Keberagaman Kebersamaan by Jitet Koestana
Sang Pendobrak Fenomena
Goen "Wayang Mbeling"
Oleh Darminto M Sudarmo
Oleh Darminto M Sudarmo
Darminto M Sudarmo |
Kartunis Goen (Goenawan Pranyoto) pertama saya kenal di
kisaran tahun 1982-an. Saat itu, petang hari, bersamaan dengan pameran kartun
yang sedang diselenggarakan di Balai Wartawan, GOR Semarang. Yehana SR, pegiat
kartun di Semarang yang memperkenalkan kami. Goen ditemani istrinya, Endang Hima. Pria kalem dan pemalu itu
terlihat sangat segar, gagah dan klimis.
Bahkan mereka berdua masih tampak seperti pasangan pengantin baru.
Jauh waktu sebelum perkenalan itu saya telah melihat
karya-karya kartun Goen yang dimuat di Minggu
Ini (Suara Merdeka edisi Minggu).
Melihat karkakter goresannya yang khas dan beda dari kartunis manapun, saya
mencoba mencermati perkembangannya dari waktu ke waktu. Fakta yang kemudian
saya dapati adalah sesuatu yang mengagetkan. Ternyata sangat banyak kartunis
pemula, termasuk Jitet Koestana (pada awal belajarnya), yang terpengaruh (baca:
terinspirasi) gaya goresan maupun sosok penokohan ala Goen.
Seperti bom virus fenomena, pengaruh gaya kartun Goen nyaris
menjadi pembangkit semangat bagi para kartunis muda yang belum menemukan
stilisasi dan karakter dirinya. Ada yang mempertanyakan, bukankah gejala itu
bisa jadi hanya eforia dan kelatahan belaka? Dalam proses studi, gejala demikian
lazim saja terjadi; bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, karena pada
perkembangan berikutnya para kartunis muda itu toh akhirnya menemukan jalannya
sendiri. Menemukan kearifannya sendiri.
Salah satu contoh ilustrasi Wayang Mbeling Goen. |
Plesetan Verbal
Tahap-tahap berikutnya, saya melihat Goen makin mendapatkan
tempat di hati penggemarnya ketika ia mulai menggarap ilustrasi “Wayang
Mbeling” di Minggu Ini maupun majalah
MOP. Tak terkecuali cerita rakyat
atau legenda yang disentuh secara nakal dan karikatural di majalah yang sama.
Kekuatan yang menonjol dari Goen bukan semata karena kekuatan teknis
menggambarnya yang unik dan menggelitik, tetapi juga lelucon-lelucon verbalnya
(teks) yang kaya plesetan dan konteks dengan nuansa budaya masyarakat Semarang pada zamannya. Ia, misalnya, acap
“mengeksplotasi” kata-kata: canggih,
akurat, greget secara
berulang-ulang namun tetap tune in
ketika itu diproyeksikan dengan konteks cerita dan ilustrasi yang ada. Plesetan
ala Goen yang lain, misalnya dia menggambarkan seorang murid (dengan seragam
kedodoran) yang sedang diceramahi gurunya dengan ucapan, “Bengtul-bengtul Pak
Gulu…”.
Di rubrik Wayang Mbeling, Minggu Ini, dua tokoh personafikasi yang paling sering muncul
adalah pria gendut botak berkumis tebal, berkaca mata hitam satu bak bajak laut
(karikatur dirinya sendiri) dan pria dengan dagu terpiuh ekstrem, dada
kerempeng, berkumis tipis bak Patih Sengkuni (karikatur Yehana SR). Kedua tokoh
ini yang menjadi pengacau logika tokoh inti (lakon) yang termuat dalam cerita
wayang mbeling edisi bersangkutan. Sesekali
muncul tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, namun itu disesuaikan dengan
relevansi cerita yang ada.
Menggambar dengan
Tangan Kiri
Sesekali Goen juga mendapat tugas membuat ilustrasi Cerpen
di Minggu Ini. Ekspresinya
bermacam-macam. Kadang ia menggambar secara realis, abstrak, surealis atau mix-media (salah satu cerpen saya pernah
diberi ilustrasi foto saya yang di-foto copy, lalu digabung dengan
coretan-coretan tertentu). Saat lain, kalau perasaan jenuh sedang merasuki
dirinya, ia lalu menggambar total ilustrasi dengan tangan kiri. Maka efek
bentuk dan garis yang muncul dalam gambar itu sangat berbeda dari karakter Goen
umumnya. Ia memberi inisial gambar itu dengan nama IAN (anak sulungnya yang saat itu masih kecil).
Goen bukan tipe kartunis penggambar cepat. Ia sangat intens
dan mengalir sesuai suasana hati yang dirasakannya. Saat membuat skets
misalnya, kadang ia merasa perlu berhenti sebentar. Merokok atau minum kopi.
Atau jalan-jalan keluar rumah beberapa saat. Kalau di sekitarnya kebetulan ada
kawan atau orang lain yang menemani, maka waktu jeda itu ia gunakan untuk
ngobrol ala kadar atau guyon sejenak. Bahkan setelah gambar jadi pun, untuk
finalisasi teks-nya ia perlu membuat garis pensil terlebih dulu agar
huruf-huruf atau kata yang tertuang di ilustrasi terlihat rapi dan nyeni. Untuk
tebal tipisnya huruf, ia juga perlu melakukan tindasan tinta (spidol) berkali-kali.
Karya-karya Goen terpenting dan puncak – baik ilustrasi
Wayang Mbeling maupun komik kartunal lainnya -- banyak terlahir ketika ia dan
keluarga menghuni rumahnya di Tanah Mas, Semarang. Selain pagi hari rajin masuk
kantor (PT Masscom Graphy, SUARA MERDEKA GROUP), malam harinya Goen nyaris tak
pernah melewatkan waktu untuk membuat gambar. Maka ketika akhir tahun 2006 Goen
dan kartunis Koesnan Hoesie berkesempatan singgah ke rumah saya di Meteseh, Tembalang,
saya melihat artikulasi bicara Goen sudah agak samar dan cara berjalannya agak
lain, salah satu kakinya diseret, saya mulai mencemaskan kesehatannya itu. Terlebih-lebih,
mencemaskan karya-karya barunya yang mungkin tak maksimal lagi. Ternyata waktu kemudian
mencatat, tahun-tahun sesudahnya Goen bahkan ditaklukkan oleh penyakit stroke
yang menderanya, sehingga ia tidak dapat berkarya sama sekali hingga ajal
menjemputnya pada 13 Januari 2014.
Penghargaan Empu
Kartun
Sebenarnya peristiwa penting yang diselenggarakan oleh Semarang
Art Festival 2010 pada Sabtu (23 Oktober 2010) malam dengan penganugerahan
gelar Empu dan Panglima Kartun Indonesia telah memberikan indikasi positif bagi
pemulihan semangat Goen. Ia mendapatkan penghargaan sebagai Empu Kartun bersama
dengan tiga gelar Panglima Kartun yang diberikan kepada GM Sudarta ”Oom Pasikom”, Pramono
R. Pramoedjo ”Si Keong”, dan Dwi
Koendoro ”Panji Koming”. Namun apa
daya, rupanya takdir berkehendak lain.
Goen boleh pergi meninggalkan kita semua, tetapi jejak
“emas” yang ditinggalkannya tak akan pernah dapat dilupakan. Di Semarang dan
sekitarnya, bahkan mungkin Jawa Tengah, kartun Goen telah menancapkan
eksistensi khas yang tak tergantikan oleh kartunis lain. Bagi saya, ia justru
sosok pendobrak fenoma dalam dunia perkartunan Indonesia yang membumi. Semangat
lokalnya justru memperkuat jati diri kebangsaannya. Seluruh karyanya, nyaris
tidak tergiur, tergoda oleh pengaruh dan kekenesan gaya kartun asing (barat).
Pada 1996-an, kartunis Non-O
S Purwono, saya, Kaki Numa
(direktur Japan Foundation Asia Tenggara) dan Prof Shimizu (sejarawan kartun Jepang) duduk semeja di kantor Japan
Foundation Jakarta. Dalam rangka mencari kartunis potensial Semarang yang layak
diberangkatkan ke Jepang, saya dimintai nama-nama yang sesuai untuk itu. Saya
hanya memberikan tiga nama: Goenawan
Pranyoto, Koesnan Hoesie dan Prie GS.
Satu persatu dicermati oleh Kaki Numa. Ternyata kriteria kartunis yang dapat
diberangkatkan ke Jepang adalah kartunis yang tugas sehari-harinya menggambar political cartoon atau editorial cartoon di media bersangkutan.
Saya agak berdebat beberapa saat dan meyakinkan Kaki Numa bahwa Goenawan
Pranyoto secara kompetensi dan senioritas sangat memadai. Kaki Numa dapat
memahami itu tetapi tampaknya ia tak dapat melanggar kriteria yang telah ada,
sehingga di kemudian hari kartunis Semarang yang diberangkatkan awal adalah
Koesnan Hoesie (Harian Sore Wawasan) dan Prie GS (Harian Suara Merdeka) di
tahun berikutnya.
Lingkaran Sahabat
Goen tampaknya tak hirau-hirau amat tentang peluang yang
belum memihaknya itu. Ia tetap berkarya tanpa mengurangi kadar keasyikannya.
Mengenang Goen kita tak dapat menafikan peran sahabat-sahabat dekatnya seperti Yehana SR, dr Bimo Bayuaji, Odios, Eddy
Pokal (almarhum), Prie GS, Imbeng,
Koesnan Hoesie dan Handry TM.
Dalam atmosfer para sahabat itulah kreativitas Goen terasah dan diasah.
Atmosfer yang dipenuhi suasana kejenakaan dan bahkan cengengesan. Tak heran
bila dalam masa sakitnya, Goen kadang terlihat sering tertawa sendiri mengenang
masa-masa penuh kegembiraan itu. Akhirnya, selamat jalan Mas Goen, semoga kau
berbahagia di tempatmu yang baru!
Darminto M Sudarmo,
sahabat dan kawan bergaul Goenawan
Pranyoto.
Lelucon-lelucon Sekitar Goen
Gambar Pertama Goen
di Minggu Ini
Pada awalnya rubrik Wayang Mbeling, Minggu Ini, diilustratori oleh Awang Arifin. Ketika Awang mendapat
tugas menempuh pendidikan di Bandung, rubrik itu membutuhkan illustrator pengganti
sementara. Dokter Bimo Bayuaji (waktu itu masih Drs Med, mewakili Suara
Merdeka) meminta saran ke Yehana SR. Yeha mengusulkan nama Goen, karena ia
telah melihat gaya ilustrasi Goen unik dan menggelitik.
Setelah gambar ilustrasi pertama Goen dimuat di Minggu Ini, Goen tak dapat
menyembunyikan kegembiraannya. Ke mana-mana ia membawa koran Minggu Ini. Tak terkecuali ketika masuk
kamar kecil, ia menghabiskan waktu berlama-lama di sana hanya sekadar untuk
menatap nikmat gambar pertamanya yang dimuat di koran tersebut.
Strategi Kamso ala
Goen
Setelah gambar Goen dimuat beberapa kali di rubrik Wayang
Mbeling, makin yakinlah Goen akan kemampuannya menggambar. Untuk memantabkan
posisinya itu, pria yang pernah mendapatkan pendidikan akademi perhotelan ini menyadari
pentingnya suatu posisi guna dijadikan modal sosial di masyarakat. Maka suatu
hari ia mengajak Yehana SR untuk membicarakan strategi khusus dalam me-maintenance
PR (public relation) masing-masing individu.
Caranya? Sederhana saja. Kalau Yeha ketemu teman-temannya,
ia berkewajiban memperkenalkan, “Ini lho Goen, kartunis Wayang Mbeling Minggu
Ini.” Begitu juga ketika Goen ketemu teman-teman atau relasinya ia harus
mengatakan, “Ini lho Yehana SR, ketua umum SECAC!”
Wajah Yeha Bertubuh
Kirik
Secara bergilir, teman-teman dekat Goen dijadikan obyek
sebagai “bintang tamu” karikatur tokoh di ilustrasi Wayang Mbeling. Memang yang paling sering dikerjani Goen adalah Yeha; tetapi
teman-teman lain juga jadi sasaran, mereka antara lain: Bimo Bayuaji, Awang Arifin,
Jono, Hari Boestaman, dan lain-lain.
Salah satu karikatur bintang tamu yang membuat Yeha jengkel
sekali adalah ketika wajahnya digambar karikatural seperti biasanya, namun kali
ini diberi tubuh seekor kirik, di dekatnya tergeletak botol minuman keras.
Ketika Yeha menyampaikan protes itu ke Goen, Goen hanya merespon dengan senyum-senyum
kecut.
Lebih Baik Disuruh Berantem daripada Disuruh Pidato
S Suatu
hari, di Pusponjolo Tengah, Semarang, pada 1982, berkumpul anak-anak muda dan
beberapa pria dewasa dengan wajah sumringah dan penuh harapan. Di antara pria
dewasa itu terlihat tokoh-tokoh penting seperti Jaya Suprana, dr. Soewondo
Psi, dan Hari Boestaman. Ruang
tamu yang diberi gelaran tikar dan lumayan luas itu penuh sesak. Mereka
bersepakat akan mendirikan perkumpulan kartunis yang di kemudian hari dikenal
dengan nama Secac, dengan
kepanjangan Semarang Cartoons Club. Terpilih secara aklamasi: Yehana SR sebagai
ketua umum dan Goenawan Pranyoto sebagai ketua teknis.
Tiba giliran ketua umum dan ketua teknis
untuk memberikan sambutan. Kata sambutan ini yang ternyata membuat stress baik
bagi Yehana maupun Goen. Keduanya memang senang ngobrol dan bercanda dengan
orang-orang, namun kalau berkaitan dengan sambutan resmi dan formal di hadapan
banyak orang, mereka mengaku langsung panik, nervous, bahkan macet komunikasi.
Maka di belakang rumah, mereka berdua mencoba
cari solusi dengan meminum bir terlebih dulu sambil mengerutuk, “Lebih baik
disuruh berantem daripada pidato!” ujar Goen dengan ekspresi wajah sedikit agak
kemerahan. Langsung disetujui Yehana, “Betttt.…bettttulll!” dengan mulut masih
tersisa buih-buih bir.
Ngobrol Santai dengan Mobil
2. Goen
sejak awal memang dikenal pendiam dan pemalu. Terutama kalau berhadapan dengan
orang-orang yang baru dikenalnya. Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu,
bahkan kepada rekan-rekan dekatnya, tak selalu ia berkomunikasi dengan
kata-kata. Mending kalau ia misalnya mengoreksi orang yang sedang pidato atau
presentasi dengan berbisik di kuping teman yang duduk di dekatnya, hal yang
paling sering dilakukannya adalah dengan tindakan langsung. Dengan bahasa akting,
istilah filmnya.
Suatu hari, di tengah lapangan, Goen
mengendarai mobil open pick up-nya
sendirian. Ia kemudian memasukkan perseneling ke gigi satu. Mobil berjalan smooth. Stir dilepas, pelan-pelan ia
keluar dari mobil dan berjalan persis di sisi mobil yang berjalan pelan itu.
Rekan-rekan yang melihat tidak tahu apa yang dilakukan Goen. Mereka hanya dapat
bertanya-tanya dalam hati. Ternyata Goen kemudian menyalakan sebatang rokok,
lalu ia seolah bersikap akrab dengan mobil itu dan mengajaknya ngobrol sambil
berjalan pelan, layaknya kepada sesama sahabat kental. Tentu saja semua yang melihat tak dapat
menahan tawa oleh ulah Goen yang nyentrik itu.
Jumat yang Menyebalkan bagi Ahok
Balya Nur |
Oleh Balya Nur
HARI Senin adalah hari yang paling banyak dibenci oleh para pekerja. Salah satu alasannya, hari Minggu ke Senin cuma berjarak satu hari, sedangkan Senin ke Minggu berjarak enam hari. Hari Sabtu adalah hari yang dibenci oleh orang yang baru putus cinta. Beribu kenangan manis mengejeknya. Hari Jumat adalah hari yang paling ditakuti oleh tersangka koruptor. Pintu penjara KPK siap melahap tersangka koruptor pada hari "Jumat Keramat" itu.
Bagi Ahok, hari Jumat adalah hari yang paling menyebalkan. Ketika dia ikut memaraf Instruksi Gubernur nomor seratus lima puluh tentang larangan penggunaan kendaraan pribadi ke kantor setiap hari Jumat pekan pertama tiap bulan bagi PNS di lingkungan Pemprov DKI, mungkin terjadi perang batin dalam dirinya. Tapi, hatinya agak tenang. PNS? Hmmmm ... dia bukan PNS.
Jumat yang menyebalkan itu pun datang sesuai jadwal. Mobil dinas Toyota Land Cruiser B 1966 RFR melaju anggun di tengah kota. Tapi, tidak bagi pengendaranya. Walaupun mobil itu cukup nyaman, Ahok tampak gelisah. Dia membayangkan, wartawan telah siap mengokang mikrofon yang akan memberondongnya dengan pertanyaan seragam.
“Kok Bapak masih pake mobil dinas? Bukankah ini Jumat pertama? Pak Jokowi datang mengendarai sepeda. Bapak tahu itu?“
Walapun dalam mobil itu cukup dingin, Ahok tampak seperti kegerahan. Dia melihat serombongan pegawai dengan seragam khas Betawi berjubel dalam bus kota. Beberapa bawahannya itu nampak menoleh heran ke arahnya. Mereka seolah mengadilinya. Baru kali ini dia merasa diadili oleh anak buahnya. Ahok membatin, “Hei, kamu berangkat pagi, pulang sore. Saya pulang sampai malam bahkan larut malam. Kamu mau kerja seperti saya? Kalau mau, oke. Saya akan ikut gelantungan dalam bus itu.”
Sebuah pertanyaan terngiang di telinganya, “Bapak ikut menandatangani ingub?" Pertanyaan ini segara dijawabnya. Sejak tadi dia memang sudah menyiapkan beberapa jawaban. “Instruksi hanya bagi PNS, bukan bagi gubernur dan wakil gubernur.”
“Tapi, Pak Jokowi naik sepeda?“
"Iya. Dia kan dekat rumahnya. Coba deh, memangnya kamu mau naik sepeda dari Pluit ke balaikota? Harus dikawal pula. Repot, kan? Belum lagi soal efisiensi waktu.”
Rancangan dan pertanyaan dan jawaban itu buyar. Mobil Land Cruiser memasuki balaikota. Wajah para wartawan seperti melihat mobil yang baru datang dari luar angkasa. Lalu wajah-wajah itu berubah seperti singa lapar. Berita wagub naik mobil dinas hari Jumat ini seperti makanan yang lezat dan bergizi. Dengan tenang Ahok menjawab semua pertanyaan seperti yang tadi telah dirancangnya. Pertanyaan yang mudah dijawab. Wartawan sekarang banyak anak-anak baru yang pertanyaannya mudah ditebak.
Ahok duduk sambil menghela napas panjang di ruang kerjanya. Baru Jumat pertama. Dia juga tahu rencana gubernur yang akan menerapkan pada setiap Jumat dan bahkan setiap hari. Jumat yang menyebalkan. Tapi, Ahok lebih sebal lagi pada segala bentuk pencitraan. Pencitraan pejabat seperti mahasiswa yang dipelonco. Demi pencitraan, pejabat memelonco dirinya sendiri, membuat susah dirinya sendiri. Buat apa ada mobil dinas? Supaya kerja lebih efesien, kan? Kenapa malah memilih membuang waktu di jalan? Waktu yang bisa lebih produktif tercecer di jalan! Ahok kembali menghela napas panjang.
Sisa-sisa Misteri Hambalang
Peringatan & Amarah
Emha Ainun Nadjib |
Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Guru saya
di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah
terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang sedang menjadi
Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang atau sesuatu pun yang
pernah mengajari saya lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di
antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin mengajar saya
adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru kepada mereka dengan
penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten untuk marah kepada saya.
Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau dimarahi oleh
Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?
Mungkin bisa
saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya ceritakan semua.
Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam, dikritik,
dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami, bahkan seringkali juga
difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang baik, semua itu
senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya
masuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren hanya karena
ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan pesantren, masuk ke
Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu seorang Kyai dan membantu
pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya
diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah sekolah. Tentulah saya
dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena lantas saya coba-coba menjadi
penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi penyair? Apa tidak baca surat
As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik
lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya tidak berirama seperti
orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai sekarang. Saya dianggap sinting
dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun
berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk dengan sastra dan tidak
memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu mengabdikan sastra kamu kepada
dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya mengawinkan sastra saya dengan
dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-main dengan Islam!
Jangan campur adukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan sastra!”.
Tema kemarahan itu
berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu harus
memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa membutakan mata
terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan ummat dan lain
sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas
kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi semacam bank. Memandu
keperluan tolong menolong antara satu dengan lain orang. Menjadi tabib darurat.
Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda protes. Pokoknya memasuki segala
macam konteks di mana idealisme nilai kemanusiaan dalam sastra dan idealisme
nilai akidah dalam Islam bisa saya terapkan.
(Dokumentasi Progress)
Saya mendapat teguran
lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang ngurus sendiri-sendiri.
Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di
sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak bertanggungjawab!”. Dan
ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP, saya diperingatkan: “Kamu
kehilangan independensi!”.
Tatkala saya acuh
terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu memerlukan organisasi!
Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di pengurus pusat ICMI, saya
ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota pasukan berada dalam barisan!”.
Dan akhirnya tatkala karena suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI,
saya dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan anggota pasukan!”.
Ketika saya
mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan: “Kenapa kamu
tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak ilmuwan barat?”. Dan
sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra, politik, sepakbola,
tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan Hadits, saya
dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan seenaknya
mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis
tentang sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya dijewer: “Kenapa kamu
tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya mengusahakan segala sesuatu
yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok: “Islam tidak mengajarkan mbalelo,
Islam menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal
honor, saya disindir: “Kamu tidak rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor
saya ditonjok: “Kamu komersial!”.
Ketika saya cuek kepada
uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabuu! Makan dan minumlah”. Ketika
saya sesekali berpikir mencari rejeki, saya ditonyo: “Kamu
menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi.
Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu saya sungguh-sungguh tidak
paham: “Sungguh hebat perjuanganmu…. Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa
rupiah untuk mendapatkannya….kau tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun!
Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong ngunu!”. *****
Subscribe to:
Posts (Atom)