Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
Merindu Nasionalisasi Indonesia
Emha Ainun Nadjib |
Oleh Emha Ainun Nadjib - KOMPAS, 22 Septembr 2012
Berangkat dari Jokowi ke Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia, atau baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia. Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.
Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.
Manusia berani
Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidakpeduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu membikin "siapa tahu" dan "kalau-kalau" menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan 'wi' telah menyekunderkan 'Joko'. 'Wi' itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa silam.
Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.
Berangkat dari Jokowi ke Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia, atau baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia. Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.
Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.
Manusia berani
Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidakpeduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu membikin "siapa tahu" dan "kalau-kalau" menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan 'wi' telah menyekunderkan 'Joko'. 'Wi' itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa silam.
Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.
"Jokowi" itu nama
yang mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk
tidak berharap pada kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti
puluhan kali kecele. Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya, wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana Islam "harus jelek" bahkan "miskin, bodoh, dan pemarah". Ditambah Bowo pula.
Fauzi Bowo dirugikan oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya, wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana Islam "harus jelek" bahkan "miskin, bodoh, dan pemarah". Ditambah Bowo pula.
Kalau "Prabowo"
masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal umum "wong
Jowo".
Begitu jadi orang Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus "mudik ke Jawa". Jawa adalah entitas masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu.
Bukan kendali manusia
Pasti tidak ada maksud tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak linier; meskipun kita menitinya melalui garis Tinier. Proses-proses sejarah berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan. Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang baik dan benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.
Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi "Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah."
Mencari asal
Begitu jadi orang Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus "mudik ke Jawa". Jawa adalah entitas masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu.
Bukan kendali manusia
Pasti tidak ada maksud tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak linier; meskipun kita menitinya melalui garis Tinier. Proses-proses sejarah berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan. Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang baik dan benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.
Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi "Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah."
Mencari asal
Orang memilih Jokowi mungkin setahap perjalanan di alur "sangkan
paran", bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada din sejatinya.
Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya, sosoknya. Jokowi
kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin rakyat sadar dulu salah
pilih SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka menyangka ia yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Se-mar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, "Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di, Bumi". Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa "bukan ini Indonesia". Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.
Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka menyangka ia yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Se-mar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, "Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di, Bumi". Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa "bukan ini Indonesia". Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.
Mendadak Ingat Kisah Mataram Serbu Batavia
M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung - Tabloid O-Posisi
KEMENANGAN pasangan Jokowi-Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 seakan mewujudkan kembali nafsu Mataram untuk menguasai bandar Batavia pada abad ke-17. Dulu Sultan Agung yang “nasionalis” dua kali gagal menyerang Batavia karena terlalu percaya diri, di tengah pengkhianatan Banten dan Cirebon yang takut kesultanan dari Jateng itu menguasai bandar strategis tersebut. Kekacauan logistik, kecerobohan intelijen strategis mereka, dan kurangnya dukungan “akar rumput” membuat serangan mereka mandul.
Aneh tapi nyata! Di salah satu fron, pasukan Mataram yang gagah berani malah dilawan pakai siraman tai oleh tentara sewaan Kompeni.
Kini, dalam setting, kemasan, dan semangat yang berbeda, “kemenangan utusan Mataram” atas Jakarta di awal abad ke-21 ini menjadi keduakalinya setelah Walikota Syamsurijal yang sama-sama datang dari Surakarta sebelum masuk ke Jakarta. Untuk yang kali ini, “utusan Mataram” mendapat back-up dari keturunan Dinasti Ching. Kelompok etnis ini sudah bercokol di Jakarta sejak lama sebelum para bule menjajahnya dan semakin meningkat setelah Kompeni mendatangkan pekerja terampil dari Tiongkok.
Kemenangan Daya Kritis
Lolosnya duet Jokowi-Ahok antara lain mengusung citra sebagai pemimpin prorakyat, praktikal, logis. Dalam salah satu survei stasiun TV nasional, pemilih pasangan ini terbesar justru lulusan perguruan tinggi, kelompok kritis, berpengetahuan, memiliki wawasan luas berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Sedangkan duet Foke-Nara terbanyak didukung oleh lulusan SD yang merupakan kelompok kurang kritis, kurang berpengetahuan, emosional, mudah dipermainkan isu primordial.
Jakarta Utara
Kecuali di Kepulauan Seribu, duet “Mataram dan Ching”menang besar di Jakarta Utara dalam “pertempuran” 20 September lalu. Pada abad ke-17, dulu, pasukan Sultan Agung membangun pos penyerbuan di Marunda. Daerah “kumuh” ini strategis dan dipakai pula oleh seorang admiral Inggris, Sir Samuel Auchmuty, Agustus 1811, untuk menyerang Kompeni di Batavia hingga Meester Cornelis. Hingga sekarang Jakarta Utara menjadi pintu masuk pendatang baru dari daerah. Strategis, tapi tak terolah baik oleh duet Foke-Nara.
Dikalahkan Tai
Ini kejadian lucu yang dilaporkan orang Jerman, Johan Neuhoff, dalam buku Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an den Tatarischen Cham, dan dituliskan pula oleh Raffles dalam The History of Java II.
Tahun 1628 Sultan Agung menyerang Batavia dengan ribuan pasukannya, di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa, dari darat dan laut. Semua gagal, sebab Belanda sudah mengantisipasi. Tahun 1629 serangan diulang dengan lebih besar. Di dinding benteng Hollandia, Batavia selatan, pasukan Mataram menekan Kompeni sampai kehabisan amunisi. Yakin Kompeni tak bisa menembak, pasukan Mataram memanjat dinding. Bingung karena tak ada amunisi lagi, muncul ide gila dari prajurit bayaran Kompeni asal Jerman, Hans Madelijn. Teman-temannya diminta menguras kakus pakai topi mereka dan menyiramkannya ke pasukan Mataram yang hampir mencapai puncak dinding.
Aneh, “senjata ganjil” yang hingga sekarang belum ada dalam referensi von Clausewitz—bahkan Sun Tzu pun—itu ternyata manjur. Pasukan Mataram melorot turun sembari menyumpah : “O, seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay!” Kata ini terekam sebagai kalimat Melayu pertama dalam buku Jerman. Babad Diponegoro menceritakan, “komandan” serangan Ki Mandurareja dan para adipati berlumuran tai bule ini, lantas pulang untuk mandi sambil menyumpah-nyumpah tak keruan.
Maka, ada plesetan nama Betawi dari kata “mambet tai” atau berbau tai. Bahkan, daerah Hollandi dijuluki sebagai Kota Tai hingga abad ke-18.
Kuras Kakus dan Kali
Sayang sekali, duet Foke-Nara tidak memakai “amunisi antik” itu dalam dua pertarungan yang semuanya tidak dimenanginya. Kalau saja pakai teknik zaman baheula seperti ide gila Hans Madelijn itu, pasti akan ada perbedaan hasil. Dan, rakyat Jakarta bisa senang karena seluruh WC di Jakarta bisa bersih dan kosong. Kalau biasanya orang berhajat besar atau kecil harus membayar (ini sebenarnya tindakan kejam, tidak manusiawi) hari itu tidak. Malah gratis dan terarah. Kakus umum yang di gang-gang dan nangkring di pinggir kali Ciliwung yang jorok bisa bersih. Kali-kali kecil yang selama ini jorok, mampet, berbau, bisa terkeruk dan terkuras bersih.
Kelihatannya perlu gebrakan mengejutkan guna mencairkan rutinitas, ortodoksi, yang biasa diderita birokrat yang sudah lama bercokol. Perlu ada pemimpin yang berjiwa kewirausahaan yang mampu melihat peluang-peluang dan membungkus kegiatan secara menarik. Jakarta perlu nadi baru sesudah Ali Sadikin dulu.
Perlu gebrakan, lalu terus memperbaiki sesuai tuntutan keadaan. Tapi, ya jangan pakai ide Hans Madelijn itu-laaaaahhhhh. He-he-he ....
Dua Perspektif yang Beda
Wednesday, September 12, 2012
Ada dua tokoh yang jadi perhatian media saat ini. Keduanya adalah mereka. Namun perspektif yang mengerucut tampaknya berbeda lini. Akankah rakyat Indonesia bakal mendapatkan suguhan dagelan dalam versi yang lain lagi? Kita tunggu saja bagaimana akhir dari drama Mbakyu Hartati dan epik Kang Jokowi. Sejarah yang akan mencatat.
Kartun: Rw Mulyadi |
Aji-aji mButa Nuli
Oleh Anis Sholeh Ba’asyin
ALKISAH, ada seseorang berjalan dari arah pelabuhan dengan membawa pancing dan seikat ikan di tangannya. Orang ini punya kekurangan bawaan: telinganya tak bisa mendengar alias tuli. Di perempatan ia bertemu kawannya yang -celakanya- juga sama tulinya.
“Dari mana Mas? Habis mancing ya?” tanya kawannya.
“Tidak! Saya habis mancing kok!” jawabnya.
“Oo, saya kira habis mancing!” celetuk kawannya sambil ngeloyor pergi.
Tak masalah. Mereka merasa sudah ‘berkomunikasi’ dengan benar, merasa sudah saling memahami dengan baik. Dari sudut pandang mereka, tak ada yang salah dalam pembicaraan tersebut. Masalah hanya tampak bagi kita yang ‘tidak tuli’ dan kebetulan mendengar pembicaraan mereka.
Nah, bukankah hal yang seperti ini -dalam satu dan lain bentuk- sering terjadi di sekitar kita? Orang terkesan seperti sedang berkomunikasi, tapi sebenarnya mereka sibuk dengan dirinya sendiri, dengan pikiran-pikirannya sendiri, dengan kepentingan-kepentingannya sendiri, dengan khayalan-khayalannya sendiri. Mungkin saja mereka saling berbicara, tapi tak ada yang ‘nyambung’, apalagi menemukan kesepahaman.
Pada dasarnya orang takut berkomunikasi karena takut kehilangan kenyamanannya. Sudah pasti: ketika orang merasa lebih nyaman bersembunyi dalam tempurungnya masing-masing, maka kemampuannya untuk memahami yang lain segera melorot ke level terendah. Ironis memang, lebih-lebih bila kita ingat bahwa kata komunikasi terbentuk dari communis yang dalam bahasa Latin berarti sama, dan itu berarti sejak awal tujuan komunikasi adalah memang untuk menyamakan, untuk menemukan kesamaan antara dua atau lebih pihak.
Kalau sudah begini, bisa diperkirakan bila pada gilirannya ruang pergaulan lantas berubah jadi ajang keriuhan multi monolog. Dan bila ini terjadi, kita harus bersiap memasuki fase berikutnya yang hampir pasti tak akan jauh dari sinetron: plak, plok, brak, bruk, pyar, pyur, dar der dor bum bluaaar!
*
MENGHADAPI orang tuli adalah satu soal, menghadapi orang yang menulikan dirinya sendiri adalah soal lain. Ketika menghadapi santrinya yang tak kunjung memperbaiki diri meski sudah berkali-kali secara halus diperingatkan, seorang kiai sepuh dengan senyum pahit berkata: “Enak ya jadi orang tuli! Seberapa besarnyapun orang menggunjing dirinya, ia tetap senyum-senyum saja! Jangan lagi cuma gunjingan dan kritik, ada bom meledak disampingnyapun ia tetap tenang-tenang saja kok!”
Dulu almarhum Gus Dur, dan dalam tingkat tertentu juga Cak Nur (Nurcholis Majid), dianggap sering juga mempraktekkan ‘ajian nuli’ macam ini. Mereka sering terkesan tak peduli dan bahkan abai terhadap kritik, kemarahan, tudingan yang diarahkan ke wacana yang mereka lontarkan.
‘Aji-aji nuli’ adalah strategi yang secara sadar mereka pilih untuk tetap fokus pada pengembangan ide-ide besar, tanpa harus terganggu dengan apa yang mereka anggap sebagai sekedar dinamika reaksi yang berkembang di masyarakat.
Kalau kita pakai Gus Dur dan Cak Nur sebagai rujukan, maka ‘ajian nuli’ terkesan positif. Ia menjadi mekanisme defensif yang efektif agar orang tetap fokus, dan tak terganggu dengan kritik, tudingan dan kemarahan yang seringkali memang tak proporsional. Disamping itu, penggunaannya pun relatif terbatas dan terukur.
Tapi tampaknya model Gus Dur bukanlah model yang populer, dan yang paling sering kita jumpai menggejala di lapangan justru sebaliknya: ‘aji-aji nuli’ lebih sering dipraktekkan secara negatif sebagai mekanisme defensif. Tentu saja ini adalah pilihan agar orang bisa terus merasa nyaman dalam tempurung persembunyiannya sendiri, meski itu berseberangan dengan akal sehat dan kenyataan.
Lebih celaka lagi, dalam kenyataan ‘aji-aji nuli’ tampaknya tak pernah berdiri sendiri, tapi hampir selalu berpasangan dengan ‘aji-aji mbuta’. Akibatnya, orang hanya bisa mendengar dan melihat dirinya sendiri, tempurungnya sendiri. Apapun kenyataan diluar tempurungnya, hanya akan diperlakukan sebagai obyek penjajahan dan pemerkosaan, untuk diformat ulang sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang ingin dia dengar dan lihat.
Melihat kecenderungan macam ini, taklah terlalu mengherankan bila aji-aji mbuta nuli pada akhirnya selalu melahirkan para ‘buto’ (raksasa) dalam berbagai bentuk dan ukuran. Para ‘buto’ yang sibuk memaksakan kepentingannya sendiri di segenap lini dan level kehidupan. Para ‘buto’ yang gagah mengibarkan bendera ‘kebenaran’ sambil menginjak Kebenaran.
Dan kalau sudah demikian, bisa diperkirakan bila kemudian orang akan secara otomatis kehilangan rasa malunya. Bagaimana orang akan malu bila ia tak merasa ada yang salah dalam dirinya?
Dongeng kanak-kanak tentang raja yang telanjang adalah contohnya. Seorang raja yang ingin mengenakan pakaian terhebat yang belum pernah dikenakan oleh raja manapun di dunia, telah ditipu oleh seorang cerdik.
Si cerdik mengatakan bahwa pakaian yang ia buat tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Si raja, yang mabuk citra, dengan sukarela mengenakan pakaian ‘ghoib’ tersebut. Dan itu berarti ia telanjang ketika dengan bangga berjalan-jalan memamerkan pakaian terbaiknya diantara para punggawa. Tentu saja semua punggawa terbelalak melihat rajanya berjalan-jalan tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya.
Si raja sudah pasti tak merasa malu, karena ia merasa sudah berpakaian secara semestinya. Dan, seperti kisah dua orang tuli di atas, pada akhirnya hanya para punggawa dan rakyatnya saja yang merasa malu, karena mereka tahu persis bahwa ada yang tak beres dengan rajanya.
Nah, bukankah hal yang seperti ini juga sering terjadi di sekitar kita? Hampir setiap saat rasa-rasanya kita dipaksa mengelus dada menonton para ‘buto’ pethakilan di panggung sosial-politik-ekonomi-budaya, sementara yang waras makin ketlingsut entah kemana.*****
(Sumber: diambil dari kolom Anis Sholeh Ba’asyin di Harian Suara Karya)
Andai Gue Gubernur DKI
Monday, September 10, 2012
Darminto M Sudarmo |
Oleh Darminto M Sudarmo
“Bener nih, gue kagak bo’ong,” begitu kata Bang Odi mengawali pembicaraannya ketika kami bertemu. Selama ini dia dikenal suka ngelantur kalau bicara; tetapi ketika wacananya masuk ke topik yang lagi anget, yakni soal pemilihan gubernur, si abang yang nyentrik ini langsung aja bersemangat. Intinya dia juga punya cita-cita soal Jakarta yang menurutnya saat ini jauh dari harapan masyarakat. Apa harapan masyarakat itu?
Sebagai putra Betawi asli, Bang Odi mengaku juga punya impian; setidaknya impian bagi warga Betawi umumnya. Saya sih percaya saja, apakah dia hanya sekadar mengklaim atau memang benar-benar menjadi “Penyambung Lidah” warga Betawi, tak penting lagi untuk diperdebatkan. Yang menarik dan terpenting adalah impian apa saja yang akan dia lakukan seandainya dia menjadi Gubernur DKI.
“Santai aja, Bang. Sebenarnya apa aja sih gagasan yang ada di kelapa Abang soal Gubernur DKI, itu?” tanya saya.
Bang Odi lalu membuka-buka catatan-catatannya yang terpisah-pisah. Ada yang dicatat di kertas bekas bungkus rokok, ada pula di kertas yang sudah agak kumal. Tapi sepengetahuan saya, semua itu terkumpul rapi dan komplet di dompet jadul miliknya yang dulu suka buat tempat tembakau dan kertas sigaret.
Setelah menjelaskan satu-persatu impiannya itu, akhirnya saya coba susun di bawah ini sesuai urutan prioritas.
Pertama, andai benar-benar dia jadi Gubernur, maka pertama-tama yang akan dilakukannya pada hari pertama dia masuk kerja, mengundang rapat orang-orang bawahannya. Seperti Wakil Gubernur, Sekretaris, staf ahli, pejabat eselon sesuai jenjang, kepala kantor wilayah, kepala dinas, kepala sub dinas yang orang sering bilang sudan sudin itu, hingga kepala dewan-dewan yang ada. Intinya dia mau supaya berapa besar APBD dan peruntukannya (tentu saja yang sudah disetujui DPRD, artinya ya mengacu anggaran tahun sebelumnya) diumumkan secara terang benderang kepada media massa dan publik. Lalu...dia mau dibuka lagi file: apa saja program dan proyeksi tahun-tahun sebelumnya dan bagaimana hasil nyata yang bisa dilihat saat ini. Lemparkan semua itu ke masyarakat. Biarkan masyarakat menilai dan mengevaluasi, sesuaikah antara rencana dan pelaksanaan?
Kedua, memulai awal gebrakannya, Bang Odi mau bikin agenda: mengundang orang-orang “gila” baik dari dalam negeri maupun dari luar. Mereka adalah orang-orang kreatif yang selalu berpikir beda. Mereka bisa saja dari kalangan arsitek, ekonom, pengusaha, seniman, rakyat kecil sekali, tak terkecuali pelawak dan kartunis. Nah dari orang-orang seperti ini, Gubernur pingin sekali mendengar langsung apa impian mereka tentang Jakarta.
Ketiga, solusi soal kemacetan Gubernur sudah punya platform, yaitu mereaktualisasi lalu lintas air. Semua kali yang di zaman Olanda berfungsi sebagai lalu lintas air, harus dikembalikan lagi. Caranya bagaimana itu soal nanti. Sebelum itu dilaksanakan, pengerukan kali, perbaikan irigasi, pemulihan kualitas air harus juga diberesi lebih dulu, berapapun biayanya, kalau perlu nombok.
Keempat, solusi banjir Gubernur juga sudah punya resep. Secara fitrah alamiahnya air selalu menuju ke daerah atau permukaan yang rendah, maka jalan keluar yang paling logis adalah menguruk Jakarta sehebat-hebatnya supaya posisi geografis Jakarta lebih tinggi dari Bogor atau Puncak.
Kelima, warga miskin kota harus diberdayakan. Tidak usah malu meniru negeri tetangga. Caranya dengan menerbitkan Perda Regulasi: bagi warga yang sudah sangat maju atau lumayan maju harus berhenti dulu. Berhenti menunggu warga miskin kota mendapatkan kesempatan untuk belajar, berlatih dan mencapai titik di mana warga maju berada. Setelah semuanya berada dalam kilometer yang sama, maka deregulasi diberlakukan. Mereka boleh bersaing secara fair dan bebas.
Keenam, sektor pariwisata tak perlu khawatir. Semua hiruk-pikuk kegiatan memberesi Jakarta yang disebutkan di atas itu pasti heboh dan layak dijual sebagai paket wisata. Selain itu, meniru Singapura juga tak perlu malu, yaitu memberi ruang gerak dan ekspresi berbagai upacara keagamaan. Kalau Singapura punya tak kurang dari 33 hari besar keagamaan dalam setahun, maka Jakarta harus dua kali lipatnya. Semua bisa menarik minat warga dari luar Jakarta atau luar negeri untuk datang dan menonton itu sebagai acara tour keagamaan. Bayangkan, hotel, mal dan pusat-pusat kerajinan, kesenian akan juga ikut makmur.
Ketujuh, ratanya kemakmuran otomatis akan mereduksi kecemburuan sosial, kriminalitas dan diskriminasi etnik. Kemakmuran yang merata juga akan otomatis mengantarkan warga cinta ibadah, kesenian dan perilaku adab lainnya.
Kedelapan, kalau Jakarta sudah benar-benar makmur, adil dan sejahtera copot saja predikat sebagai ibukota negara. Suruh wakil rakyat bikin poling ke kota mana sebaiknya ibukota negara akan dipindahkan. Kalau di Amerika bisa memindahkan dari New York City ke Washington DC, mengapa Indonesia tidak bisa melakukan itu; memindahkan dari Jakarta ke Kaliwungu, misalnya. Atau ke Semarang atau ke Makassar. Pada akhirnya Jakarta tetap akan menjadi kota besar, dan ibukota yang baru juga pasti menjadi kota yang tak mungkin semakin kecil mungil.
Itulah platform Bang Odi. Orisinal. Jadi kesimpulannya, kalau mau bikin perubahan di Jakarta itu soal kecil; tapi bikin perubahan yang isi perubahannya itu bikin warga tambah maju, sejahtera, adil dan makmur, itu yang tak gampang coy!***
Kartun Rw Mulyadi |
Pekan Olahraga Model Baru, Cing!
Sunday, September 9, 2012
M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung - Tabloid O-Posisi
ADALAH suatu sukses luar biasa, satu capaian ekonomi yang baru terjadi sepanjang sejarah Republik Indonesia, adalah pertumbuhan 6,3% di tengah gejolak ekonomi dunia, ditambah angka investasi semester pertama 2012 terbesar dalam sejarah nasional, mungkin juga umat manusia di bumi. Ruaaar biyasa ....
Sukses Ekonomi - Rakyat Kecil Mati
Tapi, “sukses” ekonomi itu diiringi sukses bencana sosial: banyak orang bunuh diri karena faktor ekonomi, orang melarat tak bisa berobat bahkan di RS pemerintah pun. Memang ada setumpuk kartu “gila-gilaan” penuh pencitraan untuk menolong orang melarat, tapi di tingkat praktik semuanya omong kosong—persis seperti janji kampanye parpol-parpol geblek.
“Sukses” lainnya adalah di bidang olahraga, yaitu centang-perenang, carut-marut, dan bau korupsi yang menyengat. Contohnya masalah hiruk-pikuk sepakbola yang tak pernah usai, prestasi yang "dobo” baik di tingkat regional apalagi internasional, penyelenggaraan ASEAN Games yang terganjal kasus korupsi, ditambah kelambatan pembangunan venues, penyelenggaraan PON ke-18 yang lelet sehingga tidak siap, malahan kanopi salah satu bangunannya ambrol menimpa kendaraan peserta; kolam yang kotor, track yang berlumpur, jalan yang masih menyengsarakan.
Itu belum. Monumen Kompleks Olahraga Hambalang yang dipersiapkan menjadi petanda keberhasilan pembangunan ekonomi rezim SBY justru rontok di tengah jalan karena adanya pemaksaan kehendak, siluman, salah desain, dan tentu saja kecurigaan korupsi yang melibatkan tingkat staf cere sampai tingkat kementerian.
Ini adalah prestasi luar biasa yang belum ada dalam sejarah nasional: korupsi massal.
“Tak masalah!”
“Sukses” carut-marut olahraga itu akan dilihat lebih hebat lagi dalam PON ke-18 di Provinsi Riau. Kelambatan pembangunan kompleks olahraga selama enam tahun menggaris bawahi lagi kelambatan dan kelembaman pemerintah selama delapan tahun terakhir. Namun demikian, selama delapan tahun itu pula berkembang jargon, slogan, dan promosi-promosi yang nekad tanpa melihat kenyataan. Itulah ciri iklan yang denderung menipu. Dengan penuh keyakinan, para pejabat meyakinkan bahwa venues PON ke-18 telah siap. “Ayo, kita bisa!” Sedangkan dalam tayangan TV dengan sistem split image ditunjukkan bahwa beberapa venue olahraga masih terbengkalai.
Para olahragawan dari daerah lain yang sudah datang untuk berlatih di lapangan pun kecewa. Bangunan belum siap, air belum mengalir, listrik belum menyala, sisa-sisa bangunan berserakan, kolam air kotor dan membikin gatal perenang, paku-paku berserakan membikin atlet merinding.
Olahraga modern bentuk baru
Prestasi lain yang mungkin bisa diukir dalam perhelatan “paling akbar” dalam sejarah olahraga nasional adalah perlombaan jenis baru semuanya. Betapa tidak?
Beberapa halangan yang sudah disebutkan itu masih ditambah lagi dengan faktor lingkungan seperti asap akibat kebakaran hutan di sekitar Pekanbaru, dan sebagainya. Oleh sebab itu, kita tunggu apakah nanti ada adegan lucu-lucu atau aneh-aneh dalam pertandingan, misalnya:
• Lomba lari memakai pakaian selam. Ini terjadi dalam nomor maraton, sprint 100 meter, lompat jauh, lompat jangkit, dan lari gawang. Kenapa aneh atau lucu? Karena para atlet mengenakan kacamata selam, masker, tabung pernafasan untuk penyelam. Ini karena kabut asap kebakaran hutan begitu menyengat menyesakkan nafas. Nantinya ada atlet maraton yang kesasar ke kafe karena waktu berlari ia mengenakan topeng gas, sehingga sulit melihat track.
• Atlet tenis meja atau badminton mengenakan helm pengaman, takut atap gedung roboh. Semua penonton diminta memakai helm serupa.
• Atlet motocross (kalau ada) bisa jadi tak sampai finish, sebab tertancap lekat di lumpur track-nya. Mudah-mudahan tidak ada macam itu.
• Para atlet voli mamakai sepatu banjir sebab lapangannya masih becek.
• Dan, masih banyak lagi, Cing.
Tentu saja kita tak berharap demikian, sebab nanti orang akan bingung ini Pekan Olahraga biasa ataukah paralimpik? Yang kita tekankan adalah sekarang ini sudah bukan zamannya lagi bersialt lidah, menjual slogan-slogan yang didikte oleh para motivator yang kaya karena banyak orang geblek, bingung di negeri ini.
Rakyat cuma ingin hasilnya, bukan publikasi angka-angka yang selalu dielus-elus, dicumbu, ditiduri siang malam sebagai kompensasi kegagalan pemimpin. Selamat bertanding! Dan, selamat diperiksa KPK!
Psywar Soal Pilkada DKI
Subscribe to:
Posts (Atom)