Darminto M Sudarmo |
Begitu pula logika yang ada di benak pemilik industri pesawat terbang. Mengingat pentingnya pesawat bagi mobilitas orang sedunia, yang butuh kecepatan, kenyamanan dan keamanan, maka apapun yang pernah terjadi, the show must go on. Pesawat-pesawat terbaru dan tercanggih harus tetap diproduksi karena itu memang dibutuhkan. Dua brand yang hingga kini merajai industri pesawat komersial dunia adalah Boeing dan Airbus. Kompetisi di antara mereka berdua juga seru. Keduanya bisa disebut pemilik duopoli saat ini.
Apa bedanya kedua pesawat ini? Boeing, baik seri 747 atau
777 senyaman dan seaman apapun tetap berbeda dengan Airbus A380 atau A350 di
mata konsumen yang semakin kritis dan rewel. Selain Airbus berbadan lebih lebar
secara teknologi juga lebih high end.
Kenyamanan itu akan terasa sekali kalau Anda memiliki postur tubuh di atas
rata-rata normal alias gendut; jika melihat ruang duduk pesawat yang kecil dan
sempit, langsung saja membuat si empunya tubuh merasa kejepit; apalagi kalau
sudah mengenakan sabuk pengaman, napas serasa berhenti dan badan langsung tak
berkutik. Lha Airbus, yang menjanjikan kenyamanan bus udara, setidaknya memang bisa
dirasakan kelebihannya. Tak peduli apakah pesawat itu memuat 150 atau 500
penumpang. Ini beda sekali dengan pengalaman ketika kita naik pesawat berbadan
kecil, kita merasa dimasukkan ke dalam kotak (maaf, peti mati), lalu
dilemparkan ke udara. Bayangkan bagaimana rasanya?
Di Airbus, perasaan lega dan nyaman memang terasa. Beberapa
waktu lalu, dalam perjalanan dari Denpasar ke Jakarta dengan Garuda Airbus
(A330-330 dengan kapasitas 257 seats)
, saya melihat beberapa kursi yang kosong. Pada baris tengah, pada deretan 5
kursi terlihat penumpangnya hanya seorang, akhirnya saya senyum dalam hati
waktu melihat penumpang itu memanfaatkan penerbangannya dengan tidur mendengkur
di seluruh permukaan seat kayak
tiduran di bangku terminal saja. Asyik. Terbukti, Airbus memang nyaman, kan? Begitulah,
kompetisi dua raksasa industri penerbangan komersial tersebut terus berlomba
meningkatkan daya pikatnya. Tak pelak bila sejarah langsung mencatat persaingan
antara Boeing (Amerika Serikat) dan Airbus (konsursium Eropa) tergolong ketat
dan seru.
Di tengah deru kompetisi dua produk pesawat komersial dunia
yang memiliki riwayat pasang surut pasar itu, kehadiran Sukhoi Superjet 100 komersial
(Rusia) yang mengusung ambisi besar untuk menembus duopoli Boeng-Airbus dapat
diraba dari pernyataan Captain Alexander Yablontsev sehabis terbang perdana
Sukhoi 19 Mei 2008, ”Ini pesawat tercanggih dan terbaik saat ini. Dapat terbang
di landasan yang kurang baik, karena memiliki daya dorong mesin kuat sehingga
kondisi jelek itu bukan halangan untuk mengudara. Masa depan Industri
Dirgantara Rusia akan cerah setelah lahirnya Sukhoi Superjet 100 ini.” Dan
ternyata ambisi itu menjadi sangat terganggu setelah peristiwa naas yang
dialami Sukhoi pada 9 Mei 2012. Sebagaimana banyak diberitakan media, Captain
Alexander Yablontsev gugur dalam tugas bersama pesawat Sukhoi superjet 100.
Pada 9 Mei 2012, pukul 14.12 pesawat kehilangan kontak dan ditemukan sebagai
puing-puing berserakan keesokan hari karena menabrak tebing berkemiringan 85
derajat di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Pesawat itu, ditemukan
Tim Basarnas pada 10 Mei 2012.
Produk industri penerbangan hampir sama saja dengan produk
ayam goreng. Cedera popularitas, cacad citra, gangguan image, sedikitnya juga berpengaruh pada pertimbangan akal sehat
konsumen. Setidaknya ketika trauma ketidaknyamanan itu belum sirna. Masyarakat
pada umumnya nyaris tidak mau peduli apakah akibat kecelakaan pesawat itu
karena human factor atau technical factor. Nasib sial Sukhoi yang
sangat mendadak dan tidak terduga itu, gaungnya belum juga surut hingga kolom
ini ditulis. Spekulasi tentang siapa yang salah pun merebak dan berhamburan ke
mana-mana. Tak terkecuali spekulasi “jahat” yang menjahili kemungkinan tentang adanya
“sabotase” dari pihak pemilik duopoli yang menyewa “agen-agen”-nya untuk
mengakhiri demonstrasi Sukhoi yang dapat memecah konsentrasi pasar produk
mereka di Indonesia. Dunia oh dunia...!!!!
Dunia juga...yang membuat Lady Gaga gagal melakukan tour di
Indonesia. Berbeda dari banyak stigma tentang Lady Gaga yang dikhawatirkan sekelompok
masyarakat kita (terutama soal ke-yahudiannya—keluarganya penganut Katolik
Roma), berbeda pula kenyataan yang sesungguhnya ada pada diri gadis kidal bernama
asli Stefani Joanne Angelina Germanotta
ini (lahir di New York City pada 28 Maret 1986, dari keluarga campuran
Italia-Amerika). Seperti diberitakan, Ia belajar bermain piano sejak umur empat
tahun, menulis lagu piano pertamanya pada usia 13 tahun dan tampil secara open mike pada umur 14 tahun. Ia mengaku
dari keluarga tidak mampu, “Ibuku bekerja dari jam delapan pagi sampai delapan
malam di luar rumah, dalam bidang telekomunikasi, dan begitu pula ayahku."
Mengawali kariernya sejak tahun 2006, penuh tanjakan dan
turunan sehingga bentuk kesenian yang hampir jadi dan menjadi pijakannya justru
di tahun 2007. Sebenarnya kalau dibilang perjalanan kariernya serba gampang
karena “menjual” erotisme dan keanehan, belum tentu benar juga karena
sebagaimana banyak aktris lain yang mencapai tangga popularitas tinggi dan
sukses sebelumnya juga mengalami peristiwa jatuh bangun. Gaga remaja, dalam
masa pencariannya juga begitu. Dia telah melewati tahap-tahap bekerja sama
dengan banyak pihak, tetapi semua berujung pada kekecewaan hatinya yang
terdalam, hingga ia balik ke orang tuanya, larut dalam dunia dugem, obat-obatan,
melakukan pentas di bar, kelab malam dan seterusnya.
Setelah pindah ke Los Angeles pada 2008, albumnya The Fame, gabungan dari genre musik yang
berbeda-beda, mendapat sambutan positif dari kritikus kontemporer. Diberitakan
kemudian album itu memuncak di nomor satu di Inggris, Kanada, Austria, Jerman,
Swiss dan Irlandia, dan puncak-lima di Australia, Amerika Serikat dan lima
belas negara lain. Di seluruh dunia, The Fame telah terjual lebih dari empat
belas juta kopi. Singel pertamanya "Just Dance" menduduki puncak
tangga lagu di enam negara-Australia, Kanada, Belanda, Irlandia, Inggris, dan
Amerika Serikat-dan kemudian menerima nominasi Grammy Award untuk Rekaman Dansa
Terbaik.
