itu. Dia biangnya. Senang berlelucon. Sekali Anda sentil saraf humornya, maka kran lucunya langsung terbuka dan akan mengucur banyak lelucon segar. Memang begitulah; walaupun sama-sama hidup di bawah pohon beringin, yang satu sangat serius, yang lain sangat moderat, yang lain lagi asal happy. Jadi apa pun mereka, selama itu masih be theirselves dan bisa menikmatinya, terserah mereka aja. It’s none of my business, he-he-he.
            Nah, bagaimana kesan Anda waktu mengenang sosok yang sangat heboh ini, BJ Habibie? Mungkin sekali kita sependapat, bahwa dia masih memiliki jiwa moderat, jiwa yang lapang dalam merespon kritik. Termasuk reaksinya terhadap karikatur atau lelucon yang menjadikan dirinya sebagai obyek, nyaris oke-oke saja. Sudah ratusan, bahkan ribuan gambarnya dibuat karikatur oleh koran dan majalah; sejauh ini belum sekalipun dia komplain, marah-marah atau menuntut pada media untuk meminta maaf. Begitu juga ratusan lelucon (joke) yang sengaja atau tidak sengaja beredar di sekeliling atau di luar dirinya. Habibie cuma bilang, “It’s OK. Demokrasi.” Persis seperti cara dia merespon serangan “Huuuuu!” yang dilakukan beberapa anggota MPR di awal-awal sidangnya beberapa waktu lalu. Apakah jiwa besarnya itu sungguh-sungguh atau hanya lip service? Anda bisa menilai sendiri, kan? Apa pula komentar Anda setelah menyimak lelucon berikut ini. Tentang beliau.
Usai dilantik menjadi Presiden Indonesia pada Maret 1998, Soeharto masih memerlukan satu kali lagi test akhir untuk menguji calon Wakil Presiden yang bakal mendampinginya. Pilihan saat itu yang diajukan Golkar ada tiga: Habibie, Harmoko dan Try Soetrisno. Karena masing-masing punya kelebihan yang mencolok, Soeharto menjadi agak bimbang. Tapi dia tak kehilangan akal. Test akhir yang bakal diajukan untuk mereka pasti manjur dan sanggup menentukan pilihan yang sangat cocok buat posisi itu.
Kepada Harmoko ia bertanya, “Mok, berapa 3 kali 3?”
Karena Harmoko dikenal selalu ingin menyenangkan Pak Harto dalam berbagai situasi dan kondisi, maka dia menjawab spontan, “Terserah Bapak sajalah maunya berapa. Saya sih, ikut saja.” Rupanya jawaban ini tidak memuaskan Soeharto. Dia khawatir pada orang yang suka ABS, suatu saat buntutnya pasti tidak enak. Harmoko dianggap gagal.
Kepada Try Soetrisno ia bertanya hal serupa. Try Soetrisno yang selama ini dikenal jujur dan apa adanya, juga menjawab sesuai hati nuraninya, “Ya, sembilan, Pak.” Soeharto tetap belum puas. Orang yang terlalu jujur dan lugu bisa membahayakan dirinya yang penuh dengan misteri dan rahasia. Try Soetrisno dianggap gagal.
Kepada Habibie, ia juga bertanya tentang hal yang sama. Habibie tampak termenung agak lama menerima pertanyaan itu. Tetapi bagaimanapun Habibie itu, ia seorang profesor lulusan perguruan tinggi top di Jerman dan orang Jerman mengakui kejeniusannya. Setelah menemukan jawaban, mata Habibie yang bundar itu tampak membeliak lebar dan ia pun berteriak, “Eurekaaa! Aku berhasil!” Soeharto tersenyum-senyum menyaksikan itu; ia memang sudah menduga dirinya pasti tidak salah memilih orang.
“Berapa Bie, persisnya?” tanya Soeharto tak sabar.
“Sudahlah, 3 buat saya, 6 buat Bapak, dah!”
Habibie dinyatakan berhasil dan layak menjadi Wakil Presiden Indonesia mendampingi Presiden Soeharto.
            Ini lelucon yang muncul sesudah Pak Harto lengser. Suatu hari, beberapa minggu setelah BJ Habibie dilantik menjadi Presiden menggantikan Pak Harto, BPPT punya hajat. Pada saat itu, Habibie dan hampir seluruh anggota kabinet hadir. MC pun mulai memimpin acara. Setelah acara rutin beres, MC berkata, “Acara berikutnya adalah sambutan dari Bapak Menristek. Waktu dan tempat kami persilakan.” Tiba-tiba BJ Habibie berdiri dari duduknya dan berjalan menuju mimbar. Tentu saja sang ajudan kalang kabut. Buru-buru ia mengejar Habibie, lalu berbisik, “Mohon maaf, Pak. Bapak sekarang sudah Presiden. Bukan Menristek lagi.” Sesaat Habibie terbengong. “Oh ya?” Habibie geleng-geleng kepala, lalu senyum-senyum sendiri dan kembali ke tempat duduknya semula. Dasar profesor.
            Ini joke lain lagi. Pimpinan rumah tangga Istana Kepresidenan membuat peraturan kepada seluruh staf, agar setelah Presiden Habibie pulang, meja kerjanya harus dibersihkan segera. Tak boleh sesobek kertas pun tertinggal. Mengapa muncul peraturan seketat itu? Usut punya usut, ternyata kalau sampai ada sepotong kertas yang tertinggal di meja kerja, pasti ditandatangani Presiden. Maklum, waktu itu memang masih baru; jadi masih gres dan tokcer.
