|
Kartun M Najib |
Menakar moralitas dalam dunia seni dan pertunjukan adalah hanjriiiitttt! (istilah Heru S. Sudjarwo). Maksudnya kurang lebih seperti mencumbu angin dan menyetubuhi badai. Seperti melacak AD-ART ideologi Ewes-ewes. Mencari pasal, mencari ayat yang kemudian terbang ketika orang bersendawa lalu bablas logikanya. Persoalan keamanan itu tanggungjawab polisi, iya; nenek-nenek juga tahu. Persoalan moralitas dan keadaban adalah tanggungjawab para ulama dan agamawan, iya itu sudah seharusnya. Tetapi persoalan moralitas dalam kesenian, bukan polisi bukan ulama dan agamawan yang punya domain; domain itu ada di dalam Dewa Estetika, Bathara Kredo dan Sang Hyang Kreativitas. Dan semua itu melebur di dalam nilai yang bisa berubah sewaktu-waktu, bisa sangat nisbi di kali yang berbeda. Jadi budayawankah atau kritikus seni yang berwenang? Rekomendasi mereka hanya sementara. Hanya versi. Maka tak aneh bila karya seni itu sangat dinamis sangat plastis, karena sifat naluriahnya yang nisbi, mimesis, kinyis-kinyis meskipun kadang juga thukmis.
Mari kita simak karya-karya humor, lelucon, pertunjukan, wayang, musik, lawak, eprek-eprek dari yang canggih serius setengah mati sampai yang jumpalitan mengumbar aurat, mengeksplorasi kejenialan hingga yang jorok borokokok menebar terminologi tabu yang menyelinap di relung kasak-kusuk. Ada yang ajib, ada yang hanjrit, semua memberi warna dinamika, bahwa dunia seni (apalagi) pertunjukan, sungguh wilayah nyata yang tak bisa disentuh dengan takaran-takaran matematis, apalagi logika dogmatis. Itu sepertinya bikin miris, tapi tidak, ia hanya letupan kembang api fenomena dari magma kreativitas yang terus akan ada.
Salam,
Redaksi
|
Kartun Djoko Susilo |
0 comments:
Post a Comment