Ini artinya, kalau kemudian kreasi dan pilihannya yang
eksentrik dan provokatif itu disebut sebagai salah satu mainstream untuk jenis
musik yang digandrungi masyarakat saat ini, sebenarnya bermula dari hal yang
mengalir dan intuitif; seperti tertulis dalam uraian berikut ini: Gaga sangat
dipengaruhi oleh artis glam rock
seperti David Bowie dan Freddie Mercury dari band Queen, serta artis dance-pop seperti Madonna dan Michael
Jackson. Lagu Queen "Radio Ga Ga" menginspirasi nama panggungnya,
"Lady Gaga" (bermula dari lafaz Radio Gaga yang dimain-mainkan atau
dipelesetkan akhirnya menjadi Lady Gaga-Red). Dia berkomentar: "Saya
memuja Freddie Mercury dan Queen yang telah mempunyai hit "Radio
Gaga". Itulah mengapa saya mencintai nama tersebut. Freddie sangat
unik—salah satu tokoh terbesar di sejarah musik pop."
Gaga juga sering dibanding-bandingkan dengan Madonna. Ia sendiri
menyatakan, "Tidak seorang pun penggemar Madonna yang lebih memuja dan
mencitainya melebihi saya. Saya adalah penggemar terbesarnya, baik secara
pribadi maupun profesional." Penyanyi lain yang juga menginspirasi Gaga di
antaranya adalah Whitney Houston, Britney Spears, Grace Jones dan vokalis
Blondie Debbie Harry. Dalam sebuah
wawancara dengan Yahoo! Singapura, saat ia menjawab banyak pertanyaan dari
media, dia menyatakan Cyndi Lauper adalah seseorang yang ia kagumi, dan dia
menyatakan ia merupakan alasan albumnya, Born
This Way, lebih berjenis musik rock. Dia juga mengatakan ingin albumnya
menjadi milik para fans, karena mereka bereaksi lebih kuat saat mendengar lagu
rock dibanding pop, dan akhirnya itu menjadi alasan baginya memberi elemen rock
pada albumnya.
Kontroversi yang kemudian berkembang dan menimbulkan
berbagai tafsir (khususnya di negeri ini), termasuk kesalahpahaman, ketumpangtindihan
persepsi, ketika penampilannya juga mengeksplorasi ikon fashion yang ganjil dan
atraktif, adegan-adegan erotik (termasuk paham bi-seksual, dia dengan sadar
merawat dukungan dari kaum gay dan mengaku akan menjadi “pembela” terdepan
mereka), serta konsep lagunya yang banyak melihat sisi gelap dari dunia
pertunjukan dan ketenaran. Pengalaman pahitnya dengan bekas pacar semakin
mempertegas konsep dan kengerian kreasinya sehingga ia mendapatkan julukan si
Monster Kecil. Pengakuan keberhasilannya pun berlimpah ruah; penghargaan yang
diterimanya pun datang dari berbagai penjuru. Dia memang sosok yang
berkarakter.
Pertanyaan akhirnya adalah, moralitas seperti apa sebenarnya
yang ditakutkan dari Si Monster Kecil ini? Mungkin kita jarang melihat
persoalan ini dari sisi psikologis; Si Stefani, gadis ini, seperti halnya
kreator atau seniman lain, sudah tentu memiliki kegelisahan, ketakutan,
kekuatan, keinginan, kebencian, kecintaan dan talenta; seperti kata penyair J
Keats, setiap seniman (apakah ia pencipta lagu, pelukis, pengarang, kartunis,
pelawak, penyanyi dan lain-lainnya) memiliki “harta” yang bernama negative capability (kekuatan negatif);
harta inilah yang menjadi pendorong lahirnya daya cipta dan kreasi.
Jadi kalau Lady Gaga atau Stefani punya kesadaran, bahwa
sesuatu yang biasa-biasa saja, yang ikut-ikutan mau ditawarkan ke forum
pencinta musik dunia, forum yang keras kompetisinya, hasilnya tentu pepesan
kosong belaka; sesuatu yang akan lewat bagai angin lalu. Dalam suatu
pengakuannya, ia pernah mengatakan rela untuk makan kotoran sekalipun asal
omongannya didengar, asal pertunjukannya dilihat orang. Itulah si eksentrik
Stefani. Layakkah kita memprovokasi sikap dan pilihannya dalam kesenian untuk
tampil baru dan beda, padahal itulah kredo yang seharusnya dimiliki semua
kreator atau seniman lain kalau kehadirannya ingin dianggap ada?
Semarang, 30 Mei 2012
0 comments:
Post a Comment