            Dan joke yang ini sebenarnya tergolong kelewatan; tapi uniknya, menurut sebuah sumber, yakni orang dekat di Sekretariat Negara, setelah mendengar lelucon tersebut Pak Habibie cuma menanggapinya sambil ketawa. Kalau toh kemudian tercetus dalam ucapan, paling banter dia akan berkata, “It’s OK. It’s just a joke.” Benarkah Habibie sehebat itu?
            Dikisahkan, sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1999, praktis Indonesia baru memiliki 3 presiden. Dan konon, menurut lelucon itu, ketiga presiden itu sama-sama gilanya. Kalau presiden pertama gila wanita; presiden kedua gila harta; maka presiden ketiga, gila beneran!
            Berbeda dengan Baligate, yang belum melahirkan karikatur yang josss dan signifikan; kasus Watergate justru sebaliknya. Begitu heboh dan marak merebak; pendek kata, karikatur tentang Presiden Nixon muncul di hampir semua koran Amerika. Salah satu yang menarik adalah sebuah koran yang memvisualkan keruwetan kasus itu dengan ungkapan yang sangat khas. Digambarkan Nixon tampak duduk di kursi sebagai tertuduh; namun, hakim, para juri, pembela, penuntut dan pengunjung sidang, semua juga berwajah Nixon! Surealis sekali, bukan?
            Diam-diam lomba membuat lelucon antar peta kekuatan organisasi politik pun juga berlangsung cukup ramai. Terutama di saat menjelang Pemilu 1999. Kalau Gus Dur pernah membandingkan unsur NU yang ada di PKB dan NU yang ada di luar PKB itu bagaikan seekor ayam yang mengeluarkan sesuatu dari duburnya; yaitu  telor dan (maaf) telek. Sementara itu dari kubu PDI Perjuangan sebagai sekutu PKB, juga tak mau kalah kreatif dari rekannya dan mengeluarkan  lelucon seperti ini: Presiden pertama Indonesia itu, suka wanita; presiden kedua, takut sama wanita; presiden ketiga, kewanita-wanitaan; maka presiden keempat, jelas wanita beneran!
            Begitulah, sehingga secara tak terduga, di antara  bersimpang siurnya situasi krisis yang mencekik, teror yang menggila, penjarahan dan perampokan yang merajalela dan terjadi pada saat itu, kehadiran lelucon, betapapun sedikitnya terasa seperti setetes air yang memberi kesejukan pada masyarakat yang sedang kehausan dan kelaparan kepercayaan pada para elit pimpinannya itu.
            Dan puncak dari seluruh momentum “ger-geran” (bisa dibaca: geger-gegeran atau gerrr-gerrran) di tingkat elit itu ada pada Pak Harto, terutama sesudah dia lengser. Bukan saja munculnya lelucon tentang dia yang membanjir dan meluap di internet, tetapi juga dimeriahkan dengan  rumor, buku, bahkan hujatan (lelucon yang menghakimi) yang ramai beredar di toko buku dan dikunyah masyarakat secara sangat lahap. Rakyat tetap masih belum kenyang juga. Barulah ketika Butet Kartaredjasa, seorang aktor monolog dari Yogyakarta, membawakan sosok dan figur menonjol di zaman Orde Baru dalam sebuah pentas, gegerlah publik. Berebutan mereka mengundang Butet. Sehingga hotel, kafe, bahkan stasiun TV diramaikan oleh sepak terjang Butet. Ingin apa sebenarnya masyarakat itu dari Butet? Ingin bisa ketawa atau ngetawain?
            Ini dia soalnya. Saat itu telanjur terjadi salah persepsi dalam benak para elit politik atau penguasa. Mereka terjebak pada keyakinan bahwa lelucon itu membahayakan. Mereka juga mendramatisasi situasi agar tak menganggap enteng lelucon; karena sebuah senyum atau tawa juga dapat menggerakkan revolusi. Akibatnya, lelucon-lelucon kritis dan cenderung pedas, disikat habis tanpa ampun. Padahal bila para elit penguasa mau mengkalkulasi, seharusnyalah mereka berterimakasih karena masih ada orang yang membuat lelucon. Masih ada orang yang menuturkan lelucon dan mendengarkannya. Apalagi sampai mengapresiasi dan ketawa terbahak-bahak karenanya. Dengan demikian kebringasan dan agresivitas masyarakat bisa tereliminasi. Dan lelucon di situ, betapa pun tajamnya, tetap saja akan berhenti sebagai lelucon. Masyarakat pun lupa menggalang kekuatan, apalagi melakukan upaya-upaya makar.
            Bila substansi lelucon sudah bebas dari agitasi dan pretensi politis, maka situasi yang ada sebenarnya sudah bisa dianggap  kembali ke lelucon murni; lelucon yang benar-benar dimaksudkan untuk menghibur dan menyenangkan hati. Bukankah orang bilang, “Ketawa itu sehat?” Lagi pula, lelucon juga dapat digunakan untuk mengukur kualitas demokrasi seseorang; asal tidak dadakan dan dibikin-bikin!
(Sumber: Anatomi Lelucon di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2004)

Continue Reading | comments

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi

Buku Satir Sosial Politik - Humor Dosis Tinggi
Untuk informasi pemesanan silakan klik gambar cover tsb.
 
Copyright © 2011. Majalah HumOr . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger