Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
Jangan Terkecoh Soal Sapi Perah
Jangan terlalu yakin bahwa BUMN jadi sapi perah legislatif. Standar gaji, tunjangan, bonus dan lain-lain insentif yang tinggi untuk kesejahteraan eksekutif dan karyawan di sejumlah besar BUMN juga membawa dampak ekonomi biaya tinggi. Ekonomi biaya tinggi juga berpengaruh pada neraca akhir: RUGI-LABA. Seperti bisa ditebak maka kabar yang mencuat keluar apalagi kalau bukan tentang rugi, rugi dan ruginya sejumlah BUMN. Ini bukan berarti karena mereka jadi sapi perah sejumlah oknum legislatif, tetapi lebih pada "tak tahu diri"-nya set-up gaji, tunjangan, bonus dan lain-lain insentif tadi. Bagian ini yang media sering terlupa atau tak mengkritisinya. Bahwa mungkin saja BUMN jadi sapi perah yang dilakukan oleh sejumlah oknum legislatif, siapa bisa menafikan ini? Tapi bahwa itu jadi satu-satunya alasan di balik sejumlah performing buruk kinerja keuangan BUMN, 'ntar dulu, donk ya .... emang kita hanya barisan media yang bisa dicucuk hidungnya lalu tergopoh-gopoh mengamini semua doktrin isu yang kini santer beredar? Tanpa nalar? Tanpa akal sehat? Noway-lah pokoknya!
Kartun Joko Luwarso |
Kartun Wawan Bastian |
Kartun Tiyok |
Gak di Sana Gak di Sini Sama Saja!
Pahlawan itu Boleh Siapa Saja
Friday, November 2, 2012
Prie GS |
Jumlah pahlawan yang dihafal nama-namanya sudah amat banyak. Tapi jumlah pahlawan yang ditiru perilakunya, sungguh butuh didata. Pendataan itu bisa di tingkat negara, masyarakat, tetangga , atau malah sekadar di dalam rumah kita. Target kepahlawanan itu tak harus selalu berujung menjadikan nama seseorang menjadi nama jalan.
Ia juga boleh berupa seorang bapak yang namanya bahkan tak layak menjadi nama gang, tapi itulah nama yang dirawat dengan rasa hormat di hati anak-anaknya. Itulah nama suami yang jika disebut segera menenteramkan istri. Itulah nama tetangga yang selalu dingat karena keramahannya dan bukan karena wajah konfliknya.
Pahlawan-pahlawan besar itu butuh diterjemahkan ke dalam perilaku-perilaku sederhana karena bagi sebagian orang mereka terlalu besar. Saking besarnya menjadi agak sulit untuk ditiru. Data sejarah kita merekam dengan sangat butuk fakta-fakta yang dibutuhkan untuk penduplikasian nilai itu. Di dalam sejarah Indonesia, tahun perang Pangeran Diponegoro jauh lebih banyak diingat katimbang perilaku kepahlawanannya. Bahwa Diponegoro berperang melawan Belanda itu jelas, tetapi yang belum jelas ialah adalah apakah ia gemar jalan-jalan pagi, merawat tanaman dan gemar bercanda dan bersikap lembah-lembut pada anak-anak.
Sungguh, saya sering terpukau kepada soal-soal sederhana semacam itu. Saya terpukau kepada pemijat yang menangani saya saat keselo berat ini. Tangan orang ini lembut sekali untuk ukuran laki-laki. Bukan cuma tangannya. Kedatangannya pun lembut. Tak banyak berkomunikasi, tetapi akurat dalam deteksi. Saya tak perlu memberi banyak keterangan karena ia juga tak minta banyak keterangan. Karena di dalam sikap diamnya, saya lihat ia sibuk sekali. Ia sibuk berkomunikasi dengan tubuh saya dan dirinya sendiri. Kata-kata dari mulut saya baginya tidak sepenting kata-kata dari tubuh saya . Ia sibuk membaca tubuh karena baginya, tubuh pasti lebih jujur katimbang mulut saya.
Ia memburu urat itu dengan ketelatenan seorang empu. Urat sakit itu tidak langsung dituju. Ia dipancing dari sini, di cegat dari situ dikepung, dikitari, dipanggil dari jauh, didekati pelan-pelan lalu dijinakkan dengan tenang. Pemijat ini mengingatkan saya pada Musashi ketika telah menjadi pendekar pedang. Ketika itulah ia malah amat hemat bermain pedang. Untuk menundukkan lawan, ia sekadar memberinya takaran. Kadang-kadang ia menangkap lalat cukup dengan sumpitnya kadang-kadang ia hanya menebas dedaunan, dan pihak lawan akan sadar ukuran.
Behadapan dengan pemijat sekelas ini, maka saya tahu diri. Saya memilih diam dan sepenuhnya menunggu instruksi. Hanya sepatah dua patah katanya. Kalau tidak tengkurap, ya telentang. Kalau tidak miring ya duduk. Ia baru menjelaskan agak panjang kalau pijatannya membutuhkan kerjasama saya. Misalnya, karena ada titik pijat yang terdapat tepat di urat geli, ia membutuhkan kolaborasi. Sementara ia memijat saya diperintah untuk bertahan sekuat hati. Tidak sakit, tapi geli. Tetapi kegeliaan pun menyakitkan. Itulah yang tampaknya ia antisipasi. Jadi orang ini menakar dengan baik kebutuhan komunikasinya. Ia bicara jika harus berbicara, ia diam jika memang hars diam dan bukan sebaliknya.
Melihat prosesnya memijat dan sekaligus merasakan hasilnya, akhirnya saya tak tahan untk tidak bertanya, dari mana semua kemampuan ini bermula. Ia jawab dari ayahnya. Begitu ia menyebut sosok ayah, fokus saya segera berpindah pada figur ayah seperti apa yang bisa membentuk anak seperti ini. Dan pemijat ini terpaksa bercerita tentang ayahnya yang tidak banyak berkata-kata. Seluruh yang dilihat dari orang tua itu hanyalah perbuatan. Jika ia meminta anaknya menyapu, ayah itulah yang akan mengambil sapu yang pertama. Jika ayah itu usai makan, ia membawa sendiri piringnya ke belakang dan mencucinya. Jika ia menyumbang rumah ibadah, ia lakukan diam-dia dan anak-anaknya baru mengerti setelah panitia sendiri yang membuka rahasia ini.
Jadi hampir dari seluruh pendidikan yang ia terima dari ayahnya, cuma berisi peragaan bukan pernyataan. Jadi, jelas sekarang, jejak para pahlawan itu tak cukup disadap hanya dari teks-teks sejarah yang diajarkan di sekolah. Karena untuk bisa belajar dari kebesaran sejarah, keterlibatan kesejarahan itu harus sedemikain rupa dekatnya dengan hidup kita. Ayah si pemijat ini pasti tak pernah tercatat sebagai pahlawan yang diabadikan sebagai nama jalan. Tetapi pengaruhnya nyata sekali bagi kehidupan. Sementara banyak kebesaran pahlawan yang hanya terasa jejaknya sebagai nama-nama, karena ia tak pernah benar-benar didekatkan.
Prie GS, pengagum pahlawan, tinggal di Semarang.
Lawak, Kesenian Kelas Jongos
Darminto M Sudarmo |
LAWAK hanyalah kesenian kelas jongos. Orang-orang rendahan. Rakyat jelata. Metafora kelas itu digambarkan dalam pertunjukan Goro-goro, Limbuk-Cangik, dan Togog-Bilung di wayang kulit. Di kesenian tradisional lain seperti ketoprak atau ludruk, suasana penuh guyon juga hanya muncul ketika para abdi, pembantu, dayang-dayang berkumpul dan bercengkerama. Ungkapan mereka lewat bahasa egaliter, kadang kasar, menyentil, dan apa adanya menggambarkan tradisi sekaligus cap bagi posisi mereka.
Tradisi melawak, geguyonan, berlelucon, bebodoran, selengekan, cengengesan hanya pantas dilakukan orang-orang dari kelas sosial tersebut. Orang-orang dari kelas sosial menengah atau tinggi harus serius atau tampak serius; karena itulah makna wibawa sebenarnya. Dalam cengkeraman feodalisme itulah tradisi lawak merangkak, tertatih-tatih, dan tumbuh. Dalam cibiran dan kerlingan sebelah mata “kaum terpelajar” pada masanya eksistensi lawak dianggap dan dinilai. Sangat berbeda dari seni lukis, seni sastra, dan seni suara. Kontras, bak bumi dan langit.
Tak sulit menemukan nama Raden Saleh, Soedjojono, Affandi, atau Hendra Goenawan ketika orang menelusuri masa lalu seni lukis. Para seniman sendiri memiliki tradisi diskusi dan berliterasi, sehingga jejak-jejak sejarah semakin otentik. Para pengkaji juga aktif memberi warna dan peta. Seni sastra, lebih-lebih lagi. Sejak kelas satu SMP, kita “dipaksa” mengerti apa itu puisi, prosa, sajak, pantun, Poedjangga Baroe, Angkatan 45, hingga Chairil Anwar. Seni suara? Sejak TK bahkan anak-anak mengisi waktu dengan bermain dan bernyanyi. Sebuah anugerah yang melimpah.
Seni lawak? Sungguh pertanyaan yang tak tahu diri. Apalagi mengharapkan informasi terstruktur dan kronologis. Siapa peduli sejarah lawak Indonesia? Inilah jawabannya. Karena kaum terpelajar dan cendekiawan di masa lalu (setidaknya tahun 1920-1970) beranggapan bahwa lawak hanyalah persoalan selingan ringan, maka tak penting juga untuk mengkaji dan membahasnya. Generasi generasi sekarang pun nyaris tak mendapatkan jejak dan dokumentasi memadai. Ini benar dan serius.
Sekarang kita bisa mendapatkan serpihan informasi tentang lawak atau tokoh lawak masa lalu di internet atau buku. Dari informasi alakadarnya itulah kita meraba masa lalu seni lawak Indonesia.
Mari kita lihat potongan informasi tentang Srimulat di Wikipedia. Grup ini didirikan oleh R.A. Srimulat dan Teguh Raharjo pada 1950 dengan nama Gema Malam Srimulat. Awalnya ia kelompok seni keliling yang pentas dari satu kota ke kota lain. Nah, kalau kita kaji lebih mendalam, siapa sebenarnya R.A. Srimulat itu? Dari kasta apa dia berasal? Bagaimana reaksi masyarakat feodal pada 1950-an ketika melihat seorang perempuan dari kasta bangsawan terjun ke kesenian di lingkungan kasta rendah?
Inilah bagian yang menyentak. Menantang arus. Heroik. Sekaligus ajaib! Kalau ini dikorelasikan dengan pertanyaan siapa peletak dasar seni lawak Indonesia, jawaban saya adalah Srimulat! Tentu tak hanya berbasis spirit, tetapi juga karena kekuatan metodologi dan manajemen organisasinya.
Lalu siapa perintis format lawak modern? Karena format pertunjukan kelompok Srimulat tergolong “kolosal”, terutama dengan adanya unsur nyanyian dan tarian, maka format duet Mang Cepot dan Mang Udel –selanjutnya membentuk trio Los Gilos (bersama Bing Slamet) pada 1958– yang lebih praktis dan langsung mengacu ke pertunjukan lawak an sich, bisa jadi menjadi model rujukan bagi grup lawak generasi berikutnya. Mungkinkah format demikian karena pengaruh dari luar? Siapa dapat menafikan peran The Three Stooges, Abbott-Costello, Laurel-Hardy, atau Charlie Chaplin?
Waktu pun bergulir. Puncak pencapaian atau katakanlah jejak-jejak kelompok kemudian tercatat dalam perlawakan modern; dari Kwartet Jaya hingga Project Pop. Sejak grup lawak tampil on air di TV, mereka langsung masuk barisan selebritas. Posisi naik, penghasilan naik, citra diri juga naik. Feodalisme pelan-pelan luntur.
Ketika masyarakat menyadari bahwa lawak bukan hanya produk seni cengengesan tapi juga bagian dari produk seni intelektual, anggapan tentang lawak sebagai kesenian kelas jongos pun pupus. Maka, kealpaan yang pernah terjadi di masa lalu sebaiknya kita kubur dalam-dalam dan segera kita lupakan!
Filosofi Hiu dalam Kehidupan
Wiryawan Sofyan |
Oleh Wiryawan Sofyan
Untuk masakan Jepang, kita tahu bahwa ikan salmon akan lebih enak untuk dinikmati jika ikan tsb masih dalam keadaan hidup saat hendak diolah untuk disajikan. Jauh lebih nikmat dibandingkan dengan ikan salmon yang sudah diawetkan dengan es..
Itu sebabnya para nelayan selalu memasukkan salmon tangkapannya ke suatu kolam buatan agar dalam perjalanan menuju daratan salmon-salmon tersebut tetap hidup. Meski demikian pada kenyataannya banyak salmon yang mati di kolam buatan tersebut..
Bagaimana cara mereka menyiasatinya..??
Para nelayan itu memasukkan seekor hiu kecil di kolam tersebut..
Ajaib..!!
Hiu kecil tersebut "memaksa" salmon-salmon itu terus bergerak agar jangan sampai dimangsa..
Akibatnya jumlah salmon yg mati justru menjadi sangat sedikit..!!
Diam membuat kita mati..!
Bergerak membuat kita hidup...!!
Apa yang membuat kita diam??
Saat tidak ada masalah dalam hidup dan saat kita berada dalam zona nyaman..
Situasi seperti ini kerap membuat kita terlena..
Begitu terlenanya sehingga kita tidak sadar bahwa kita telah mati..!!
Ironis, bukan..??
Apa yang membuat kita bergerak..??
Masalah..
Pergumulan.. dan
Tekanan Hidup..
Saat masalah datang secara otomatis naluri kita membuat kita bergerak aktif dan berusaha mengatasi semua pergumulan hidup itu..
Di saat-saat seperti itu biasanya kita akan ingat Tuhan dan berharap kepada Tuhan..
Tidak hanya itu, kita menjadi kreatif, dan potensi diri kita pun menjadi berkembang luar biasa..
Ingatlah bahwa kita akan bisa belajar banyak dalam hidup ini bukan pada saat keadaan nyaman, tapi justru pada saat kita menghadapi badai hidup..
Itu sebabnya syukurilah "hiu kecil" yg terus memaksa kita untuk bergerak dan tetap survive..
Masalah dalam hidup adalah baik, karena itulah yg membuat kita terus bergerak. Mungkin hiu-hiu kecil itu bisa berbentuk siapa/apa saja dalam hidup kita..
Wiryawan Sofyan, Focus on Creativity and Innovation
Orang Dipasung, Negara Terpasung, Pemimpin Memasungkan Diri
M Djoko Yuwono |
Oleh Ki Jenggung - Tabloid O-Posisi
INFORMASI menyedihkan datang dari Kementerian Kesehatan: sekitar 20.000 orang dipasung karena sakit jiwa. Menyedihkan. Sebab, di tengah “pertumbuhan ekonomi nasional” 6,3%, rakyat tak mampu mengobati keluarganya yang sakit jiwa. Padahal, diduga kian banyak orang “gila” (sakit jiwa) karena tekanan ekonomi, lingkungan sosial, dan sejenisnya. Maka, tak heran kalau kemudian banyak kasus bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga, tawuran, “pengantin teroris”, dan lain-lainnya.
Pemasungan tentu tidak manusiawi. Penderita yang patut dikasihani itu malah dibelenggu kakinya memakai kayu. Orang dulu percaya kayu randu paling bagus buat menyembuhkan si gila, padahal kayu randu memang lebih lunak ketimbang jati, misalnya. Orang Jawa menyebut kayu alat pemasungan itu sebagai belok.
Metode “ala kampung” yang dipraktikkan pada zaman dulu adalah pasien diguyuri air dingin atau direndam siang malam, digosoki badannya, serta sering digebuki. Ada yang sembuh—mungkin karena tak tahan menderita kedinginan dan sakit lebam-lebam tiap hari—atau malah mati sekalian. Tak ada yang merasa rugi, sebab keluarganya toh sudah angkat tangan, capek merawat orang gila. Mungkin lebih baik orang lain yang “membunuh” kerabatnya yang sinting itu, sebab mau melakukannya sendiri jelas tak tega. Kalau tega, ya pasti sama-sama gilanyalah.
Kata para ahli, orang sakit jiwa banyak di sekitar kita. Mereka suka aneh-aneh, ganjil. Penderita psikopat suka menyakiti orang lain dengan kata dan tingkah lakunya, antisosial, lalu yang skizoprenia terbelah kepribadiannya. Suatu saat dia bilang antikorupsi, lain kali malah jadi “sponsor” kejahatan itu, dan menikmati hasilnya dengan tenang tanpa sesal tanpa perasaan berdosa.
Dipasung tentu tidak enak, bertentangan dengan prinsip perikemanusiaan. Tapi, yang memasung juga punya alasan kuat. Selain masalah ekonomi, mereka khawatir “si gila” itu mengamuk menyerang warga lainnya. Tidak jarang terjadi kasus pembunuhan oleh “si gila” pada keluarga atau tetangganya. Sudah miskin, tak mampu mengobati keluarganya yang sakit jiwa, apa lantas harus berurusan dengan polisi yang jelas membuat mereka sendiri malah ikut jadi gila karenanya.
Si terpasung umumnya ditempatkan di kandang luar rumah, mirip ternak atau binatang buas. Hujan, angin, panas terik jadi akrab dengan si penderita. Menyedihkan, pendek kata.
Negara dan Pemimpin Terpasung
Kita tak sadar negara kita terpasung oleh kepentingan kapitalis global dan negara adidaya yang kehausan kuasa maupun sumber daya. Semua keputusan strategis bangsa ini didikte dengan tidak semena-mena oleh negara adidaya. Bahkan, UUD ‘45 diobrak-abrik oleh antek-antek mereka di dalam negeri supaya kepentingan “bos besar”-nya dapat terakomodasi. Orang-orang seperti inilah yang oleh Bung Karno dulu disebut cecunguk (Sd, kecoak) bangsa.
Demi kekuasaan, harta benda, mereka tega mengabdi pada negara yang hebat, tempat segala kesenangan duniawi tersedia, tak peduli negara adidaya itu menuju kehancurannya seperti sejarah Mesopotamia, Mesir, Yunani, Babilonia, Atlantis, dan pencipta peradaban lainnya. Menyedihkan, pendek kata.
Yang paling berbahaya adalah jika saja para cecunguk itu kemudian berhasil berkuasa di negeri Zamrud Khatulistiwa ini, dengan segala caranya, dibantu manipulasi data dan trik-trik akal bulus dari kekuatan asing. Itu memasungkan diri, namanya. Sejarah di Nusantara—terutama Jawa—selalu menunjukkan bahwa para aristokrat, feodal, harus menerima tawaran asing seperti Belanda, Portugis, atau Inggris supaya mereka bisa berkuasa. Kebiasaan itu keterusan sampai sekarang.
Sekarang penjajah itu bernama Amerika Serikat yang merasa sok pintar, sok kuasa, sok demokratis, merasa dirinya paling baik dan harus jadi polisi dunia. Jelasnya saja, negara itu “gila” segalanya sehingga banyak orang frustrasi yang membunuhi warga lainnya dengan alasan tidak jelas sama sekali. Jadi, negara adidaya itu kini sudah 200% gila dan menuju kehancurannya sendiri, mengganyang peradabannya seperti sejarah kebudayaan dulu.
Perlu Pengobatan Kuno
Oleh karena itu, kalau saja ada [kalau ada] pemimpin yang menggantung pada kekuatan asing, kemudian didorong nafsu berkuasa untuk hidup enak, maka dia sudah terpasung. Apalagi jika dia punya latar belakang atau sejarah hidup yang kelam, maka faktor ini menjadi faktor kelemahan, sekaligus menjadi “kayu randu” pemasung yang efektif, selamanya jadi tertawaan dan mainan siapa saja yang jadi musuh dan “kawannya”.
Akibat terpasung, orang itu menjadi lembek, tak tegas, plinthat-plinthut, maju mundur, seolah tak peduli masalah rakyat, dan lebih suka menyenangkan dirinya. Untuk itu ia takluk sepenuhnya dan menuruti kehendak sang juragan. Ia sudah terpasung lahir dan batin. Kalau sudah begini, rakyatlah yang dirugikan. Naudzubillahmindzalik. Dia tampaknya perlu perlakuan pengobatan cara kuno: “diguyuri air dingin atau direndam siang malam, digosoki badannya, serta sering digebuki.” Gimana?
Subscribe to:
Posts (Atom)